Tirani modern merupakan tirani kapital, di mana kebanyakan kekuasaan negara, termasuk militer dan polisi, serta otoritas agama, akademik dan kebudayaan, tunduk kepadanya.
Kamis, 31 Desember 2009
Tahun 2010 dan Masa Depan
Awal tahun 2010 di Surabaya disertai rintik hujan, lama tak kunjung berhenti, sesekali suatu guntur membelah langit.
Waktu terus berjalan, dia hanyalah utusan Tuhan, yg mana Tuhan telah bersumpah demi waktu: bahwa sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali mereka yang mempunyai keyakinan dan melaksanakan kebajikan di muka bumi.
Bagi warga dunia, masa depan adalah harapan. Tapi kenyataan terhampar di pelataran kehidupan, bahwa masa depan telah dirusak oleh keserakahan generasi abad XX dan XXI ini. Langit mulai retak, bumi mulai menggeliat.
Perut bumi diaduk-aduk, isinya diambil tanpa batas, hutan dirusak, tanah air dan udara dicemari, dengan menggunakan istrumen legal, politik dan atas nama ilmu ekonomi. Padahal semua itu hanya dalam rangka menumpuk kekayaan bagi segelintir orang, yang dengan bangga diberikan stempel sebagai pahlawan bagi para pengangguran.
Wajah peradaban manusia, wajah pembangunan akan tampak pada orisinalitasnya ketika hujan datang atau kemarau tiba. Ribuan nyawa tiap tahun direnggut bencana, dan kekeringan kian merata di mana-mana. Berbagai penyakit baru datang menyibukkan manusia.
Atas kehancuran demi kehancuran itu siapa yang dirugikan dan siapa yang diuntungkan? Jika mereka menggunakan kalkulasi ekonomi maka itu adalah pertanyaan yang layak.
Mereka yang diuntungkan adalah yang menggunakan kapital ekonominya untuk memenuhi nafsu serakahnya. Sedangkan yang dirugikan adalah yang diberikan sedikit upah bagi yang bekerja pada tuan-tuan serakah, apalagi bagi yang sama sekali tidak menikmati apa-apa dari pemenuhan hajat para majikan serakah yang menguasai tiap kepala penentu kebijakan negara.
Jangan lupa, keserakahan para tuan majikan serakah yang menguasai negara itu telah menjadikan anak-anak kita makin banyak yang menderita keterbelakangan mental, serta mendesain gaya hidup yang jauh liberal dibandingkan para remaja Barat.
Dengan kapital raksasa, mereka berhasil menyedot kembali banyak uang upah yang telah diterima dari mereka, untuk membeli produk-produk mereka.
Seorang Guru Besar Etika, Prof. Daniel C Maguire melihat kenyataan pahit praktik ilmu ekonomi, sehingga dia mengatakan bahwa ilmu ekonomi itu menjijikkan.
Resolusi masa depan adalah: membangun masyarakat yang mandiri, tidak bergantung kepada negara, menciptakan alat-alat produksi sendiri, membangun pasar sendiri, memenuhi kebutuhan sendiri, sambil membantu dan bekerjasama dengan masyarakat lainnya, membangun jaringan sosial yang tidak menciptakan eksploitasi terhadap sesama dan tidak merusak lingkungan hidup kita.
Jika bukan kita yang bergerak untuk menghentikan pertambangan minyak dan gas bumi serta batubara yang bersifat destruktif, perluasan kebun kelapa sawit yang menghabiskan hutan, pembangunan pemukiman megah yang merusak lahan-lahan konservasi, lalu apakah semua itu akan dibiarkan terus? Apakah kita akan membiarkan sejarah manusia masa depan mencatat kita sebagai generasi panitia percepatan kiamat?
Senin, 14 Desember 2009
RAMAI DI CENTURY, SEPI DI LAPINDO
Suntikan dana penyertaan modal Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ke Bank Century sebesar Rp. 6,7 triliun (T) menjadi amat ramai. Seluruh media nasional menyorot. Para aktivis demo, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit, DPR mengusung wewenang angket (perbaikan istilah hak angket). Pemerintahan SBY kalang-kabut diterpa isu negatif.
Tak lupa Aburizal Bakrie, Ketua Umum Golkar yang baru, dengan lantang menyatakan dukungan partainya atas penggunaan wewenang angket DPR dalam kasus Bank Century.
Nasib korban
Saya hendak membandingkan reaksi sosial serta perlakuan negara dalam menyikapi kasus Century dengan kasus lumpur Lapindo, yang tampaknya menganaktirikan penyelesaian masalah lumpur Lapindo. Salah satu contoh adalah: begitu cepatnya tindakan atau upaya penggantian uang nasabah Century yang dirugikan dan upaya penyelamatan Bank Century dengan menyuntikkan dana Rp. 6,7 triliun.
Menurut Ahmad Fajar, Direktur Bank Mutiara (penerus Bank Century), sebanyak Rp 4,02 triliun atau 59 persen dari total Rp 6,76 triliun untuk membayar penarikan dana nasabah yang menolak memperpanjang depositonya. Dana tersebut untuk pemilik 8.577 rekening Century yang terdiri atas 7.770 nasabah perorangan dengan total dana Rp 3,2 triliun, 787 nasabah dengan Rp 480 miliar dan 20 nasabah BUMN/dana pensiun sebanyak Rp 273 miliar (Tempo Interaktif, 1/12).
Dengan dana Rp. 4,02 T tersebut setidaknya bisa menjamin atau mengganti simpanan 8.577 orang nasabah, yang rumah dan tanahnya masih bisa ditempati, tidak tenggelam menjadi bubur lumpur. Dalam kasus Lapindo, ada sekitar 13.000 kepala keluarga atau sekitar 70.000-100.000 orang korban (termasuk anak-anak) masih harus berjuang untuk memperoleh tempat tinggal dan pekerjaan yang hilang selama lebih dari tiga tahun ini.
Pembagian beban tanggung jawab pemerintah dengan Lapindo Brantas Inc (Lapindo) dengan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2008 dan Nomor 40 Tahun 2009 (Perpres BPLS) telah mengakibatkan penyelesaian masalah korban yang berbelit-belit.
Bahkan sekarang ini masih ada sekitar 3.000 jiwa korban yang hidup di pengungsian di pinggir tanggul lumpur Lapindo di sisi Timur (Desa Besuki) dan di pengungsian Kedungkampil Porong, sebab uang jual-beli tanah dan rumah mereka yang menjadi danau lumpur dicicil-cicil dengan batas waktu yang tidak pasti. Lapindo pun tidak taat dengan batas waktu yang ditentukan Perpres BPLS, tapi presiden SBY tidak mau dan tak mampu memberikan tindakan pemerintahan yang tegas.
Mana ada hidup di negara merdeka tanpa perang, dengan cara mengungsi selama lebih dari tiga tahun? Ada, yaitu korban Lapindo yang hidup di Indonesia.
Absurd
Absurditas dalam komparasi antara kasus Century dengan Lapindo juga dapat dilihat dari cara menyikapi hasil audit BPK. Laporan audit BPK dalam kasus Century dijadikan bahan atau bukti penting yang dijadikan acuan oleh DPR dan pemerintah.. Namun, laporan audit BPK dalam kasus lumpur Lapindo hanya dianggap kentut buaya.
Laporan audit BPK 2007 dalam kasus Lapindo jelas memuat rincian kesalahan Lapindo, pemerintah pusat (termasuk BP Migas serta Menteri ESDM) dan pemerintah daerah dalam pemberian izin eksplorasi dan izin lokasi di wilayah pemukiman penduduk dan terlalu dekat dengan obyek-obyek prasarana vital seperti jalan raya, jalan tol, pipa gas.
Audit BPK itu juga memuat fakta-fakta kesalahan-kesalahan teknis pemboran, serta upaya penghentian semburan lumpur Lapindo yang dihentikan karena faktor nonteknis (di antaranya: peralatan yang dibutuhkan tidak disediakan).Hal itu sesuai dengan dokumen -dokumen riwayat pemboran yang dibuat Lapindo dan BP Migas.
Tetapi DPR, Mahkamah Agung, Kepolisian dan Kejaksaan kompak menyalahkan gempa Jogja yang terjadi dalam radius sekitar 270 kilometer dari Porong dalam jarak dua hari sebelum semburan lumpur Lapindo. DPR dan lembaga-lembaga penegak hukum itu lebih memilih pendapat ahli yang diajukan Lapindo dibandingkan dengan hasil audit BPK yang telah menjadi dokumen negara otentik itu, serta menolak pendapat ahli pemboran pada umumnya.
Saat itu, Aburizal Bakrie yang menjabat menteri (Menkokesra) juga angkat bicara, katanya satu pendapat ahli (yang menyalahkan Lapindo) masih kalah suara dengan 100 pendapat ahli yang tidak menyalahkan Lapindo. Ternyata pernyataan Bakrie itu tumbang di Cape Town Afrika Selatan di mana mayoritas ahli pemboran dunia berkonklusi bahwa semburan lumpur Lapindo juga dipicu oleh kesalahan dalam proses pemboran.
Kini kita boleh berhitung. Di antara Rp. 6,7 triliun kekayaan negara (yang dipisahkan) oleh LPS itu, yang Rp. 4,02 T diberikan kepada nasabah Century, sebab uang mereka dikemplang oleh pemilik Century. Sedangkan dana negara (dari APBN) yang keluar untuk penanggulangan kasus lumpur Lapindo masih akan mengalir terus selama sekitar 30 hingga 50 tahun sampai semburan lumpur lapindo berhenti (sesuai perkiraan para ahli geologi).
Pada 2006 Greenomics menghitung, dalam jangka menengah dan panjang kerugian akibat semburan lumpur Lapindo sekitar Rp. 33,2 triliun (Suara Karya, 8/8/2006). Para nasabah bank dijamin dengan kekayaan negara secara cepat, tapi korban Lapindo dijamin masih terus berlanjut kesengsaraannya, meskipun lembaga jaminan hidup warga negara bukan hanya undang-undang, tetapi UUD 1945.
Dalam kasus Century semua orang ramai mengeroyok para penjahat Century yang sudah lari dan “memukuli” pemerintah bertubi-tubi. Tapi kasus Lapindo suaranya makin lama makin sepi, perlahan-lahan menjadi sunyi. Janji Presiden SBY yang akan meninjau ulang ketidakberesan penanganan sosial kasus lumpur Lapindo saat kampanye pilpres 2009 ternyata cuma omongan bakul akik.
Kini tinggal Komnas HAM satu-satunya lembaga negara bidang hukum yang masih yakin dengan alat-alat bukti yang diperolehnya bahwa Lapindo bersalah. Komnas HAM sedang bekerja mengusut dugaan pelanggaran HAM berat dalam kasus Lapindo. Jika forum hukum HAM nasional impoten maka kasus kejahatan kemanusiaannya bisa dibawa ke PBB yang mempunyai Mahkamah Kejahatan Internasional (International Criminal Court).
(Dimuat koran Surya, 8 Desember 2009)
LUMPUR LAPINDO SELESAI?
Kasus lumpur Lapindo sudah tidak dapat lagi diselesaikan dengan hukum normal. Sejak keluarnya Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 (Perpres No. 14 Tahun 2007) tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), kekacauan hukum mulai terjadi. Pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 menyempal dari UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria dan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (migas).Pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 Tahun 2007 menentukan cara penyelesaian sosial kemasyarakatan korban Lapindo dengan ‘jual-beli’ tanah (dan rumah) korban yang berada di wilayah peta terdampak 22 Maret 2007.
Padahal tanah korban Lapindo pada umumnya adalah tanah Hak Milik sedangkan Lapindo Brantas Inc adalah korporasi yang bukan subyek hukum yang memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Milik atas tanah menurut pasal 21 UU No. 5 Tahun 1960.
Pasal 15 ayat (3), (4), (5) dan (6) Perpres No. 14 Tahun 2007 menentukan bahwa seluruh biaya penyelesaian di luar peta terdampak 22 Maret 2007 ditanggung APBN dan sumber lain yang sah.
Ketentuan ini menabrak prinsip pertanggungjawaban mutlak pengusaha hulu migas menurut pasal 6 ayat (2) c UU No. 22 Tahun 2001 yang seharusnya menanggung seluruh modal dan risiko.
Kekacauan hukum itu kemudian dilegalkan dengan putusan Mahkamah Agung (MA) No. 24 P/HUM/2007 yang menganggap pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 sebagai beleid pemerintah yang tak dapat diuji. Inilah yang kemudian saya sebut sebagai diskresi hukum yang melahirkan dispensasi. Diskresi hukum memaklumi adanya pelanggaran hukum karena situasi yang darurat.
Dispensasi
Diskresi hukum berdasarkan pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 itu melahirkan dispensasi terbesar bagi Lapindo. Tetapi itu tidak cukup bagi Lapindo, sehingga menabraki aturan. Lapindo menunjuk PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ) sebagai pihak pembeli tanah dan rumah korban dalam peta terdampak 22 Maret 2007. Ini yang namanya ‘peralihan’ kewajiban. Hukum mana yang membolehkan peralihan kewajiban tanpa persetujuan kreditor (pemegang hak bayar)?
Untungnya korban Lapindo bukan orang yang paham hukum. Dengan menandatangani Ikatan Perjanjian Jual Beli (IPJB) dengan MLJ maka anggap saja korban Lapindo menyetujui peralihan kewajiban Lapindo Brantas Inc ke MLJ tersebut. ‘Anarki’ Lapindo tak berhenti di situ.
Dengan dalih melaksanakan Perpres No. 14 Tahun 2007 dan Hukum Agraria maka Lapindo bersikukuh tidak mau membayar tunai tanah korban yang belum bersertifikat dengan alasan tak dapat diaktajualbelikan (di-AJB-kan). Itu menabrak prinsip pasal 24 jo. pasal 39 ayat (1) b PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang mengakui surat bukti tanah-tanah belum bersertifikat.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) pun memberikan surat petunjuk pelaksanaan tanggal 24 Maret 2008 yang menjelaskan mekanisme jual-beli tanah bersertifikat dan nonsertifikat (gogol, petok D dan letter C). Tapi Lapindo ngotot hanya mau dengan tukar tanah (resettlement) terhadap tanah nonsertifikat. Celakanya, cara ini juga tidak ada payung hukumnya dalam konteks pelaksanaan pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 Tahun 2007. Meski putusan MA No. 24 P/HUM/2007 melegalkan penyelesaian sosial korban Lapindo dengan cara ‘jual-beli’ berdasarkan pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 Tahun 2007, tapi malah diterobos Lapindo dengan cara ‘tukar menukar’ tanah.
Apalagi tanah yang ditukar adalah tanah developer perseroan terbatas (PT) berjenis Hak Guna Bangunan (HGB), ditukar tanah Hak Milik korban. Akhirnya tanah Hak Milik korban yang berpindah hak ke Lapindo harus jatuh menjadi tanah negara lebih dulu. Sedangkan tanah HGB developer yang ditunjuk Lapindo beralih menjadi hak korban Lapindo tetap berstatus tanah HGB. Jika kelak akan diubah menjadi Hak Milik
harus melalui permohonan (peningkatan status).
Tetapi masalahnya bagaimana perlindungan hukum bagi korban Lapindo jika seumpama Lapindo kelak ingkar janji dalam hal realisasi tukar menukar tanah yang telah menabrak tata cara menurut pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 Tahun 2007 itu jo. putusan MA No. 24 P/HUM/2007 itu? Tanpa diskresi hukum baru, terpaksa harus diuji di pengadilan. Tapi siapa penguasa keadilan di negara mafia ini?
Nasib Korban di Luar Peta 22 Maret 2007
Perpres No. 14 Tahun 2007 direvisi dengan Perpres No. 48 Tahun 2008. Desa Besuki (barat jalan tol), Pejarakan dan Kedungcangkring Kecamatan Jabon Sidoarjo dimasukkan peta terdampak, akan diberikan ganti rugi dengan dana APBN.
Besaran dana bantuan sosial serta pembelian tanah dan bangunannya mengikuti besaran harga jual-beli tanah dan rumah korban dalam peta terdampak 22 Maret 2007 (pasal 15 B ayat 6). Berarti harga tanah sawah tetap Rp 120.000/m , tanah pekarangan Rp. 1 juta / meter, dan bangunan Rp. 1,5 juta / meter serta dana bantuan jatah hidup dan kontrak rumah dua tahun.
Tetapi ada potensi masalah, yaitu penyelesaian pembayaran 80 persen untuk korban peta terdampak menurut Perpres No. 48 Tahun 2008 digantungkan dengan pelunasan pembayaran 80 persen bagi korban dalam peta terdampak 22 Maret 2007 yang diurus Lapindo (pasal 15 B ayat 5). Ini menjadi tugas BPLS untuk secara tegas melakukan tindakan kepada Lapindo agar penyelesaian masalah sosial itu tepat waktu, agar tidak berimbas pada terkatung-katungnya korban dalam peta Perpres No. 48 Tahun 2008 itu.
Desa-desa lain terdampak lumpur Lapindo yang belum terurus selama dua tahun lebih ini adalah Siring (bagian Barat), Jatirejo (bagian Barat), Gedang, Mindi, Besuki bagian Timur, Glagah Arum, Sentul, Keboguyang, Permisan, Plumbon, Gempolsari, Kalitengah, Ketapang, dan Pamotan. Menurut temuan Posko Bersama Korban Lapindo sudah ada empat orang meninggal akibat gas beracun (Yakup dan Qoriatul dari Siring,
Sutrisno dan Luluk dari Jatirejo), dan puluhan masuk rumah sakit.
Jika memang pemerintah tidak mampu, bisa saja meminta bantuan kemanusiaan internasional. Sudah waktunya UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana diterapkan agar standar penanggulangan bencana segera diterapkan dalam kasus lumpur Lapindo.
Definisi bencana menurut hukum bukan hanya bencana alam, tapi juga bencana akibat faktor kesalahan manusia (pasal 1 angka 1 UU No. 24 Tahun 2007). Selain itu, seharusnya janganlah ada keputus-asaan dalam upaya penghentian semburan lumpur Lapindo. Para ahli pemboran permigasan terkemuka di Indonesia (Rudi Rubiandini, Robin Lubron, Kersam Sumantha, Andang Bachtiar, dan lain-lain) yang berjaring secara internasional membentuk Drilling Engineer Club, optimistis dapat menghentikan semburan lumpur Lapindo. Sayangnya pemerintah dan Lapindo telah putus asa. Kapan masalah sosial lumpur Lapindo akan selesai jika pedoman yang telah disusun selalu disimpangi?
(Dimuat Koran Surya, 8 September 2008).
Langganan:
Postingan (Atom)