Sebelum menulis ini saya sudah ijin
kepadanya, untuk menulis dan memuat di blog internet. Namanya Sri Endang
Maryati. Orang-orang biasa memanggil Bu Endang. Usianya di atas 50 tahun. Ia
seorang janda, sudah lama ditinggal suaminya meninggal dunia. Bu Endang telah
mengalami peristiwa luar biasa.
Pada tanggal 3 Mei
2009, sekitar jam 18.00 WIB (setelah adzan maghrib), sekelompok santri Pondok
Pesantren Al Fatah di Desa Temboro, Kecamatan Karas, Kabupaten Magetan,
mendatangi rumah Bu Endang yang berada di dekat pesantren tersebut. Para santri
yang berjumlah sekitar 20 orang itu membakar rumah Bu Endang, menyirami dengan
bensin dan menyulut dengan api. Khoiriyawan, salah seorang saksi, melihat para
santri tersebut berlarian lalu-lalang, berteriak takbir “Allohu Akbar!” bahkan
menyiram tubuh anak lelaki Bu Endang bernama Muhammad Zarkasi dengan bensin dan
membakarnya, hingga beberapa hari selanjutnya Zarkasi meninggal dunia karena
luka bakar yang berat.
Apa sebabnya?
Menurut keterangan Bu Endang, anak lelakinya yang masih muda dan belum menikah
itu menyatakan mengundurkan diri sebagai ustadz di Pesantren Al Fatah tersebut
karena terjadi perselisihan dengan salah satu pengasuh pesantren tersebut yang
biasa dipanggil Gus Bed (Kyai Ubaidillah Ahror). Pesantren tersebut dipimpin
oleh Kyai Uzairon Thoifur Abdillah atau biasa disebut Gus Ron, saudara tua Gus
Bed. Bu Endang pernah bercerita bahwa sang kyai ini orangnya baik, tetapi dalam
komunikasi dengan pihak luar selalu diganjal oleh Gus Bed.
Zarkasi, anak
lelaki Bu Endang, mempunyai usaha jual-beli handphone (HP) dan
asesorisnya, karena menurutnya gajinya sebagai guru atau ustadz di Pesantren Al
Fatah hanya sekitar Rp 350.000,- per bulan. Namun tampaknya Gus Bet tidak suka,
sehingga memfatwa haram stand jual-beli HP yang ada di rumah Bu Endang
tersebut, dan memberi pilihan kepada Zarkasi: “Pilih tetap menjadi guru mengaji
di Pesantren Al Fatah atau keluar dari pesantren?” Zarkasi memilih keluar dari
pesantren karena ingin mengembangkan diri.
Namun rupanya tidak
berhenti di situ. Zarkasi yang ganteng, lugu dan jujur serta hafidz Quran itu
difitnah, seolah-olah telah menghamili seorang santri putri pesantren tersebut.
Zarkasi yang difitnah menantang agar santri putri tersebut didatangkan
bersama-sama dengan orang tuanya. “Jika terbukti saya yang membuatnya hamil,
saya akan bertanggung jawab. Saya harus bertemu dengan santri putri bernama
Halimah tersebut, sebab bagaimana mungkin saya menghamili dia jika selama ini
sudah sekitar 8 bulan saya tidak pernah bertemu dengannya?” Begitu kurang lebih
tanggapan Zarkasi.
Permintaan agar
pesantren mendatangkan Halimah dan orang tuanya tidak dipenuhi oleh Pesantren
Al Fatah, namun malah dilakukan perbuatan keji berupa pembakaran rumah Bu Endang
yang mengakibatkan bangunan rumah dan isinya ludes terbakar.
Kasus itu segera
ditangani oleh Kepolisian, lalu ditetapkan 14 orang santri sebagai tersangka,
yang selanjutnya oleh Kejaksaan diajukan ke Pengadilan Negeri (PN) Magetan
untuk diadili. Hakim PN Magetan yang mengadili perkara tersebut menjatuhkan
hukuman kepada para terdakwa masing-masing 1 (satu) tahun penjara. Bu Endang
protes, bagaimana kejahatan keji seperti itu, yang juga menewaskan anaknya,
hanya diganjar hukuman setahun, seperti hukuman kepada pencuri kambing? Tapi
begitulah hukum di negara ini, hukum alay, hukum pret. Putusan tersebut
dikuatkan di tingkat banding dan kasasi.
Bu Endang terus
berjuang, dibantu oleh KONTRAS, juga oleh lembaga negara Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Perjuangan Bu Endang tersebut guna meminta pertanggungjawaban Pesantren Al
Fatah atas kerugian kehancuran rumah dan usahanya. Hingga kini Bu Endang masih
tinggal di sisa bangunan bagian belakang yang sudah diperbaiki. Ia kehilangan
modal kerjanya berupa peralatan rias penganten yang ikut terbakar bersama
rumahnya. Kini Bu Endang tidak bekerja, karena kehilangan pekerjaannya.
Pihak Pesantren Al
Fatah Temboro tampaknya sudah tutup mata, hati dan jiwa. Pernah Majelis Ulama
Indonesia (MUI) memediasi masalah itu, tapi tidak dianggap oleh pihak Pesantren
Al Fatah. Begitu pula undangan Komnas HAM juga tidak dianggap pihak pesantren
tersebut. Boleh dikata, lembaga ulama dan lembaga negara juga tidak digubris.
Bu Endang dan
Khoiriyawan sama-sama mengatakan bahwa Pesantren Al Fatah tersebut tidak mau
tunduk kepada negara dan hidup dengan membuat hukum sendiri. Ada kebiasaan
berbuat main hakim sendiri jika ada suatu masalah. Pernah secara sepihak
menjadikan Desa Temboro sebagai “kawasan berbusana muslim.” Namun sejak kasus
yang menimpa Bu Endang tersebut terjadi, spanduk-spanduk penetapan kawasan
tersebut dilepasi semua.
Penetapan kawasan
berbusana muslim, tanpa ijin negara tersebut, bertolak belakang dengan perilaku
pesantren yang menggunakan jalan kekerasan, membuat firnah, membakar rumah
orang dan membunuh Zarkasi dengan keji. Tentu saja itu bertolak belakang dengan
ajaran Islam itu sendiri. Jika dibahasakan secara terus terang oleh orang
Surabaya (termasuk saya), bisa disebut itu sebagai pesantren jancukan!
Hal yang biasa
dalam hukum adalah: Kepolisian tidak mau menyentuh otak intelektual kasus
tersebut. Berdasarkan keterangan para saksi yang saya periksa, para santri
hidup di dalam komplek pesantren, keluar-masuk pesantren harus ijin dan tidak
bebas. Lalu mengapa mereka bebas secara berjamaah membakar rumah Bu Endang?
Pemerintah
Kabupaten Magetan juga terlalu lembek menyikapi masalah itu. Tidak ada
kebijakan tegas untuk menertibkan Pesantren Al Fatah. Kementerian Agama juga
begitu, sudah mengetahui pesantren dijadikan cara hidup seperti itu, juga tidak
melakukan apa-apa. Apalagi orang-orang setempat menginformasikan bahwa santri
putri di situ juga dikawini oleh pengasuh pesantren dijadikan isteri kedua. Apakah
hal itu semata-mata kerelaan suka sama suka, atau ada pengaruh-pengaruh
kekuasaan tertentu, tidak ada yang tahu.
Seharusnya negara
mengontrol pondok pesantren yang mengelola puluhan ribu santri laki-laki dan
perempuan itu, apalagi mayoritas mereka berasal dari luar Magetan. Kontrol
tersebut dimaksudkan untuk melindungi para santri tersebut dari hukum rimba
yang berlaku di pesantren tersebut. Apalagi jika pendidikan pesantren itu
menimbulkan watak-watak kekerasan seperti itu. Itulah penguasa negeri ini, yang
dalam banyak hal adalah penguasa pret alias plekethek. Sudah korupsinya tak
pernah pudar, juga abai terhadap keselamatan rakyatnya.
Menurut penuturan
Bu Endang, berdasarkan keterangan anaknya, Zarkasi almarhum yang pernah menjadi
ustadz di Pesantren Al Fatah, Pesantren Al Fatah itu bagian dari Jamaah Tabligh
yang berpusat di India.
Di jaman kolonial,
sejarah menceritakan bagaimana peran pondok-pondok pesantren dalam
memperjuangkan kemerdekaan, melahirkan para tokoh yang bijaksana seperti K.H.
Hasyim Ashari, K.H. Wachid Hasyim, K.H. Achmad Dahlan, dan lain-lain. Tetapi di
jaman reformasi ini sudah tidak karuan lagi. Mungkin masih banyak pesantren
yang bagus. Namun banyaknya aliran garis keras yang menyimpang dari tuntunan
Islam, dengan hukum rimbanya seperti itu, kian menyedihkan, sebab itu menjadi
masalah baru dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Jika negara ini
kuat dan keadilannya tegak, pemerintah sudah melakukan paksaan pemerintahan
agar Pesantren Al Fatah Temboro untuk memulihkan kerugian yang diderita oleh Bu
Endang. Jika pesantren itu tidak tunduk kepada keputusan keadilan negara, maka
harus dibubarkan! Ribuan santrinya bisa dipindahkan ke pesantren yang lebih
beradab, agar mereka selamat dari pembentukan watak-watak yang tidak beradab, gampang
memukul, membakar dan membunuh orang.