Senin, 14 Desember 2009

RAMAI DI CENTURY, SEPI DI LAPINDO


Suntikan dana penyertaan modal Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ke Bank Century sebesar Rp. 6,7 triliun (T) menjadi amat ramai. Seluruh media nasional menyorot. Para aktivis demo, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit, DPR mengusung wewenang angket (perbaikan istilah hak angket). Pemerintahan SBY kalang-kabut diterpa isu negatif.

Tak lupa Aburizal Bakrie, Ketua Umum Golkar yang baru, dengan lantang menyatakan dukungan partainya atas penggunaan wewenang angket DPR dalam kasus Bank Century.

Nasib korban

Saya hendak membandingkan reaksi sosial serta perlakuan negara dalam menyikapi kasus Century dengan kasus lumpur Lapindo, yang tampaknya menganaktirikan penyelesaian masalah lumpur Lapindo. Salah satu contoh adalah: begitu cepatnya tindakan atau upaya penggantian uang nasabah Century yang dirugikan dan upaya penyelamatan Bank Century dengan menyuntikkan dana Rp. 6,7 triliun.

Menurut Ahmad Fajar, Direktur Bank Mutiara (penerus Bank Century), sebanyak Rp 4,02 triliun atau 59 persen dari total Rp 6,76 triliun untuk membayar penarikan dana nasabah yang menolak memperpanjang depositonya. Dana tersebut untuk pemilik 8.577 rekening Century yang terdiri atas 7.770 nasabah perorangan dengan total dana Rp 3,2 triliun, 787 nasabah dengan Rp 480 miliar dan 20 nasabah BUMN/dana pensiun sebanyak Rp 273 miliar (Tempo Interaktif, 1/12).

Dengan dana Rp. 4,02 T tersebut setidaknya bisa menjamin atau mengganti simpanan 8.577 orang nasabah, yang rumah dan tanahnya masih bisa ditempati, tidak tenggelam menjadi bubur lumpur. Dalam kasus Lapindo, ada sekitar 13.000 kepala keluarga atau sekitar 70.000-100.000 orang korban (termasuk anak-anak) masih harus berjuang untuk memperoleh tempat tinggal dan pekerjaan yang hilang selama lebih dari tiga tahun ini.

Pembagian beban tanggung jawab pemerintah dengan Lapindo Brantas Inc (Lapindo) dengan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2008 dan Nomor 40 Tahun 2009 (Perpres BPLS) telah mengakibatkan penyelesaian masalah korban yang berbelit-belit.

Bahkan sekarang ini masih ada sekitar 3.000 jiwa korban yang hidup di pengungsian di pinggir tanggul lumpur Lapindo di sisi Timur (Desa Besuki) dan di pengungsian Kedungkampil Porong, sebab uang jual-beli tanah dan rumah mereka yang menjadi danau lumpur dicicil-cicil dengan batas waktu yang tidak pasti. Lapindo pun tidak taat dengan batas waktu yang ditentukan Perpres BPLS, tapi presiden SBY tidak mau dan tak mampu memberikan tindakan pemerintahan yang tegas.

Mana ada hidup di negara merdeka tanpa perang, dengan cara mengungsi selama lebih dari tiga tahun? Ada, yaitu korban Lapindo yang hidup di Indonesia.

Absurd

Absurditas dalam komparasi antara kasus Century dengan Lapindo juga dapat dilihat dari cara menyikapi hasil audit BPK. Laporan audit BPK dalam kasus Century dijadikan bahan atau bukti penting yang dijadikan acuan oleh DPR dan pemerintah.. Namun, laporan audit BPK dalam kasus lumpur Lapindo hanya dianggap kentut buaya.

Laporan audit BPK 2007 dalam kasus Lapindo jelas memuat rincian kesalahan Lapindo, pemerintah pusat (termasuk BP Migas serta Menteri ESDM) dan pemerintah daerah dalam pemberian izin eksplorasi dan izin lokasi di wilayah pemukiman penduduk dan terlalu dekat dengan obyek-obyek prasarana vital seperti jalan raya, jalan tol, pipa gas.
Audit BPK itu juga memuat fakta-fakta kesalahan-kesalahan teknis pemboran, serta upaya penghentian semburan lumpur Lapindo yang dihentikan karena faktor nonteknis (di antaranya: peralatan yang dibutuhkan tidak disediakan).Hal itu sesuai dengan dokumen -dokumen riwayat pemboran yang dibuat Lapindo dan BP Migas.

Tetapi DPR, Mahkamah Agung, Kepolisian dan Kejaksaan kompak menyalahkan gempa Jogja yang terjadi dalam radius sekitar 270 kilometer dari Porong dalam jarak dua hari sebelum semburan lumpur Lapindo. DPR dan lembaga-lembaga penegak hukum itu lebih memilih pendapat ahli yang diajukan Lapindo dibandingkan dengan hasil audit BPK yang telah menjadi dokumen negara otentik itu, serta menolak pendapat ahli pemboran pada umumnya.

Saat itu, Aburizal Bakrie yang menjabat menteri (Menkokesra) juga angkat bicara, katanya satu pendapat ahli (yang menyalahkan Lapindo) masih kalah suara dengan 100 pendapat ahli yang tidak menyalahkan Lapindo. Ternyata pernyataan Bakrie itu tumbang di Cape Town Afrika Selatan di mana mayoritas ahli pemboran dunia berkonklusi bahwa semburan lumpur Lapindo juga dipicu oleh kesalahan dalam proses pemboran.

Kini kita boleh berhitung. Di antara Rp. 6,7 triliun kekayaan negara (yang dipisahkan) oleh LPS itu, yang Rp. 4,02 T diberikan kepada nasabah Century, sebab uang mereka dikemplang oleh pemilik Century. Sedangkan dana negara (dari APBN) yang keluar untuk penanggulangan kasus lumpur Lapindo masih akan mengalir terus selama sekitar 30 hingga 50 tahun sampai semburan lumpur lapindo berhenti (sesuai perkiraan para ahli geologi).

Pada 2006 Greenomics menghitung, dalam jangka menengah dan panjang kerugian akibat semburan lumpur Lapindo sekitar Rp. 33,2 triliun (Suara Karya, 8/8/2006). Para nasabah bank dijamin dengan kekayaan negara secara cepat, tapi korban Lapindo dijamin masih terus berlanjut kesengsaraannya, meskipun lembaga jaminan hidup warga negara bukan hanya undang-undang, tetapi UUD 1945.

Dalam kasus Century semua orang ramai mengeroyok para penjahat Century yang sudah lari dan “memukuli” pemerintah bertubi-tubi. Tapi kasus Lapindo suaranya makin lama makin sepi, perlahan-lahan menjadi sunyi. Janji Presiden SBY yang akan meninjau ulang ketidakberesan penanganan sosial kasus lumpur Lapindo saat kampanye pilpres 2009 ternyata cuma omongan bakul akik.

Kini tinggal Komnas HAM satu-satunya lembaga negara bidang hukum yang masih yakin dengan alat-alat bukti yang diperolehnya bahwa Lapindo bersalah. Komnas HAM sedang bekerja mengusut dugaan pelanggaran HAM berat dalam kasus Lapindo. Jika forum hukum HAM nasional impoten maka kasus kejahatan kemanusiaannya bisa dibawa ke PBB yang mempunyai Mahkamah Kejahatan Internasional (International Criminal Court).

(Dimuat koran Surya, 8 Desember 2009)

2 komentar:

dian mengatakan...

Saya juga prihatin dengan kondisi negara ini. Giliran orang kecil, mudah sekali disepelekan, dilupakan, diabaikan.
Tidak ada keadilan di negeri ini, kalau sistemnya tidak berubah.

Anonim mengatakan...

Misalnya: sistem sudah dibuat: jalan jalur searah. Bisa saja jadi crowded jika manusia tdk patuh pada sistemnya. Maka perlu penjaga sistem. Jika penjaga sistem itu korup atau abai maka sistem jadi tak berguna jika ada kecenderungan melanggar sistem.
Mungkin, kita butuh para operator dan penjaga sistem yg cermat, tegas dan adil.