Senin, 21 Maret 2011

Skandal Lapindo Bakrie


29 Mei 2011 ini nanti ulang tahun ke-5 kasus lumpur Lapindo. Hingga kini masalah itu masih jauh dari selesai. Ini seperti dongeng, tentang kenyataan, di mana dalam sebuah negara hukum modern ada masyarakat korban kecelakaan tambang gas bumi yang selama lima tahun nasibnya menggantung. Ada sebagian yang sudah diselesaikan pembayaran kerugian (jual-beli) atas tanah mereka. Tapi tetap saja merasa kehilangan sesuatu penting dari hidup mereka. Kini mereka terpisah, tercerai-berai dari induk keluarga-keluarga besar masing-masing, dan harus menjalani perjuangan panjang yang melelahkan untuk menagih janji-janji Lapindo dan pemerintah.

Ini bukanlah kasus tentang selesai atau tidaknya transaksi (pembayaran), tapi tragedi sosial dan budaya, lenyapnya artefak sejarah dan kekayaan kebudayaan serta keharusan merakit kembali rencana masa depan yang sulit. Ini merupakan takdir akibat tangan manusia, seperti halnya takdir kematian akibat pembunuhan di mana Tuhan membebani kewajiban manusia untuk menegakkan keadilan. Bukan diserahkan kepada Tuhan begitu saja.

Seingatku, pada Oktober 2009, tiga tahun lebih setelah awal bencana lumpur Lapindo, aku bertemu Pak Rudi, salah seorang korban Lapindo di Kalisampurno Tanggulangin. Seperti biasa, setiap bertemu dengan korban Lapindo saya sering bertanya tentang kejadian semburan lumpur Lapindo yang telah menelan beberapa desa di tiga kecamatan (Tanggulangin, Porong dan Jabon) di Sidoarjo itu.

Pak Rudi, dengan mimik lelah, menceritakan awal kejadian mengerikan yang sebelumnya tak pernah dibayangkannya itu. Ia mengetahui dengan pasti, sebab saat itu ia bekerja di tempat yang berbatasan langsung dengan area pengeboran Lapindo itu. Pada tanggal 28 Mei 2006 dia melihat asap mengepul dari tempat pengeboran Lapindo. Bau gas menyengat. Tapi sore itu dia pulang. Paginya, 29 Mei 2006, Pak Rudi dilapori oleh para anak buahnya bahwa ada 4 orang anak buahnya yang pingsan di tempat kerjanya karena menghirup gas beracun yang berasal dari lokasi pengeboran itu. Menurut keterangan para pekerja pengeboran Lapindo, sebelum terjadi semburan lumpur katanya mata bor Lapindo putus sehingga pengeboran dihentikan.

“Saya sudah lama tidak kerja Mas. Sulit cari kerjaan,” kata Pak Rudi dengan datar. Ia juga bercerita, seperti halnya yang dialami para korban lainnya. Berkas tanah dan rumahnya milik tiga keluarga, dicicil Lapindo Rp 15 juta per bulan (berarti 1 keluarga mendapatkan Rp 5 Juta perbulan) yang akan baru lunas sekitar 9 tahun. “Kalau begitu caranya (dicicil-cicil) bagaimana kami bisa beli rumah? Uangnya ya untuk keperluan rumah tangga sehari-hari, berobat dan lain-lain,“ katanya. “Bagaimana Presiden sudah bikin Perpres tapi tidak ditaati Lapindo, Presiden diam saja. Kita ini orang kecil bertambah susah.”

Iya. Presiden SBY pada tahun 2007 mengeluarkan Perpres No. 14 Tahun 2007, mewajibkan Lapindo Brantas Inc untuk “membeli” tanah 4 desa yang tenggelam (Siring, Renokenongo, Jatirejo dan Kedungbendo). Harus lunas dua tahun. Tapi Lapindo malah membuat jadual pelunasan hingga tahun 2012. Tapi Lapindo selama ini seringkali ingkar dan mempersulit.

Perpres No. 14 Tahun 2007 itu telah diubah dengan Perpres No. 48 Tahun 2008 dan Perpres No. 40 Tahun 2009 yang membebani negara membeli tanah korban di luar empat desa tanggungan Lapindo tersebut.

Kisah Pak Rudi hampir mirip nasib Mulyadi. Sebelum kejadian semburan lumpur itu dia punya warung kecil-kecilan di rumahnya. Waktu itu dia juga bekerja di pabrik Maspion. Tetapi peristiwa lumpur itu membuatnya tidak berkonsentrasi dalam bekerja, jarang masuk kerja, sehingga pada akhirnya di PHKdua bulan setelah terkena lumpur Lapindo. Saya sudah minta keringanan atas kondisi saya pada perusahaan tempat kerjaku, akan tetapi tidak bisa diterima. Akhirnya saya jadi pengangguran,” kata Mulyadi. Pria asal Jatirejo Porong yang desanya telah tenggelam itu bercerita bahwa tanah keluarganya kini dicicil Lapindo Rp 15 juta perbulan, padahal anggota keluarganya 10 orang.

Ada juga sekitar 1000 kepala keluarga yang hidup dalam pengungsian di sebelah Timur tanggul lumpur Lapindo, menghuni bekas jalan tol Surabaya-Malang yang telah putus, hidup di rumah-rumah plastik dan kardus bekas serta sesek bambu, selama dua tahun. Salah seorang ibu pengungsi di situ bernama Fikriah, tahun lalu pernah bercerita kepada saya, “Tanah dan rumah kami dihargai sekitar Rp 100 juta lebih sedikit. Uang muka 20 % kami belikan tanah di desa lain, tapi belum bisa untuk membangun rumah. Sedangkan sisanya yang Rp 80 juta jika cuma dicicil-cicil sudah pasti tidak bisa dipakai untuk membeli rumah. Ya terutama untuk membayar utang-utang biaya hidup selama di pengungsian,” katanya lesu. Sudah lama ibu-ibu ini menderita sesak nafas, tapi tidak ada pihak yang memperhatikan kesehatannya. “Mau berobat ke rumah sakit ya tak punya uang Mas,” katanya dengan lesu. Ia juga mengeluhkan adanya pungutan yang dilakukan aparat desa ketika mengurus surat-surat keperluan berkas tanah yang akan diserahkan ke pihak Lapindo melalui BPLS.

Bukan hanya Bu Fikriah yang mengeluh begitu. Hampir seluruh korban Lapindo yang bicara dengan saya mereka menceritakan hal serupa, dipungut biaya macam-macam oleh para koordinator mereka. Jika tidak mau dipungut biaya-biaya itu mereka diancam tidak akan diuruskan pembayaran tanah-rumahnya.

Ketika saya bertanya kepada beberapa kepala desa atau lurah, mereka tidak dapat menyebutkan berapa data konkrit korban Lapindo di wilayah masing-masing. Diperkirakan seluruhnya sekitar 75 ribu hingga 125 ribu termasuk anak-anak. Tapi makin lama bisa makin bertambah mengingat area terdampak kian meluas.

Bakrie berjasa?

Saya tak tahu dari mana kabar angin yang dihembuskan yang menyatakan, “Dengan menerima uang muka 20 persen maka korban Lapindo sudah makmur.” Ada juga kalimat yang intinya, “Aburizal Bakrie telah berjasa bagi korban Lapindo, sebab meskipun Lapindo tidak bersalah tapi mau menyantuni korban Lapindo.” Itu hanya berlaku bagi segelintir tuan tanah yang kaya, bukan korban pada umumnya.

Sampai-sampai ada acara yang bertajuk “Terima kasih Keluarga Bakrie” pada September 2009 yang dihadiri korban Lapindo yang menerima skema pembayaran “ganti tanah dan rumah” di Perumahan Kahuripan Nirwana Village (KNV) yang dibangun Bakrieland Development itu. Pada acara itu budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) memberikan pencerahan kepada korban Lapindo, “Sampai sekarang sudah Rp 6,2 triliun yang dikeluarkan oleh Bakrie untuk Anda semua. Apakah Bakrie salah dalam hal ini? Ini bukan persoalan hukum. Juga bukan persoalan politik. Bahkan Mahkamah Agung dan Polda Jatim menyatakan bahwa Lapindo Brantas tidak bersalah. Ini adalah masalah hati. Buktinya, Lapindo tidak bersalah, tapi Bakrie tetap bertanggung jawab kepada saudara-saudara.” (Republika, 9/9/2009).

Sebelumnya Cak Nun juga melontarkan pernyataan bahwa sebaiknya pemerintah mengajukan gugatan kepada Lapindo untuk menentukan apakah Lapindo bersalah atau tidak. Adalah tidak adil meminta Lapindo memberi ganti rugi kepada korban terhadap hal yang bukan menjadi tanggung jawabnya (The Jakarta Post, 18/7/2008).

Semula korban Lapindo bersatu dalam GKLL. Tapi juga ada kelompok lain yang memilih bertahan di pengungsian Pasar Porong Baru yang bernama Pagarekontrak yang sejak semula menuntut agar pembayaran tanah dan rumah mereka dilakukan dengan cara tunai, meski akhirnya mereka juga menyerah kepada Lapindo, bersedia dibayar dengan cara diangsur. Kelompok-kelompok lainnya diantaranya: Kelompok Paguyuban Warga Perumtas 1 (di Tanggulangin), Paguyuban Warga Pengontrak Perumtas 1, Paguyuban Warga Jatirejo yang tidak mau menjual aset mereka. Kelompok ini menuntut diberikan ganti tanah dan rumah permanen, termasuk pondok pesantren mereka yang tenggelam. Sedangkan di luar area terdampak yang bukan dibebankan kepada Lapindo terdapat kelompok-kelompok masing-masing desa sebab ada sekitar 16 desa yang terdampak.

Ada sebuah kisah menarik dan sekaligus pilu, ketika para pengurus kelompok GKLL, dampingan Emha Ainun Nadjib, membuat kesepakatan dengan Minarak Lapindo Jaya yang mengubah pola pembayaran tunai dengan ganti tanah dan rumah maka GKLL pecah menjadi GKLL dan Geppres. Kelompok Geppres ini menuntut tetap pada cara pembayaran menurut Perpres No. 14 Tahun 2007 yang diingkari Lapindo. Mereka akhirnya terpecah dan bermusuhan. Selanjutnya pengurus GKLL yang bernama Khoirul Huda diketahui menjadi salah satu calon wakil Bupati Sidoarjo berpasangan dengan Bambang Prasetyo Widodo yang merupakan direktur Minarak Lapindo Jaya. Jadi, memang ada “pengurus” korban Lapindo yang mesra dengan pihak Lapindo.

Saat itu ada beberapa orang pihak Lapindo yang mencalonkan menjadi bupati Sidoarjo, yaitu Yuniwati Teryana dan Bambang Prasetyo Widodo. Bambang yang berpasangan dengan Khoirul Huda didukung Partai Golkar, PDI PerjuanganPKNU dan Hanura. Sedangkan Yuniwati berpasangan dengan Ketua DPD Partai Demokrat Sidoarjo, Sarto. Tapi mereka akhirnya gagal. Calon Bupati terpilih adalah Saiful Ilah dari PKB yang semula merupakan Wakil Bupati Sidoarjo.

Multiskandal

Korporasi memang bisa melakukan apa saja. Pada awalnya pembebasan tanah sawah masyarakat untuk lokasi pengeboran Lapindo itu diisukan untuk “peternakan” yang konon akan menyerap banyak tenaga kerja. Rata-rata masyarakat tidak banyak yang tahu rencana pengeboran oleh Lapindo di situ. Semula masyarakat Siring menolak tanah mereka dibeli, tapi kemudian Lapindo menggeser strategi dengan membebaskan tanah warga Desa Renokenongo melalui Kepala Desanya yang bernama Hj. Mahmudah yang merupakan warga NU dan PKB itu. Ketika saya bertenya kepada Bu Mahmudah tentang keterangan warga korban yang menyatakan adanya kebohongan informasi pembebasan tanah warga itu, dia menanggapi, “Itu fitnah dari orang-orang yang tidak suka kepada saya.” Tapi siapa yang menyebarkan informasi bohong itu? Ketidakjujuran itu telah membuahkan malapetaka yang bukan hanya merugikan masyarakat korban di Sidoarjo, tapi juga rakyat Indonesia menanggungnya lewat APBN.

Ada aroma skandal tercium dalam kasus ini. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang membawa tim dari berbagai keahlian telah melakukan pemeriksaan dan menemukan adanya pelanggaran hukum tata ruang, jarak lokasi pengeboran dengan lokasi pemukiman penduduk, bahkan menemukan fakta-fakta teknik yang tidak layak, yang memicu kecelakaan pengeboran tersebut (Laporan Pemeriksaan BPK, tanggal 29 Mei 2007).

Dalam laporannya tersebut BPK juga menyatakan: “Berdasarkan laporan pemboran harian (sejak 28 Mei 2006 jam 12.00 wib s.d. 30 Mei 2006 jam 18.00 wib), diketahui bahwa semburan lumpur baik di dalam lokasi (rig) maupun di luar lokasi (150-200 meter) berhubungan dengan sumur Banjarpanji-1. Bahkan pada 30 Mei 2006, PT Energi Mega Persada Tbk (pemilik LBI) mengeluarkan press release yang menyatakan bahwa “perusahaan telah bekerja sama dengan pejabat Pemerintah setempat sehingga tercapai situasi yang aman terkendali dan melaporkan bahwa tekanan semburan telah berkurang setelah dilakukan upaya pemompaan lumpur pemboran ke dalam sumur………..”.

BPK juga menemukan data Lapindo dan BP Migas berupa Berita Acara Penanggulangan Kejadian Semburan Lumpur di sekitar lokasi Sumur BJP-1 tanggal 8 Juni 2006 yang ditandatangani oleh LBI dan BP Migas. Dokumen tersebut menyebutkan BP Migas maupun LBI sepakat bahwa semburan tersebut sebagai akibat dari underground blowout. Sumber semburan diduga berasal dari 2 (dua) zona yang berbeda yaitu Formasi Shallow G-10 (overpressure zone) dan formasi Kujung (formasi batuan gamping) yang telah tertembus saat operasi pemboran berlangsung dan mengalir ke permukaan melalui zona patahan yang telah ada.

Tetapi ketika kasus itu masuk ke Pengadilan para hakim justru menggunakan alat bukti berupa “keterangan para ahli” yang diajukan para pengacara Lapindo.” Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Putusan No. 284/Pdt.G/2006/ PN.Jak.Sel.) menyimpulkan bahwa semburan lumpur Lapindo tersebut karena fenomena alam. Dalam pertimbangannya hakim PN Jakarta Selatan menjelaskan:
Menimbang bahwa dari pertimbangan tersebut oleh karena pendapat seorang ahli dari Penggugat yaitu Dr. Ir. Rudi Rubiandini yang pendapatnya telah dipatahkan oleh pendapat saksi ahli dari Tergugat yaitu Dr. Ir. Agus Guntoro, Msi, Prof. Dr. H. Sukendar Asikin, Ir. Mochamad Sofian Hadi dan Dr. Ir. Dody Nawangsidi, dan pendapatnya tersebut tidak didukung pula oleh alat bukti surat dari Penggugat, sedangkan saksi ahli dari Tergugat pendapatnya sudah saling bersesuaian dengan alat bukti dari Tergugat maka Majelis Hakim berpendapat bahwa terjadinya semburan lumpur panas di Banjar Panji 1 karena fenomena alam bukan akibat kesalahan dari Tergugat I.

Putusan ini atas gugatan WALHI, diperkuat dengan Pengadilan tingkat banding. Sayangnya WALHI tidak mengajukan upaya kasasi dan peninjauan kembali (PK). Ketika saya menanyakan hal itu, dijawab bagian hukum yang menerangkan bahwa WALHI punya masalah dengan biaya dan tidak mengajukan PK dengan alasan tidak mempunyai alat bukti baru yang menunjukkan keadaan baru (novum). Padahal kalau soal biaya bisa melakukan penggalangan dana. Untuk upaya PK juga tidak harus dengan adanya novum, bisa juga dengan alasan “kekeliruan atau kekhilafan hakim dalam memutus perkara.”

Semula Hakim PN Jakarta Pusat (putusan No. 384/Pdt.G/2006/ PN.Jkt.Pst. - atas gugatan YLBHI) menyimpulkan adanya fakta ‘kesalahan dalam pemboran’. Dalam pertimbangan hukumnya majelis hakim menyatakan: Menimbang bahwa dalam hal ini Majelis sependapat dengan Penggugat dimana luapan lumpur karena kekuranghati-hatian pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo (Turut Tergugat) karena belum terpasang cassing/pelindung secara keseluruhan sehingga terjadi kick kemudian terjadi luapan lumpur.” Namun pertimbangan putusan tersebut dianulir oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Mahkamah Agung.

Para hakim, termasuk Mahkamah Agung jelas keliru dan khilaf. Pertama, hakim mengabaikan standard pembuktian menurut pasal 164 HIR dan pasal 1886 BW (KUHPerdata), di mana “keterangan ahli tidak termasuk alat bukti” dan Laporan Pemeriksaan BPK mestinya merupakan alat bukti akte/surat otentik (Subagyo, Kompas, 31/5/2010).

Pertanyaan besar lainnya dalam menerima keterangan para ahli itu juga adalah: “Mengapa para hakim mempercayai keterangan para ahli geologi dan pemboran migas yang diajukan Lapindo yang sifat kebenarannya spekulatif sebab mereka bukan ahli gempa (kegempaan)?” Padahal DR. Sri Widiantoro yang merupakan ahli gempa saja di muka pengadilan menyatakan “terlalu jauh menghubungkan gempa Jogja sebagai penyebab semburan lumpur Lapindo.”

Kebenaran tentang penyebab semburan lumpur Lapindo itu mulai semakin terkuak dengan bocornya dokumen-dokumen riset yang dilakukan para ahli yang diminta Medco, diantaranya Neal Adams Services (15/9/2006) dan TriTech Petroleum Consultants Limited (22/8/2006). Riset-riset ini dilakukan sebelum adanya perdebatan tentang salah atau tidaknya Lapindo dalam melakukan pengeboran. Terakhir para ahli geologi internasional dalam International Conference & Exhibition dilaksanakan di Cape Town International Conference Center, Afrika Selatan, tanggal 26-29 Oktober 2008 menyimpulkan bahwa pengeboran Lapindo merupakan penyebab semburan lumpur Lapindo (42 ahli) meski ada juga yang menyimpulkan adanya kombinasi penyebab antara faktor gempa dan kesalahan pengeboran (13 ahli). Hanya 3 ahli dari Indonesia dari pihak Lapindo yang menyimpulkan gempa Jogja sebagai penyebab.

Saat ini, Lapindo menjadualkan penyelesaian kewajibannya melunasi pembayaran kepada korban Lapindo hingga 2012. Itu jika tak ingkar janji seperti biasanya. Sementara itu korban di luar peta 22 Maret 2007 yang tersebar dalam sekitar 16 desa akan tergantung dari bagaimana pemerintah mengambil langkah lugas dalam kasus itu. Riset tentang bahaya kesehatan masyarakat telah dilakukan WALHI dan kelompoknya, tetapi belum memperoleh respon postif pemerintah untuk menindaklanjutinya. Tim ahli Pemerintah Provinsi Jawa Timur juga menemukan gas hidrokarbon kawasan penduduk sebelah Barat danau lumpur Lapindo telah mencapai 55.000 ppm. Padahal ambang batas maksimum untuk kesehatan adalah 0,24 ppm.

Lalu kenapa semburan lumpur itu tidak dihentikan? Temuan BPK (sama dengan keterangan DR Rudi Rubiandini) juga menyatakan bahwa ada faktor nonteknis sebagai penyebabnya, termasuk ketidaktersediaan peralatan yang diperlukan dalam teknik relief well. Mengapa sampai seperti itu? Mengapa masalah besar itu cuma dijawab dengan “peralatan tidak disediakan”? Apa maksud dan tujuannya?

Bagaimana pemerintah akan memberikan tindakan hukum kepada Lapindo jika mereka terlibat dalam kejahatan itu? Kita tahu bahwa dalam perizinan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi melibatkan wewenang daerah dan pusat. Kita dapat menilai adanya multiskandal dalam kasus itu, sejak proses perizinan, penanganan masalah hingga ketika kasus itu masuk ke pengadilan.

Ada banyak hal yang ingin saya tulis di sini. Tidak cukup itu. Tapi sayangnya ini bukan sebuah buku. Ini adalah satu kasus menyedihkan diantara banyak kasus di negara ini, baik yang diketahui oleh media atau tidak. Jika kita melakukan penelusuran ke daerah-daerah sekitar tambang dan industri, selalu saja ada sisi-sisi yang mengenaskan dari kehidupan rakyat negeri kaya sumber daya alam ini. Dan mereka hanyalah tumbal. Para ekonom kritis menyebutnya sebagai “penonton”. Sejatinya bukan sekadar penonton, melainkan tumbal. Siapa yang menyelamatkan mereka, jika bukan kekuatan mereka sendiri dan solidaritas kita?

Oh ya, ingatkan kita pada 22 Nopember 2006 malam hari terjadi ledakan pipa gas akibat pergerakan tanah tanggul lumpur Lapindo? 14 orang mati sia-sia. Pak Rudi bilang, itu yang dilaporkan. Ada banyak korban mati lainnya yang tidak dipublikasi, tidak didaftar. Itu juga menjadi kasus yang tak terselesaikan hukum. Meski sebelumnya sudah ada peringatan tentang bahaya pipa gas itu.

Di Indonesia, korporasi yang berhasil melibatkan para pejabat negara akan mempunyai kekebalan hukum yang lebih tinggi daripada seorang presiden. Korporasi dapat menggiring para politisi di parlemen, eksekutif negara dan pengadilan untuk menyimpulkan, “Semburan lumpur Lapindo disebabkan gempa Jogja!”


Selasa, 25 Januari 2011

Interpelasi Salah Objek: Cara Menjatuhkan Walikota Surabaya?

Polemik interpelasi DPRD Kota Surabaya kepada Walikota Surabaya terhadap terbitnya Peraturan Walikota (Perwali) Surabaya No. 56 dan 57 tentang reklame menjurus pada perdebatan legalitasnya. Soal adanya kecurigaan kekuatan kapital untuk menekan Bu Risma sebagai Walikota Surabaya, itu bukan ranah hukum. Wallahu’alam.
Beberapa pendapat ahli hukum bernada beda, ada yang mengatakan bahwa interpelasi itu sah dan ada yang menyatakan tidak sah. Topik perdebatannya ada pada tataran prosedur interpelasi.
Saya akan melihat dari perspektif berbeda, yaitu dari perspektif objek interpelasi tersebut. Apa sesungguhnya obyek yuridis dari interpelasi?
Penjelasan pasal 43 ayat (1) huruf a UU Pemda (UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008) menjelaskan definisi yuridis interpelasi: “Yang dimaksud dengan “hak interpelasi” dalam ketentuan ini adalah hak DPRD untuk meminta keterangan kepada kepala daerah mengenai kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah dan negara.” Definisi yuridis interpelasi  itu juga dapat dibaca dalam pasal 349 ayat (2) UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Pertanyaannya adalah: apakah Perwali Kota Surabaya No. 56 dan 57 yang menjadi objek interpelasi DPRD Kota Surabaya tersebut merupakan KEBIJAKAN Pemkot Surabaya yang penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat Surabaya?
Kebijakan merupakan salah satu produk pejabat atau lembaga pemerintah (eksekutif/administrasi negara) berdasarkan asas freies ermessen (kebebasan bertindak). Prof. Philipus M Hadjon dkk (1995) menyatakan bahwa peraturan kebijaksanaan (kebijakan) bukanlah peraturan perundang-undangan. Peraturan kebijakan mengandung syarat pengetahuan tidak tertulis (angeschreven hardheidsclausule).
Dalam berbagai literatur ilmu hukum ada banyak penjelasan bahwa kebijakan pemerintah juga terkait kewenangan diskresioner yang boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dalam keadaan tertentu, demi kepentingan masyarakat. Contoh sederhana, seorang polisi punya wewenang diskresi untuk mengarahkan kendaraan lewat jalan yang ada rambu-rambu tanda larangan, untuk upaya mengatasi kemacetan lalu-lintas.
Perwali Kota Surabaya No. 56 dan 57 tersebut merupakan peraturan perundang-undangan. Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memang tidak menyebut Peraturan Kepala Daerah termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Namun pasal 49 ayat (2) menentukan bahwa Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota dimuat (diundangkan) dalam Berita Daerah.
Hal itu dapat dikaitkan dengan pasal 7 ayat (4) yang menentukan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Artinya, tidak semua jenis peraturan perundang-undangan disebut dalam pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004. Peraturan Mahkamah Agung termasuk salah satu bentuk peraturan perundang-undangan meskipun tidak disebutkan dalam UU No. 10 Tahun 2004.
Namun, Penjelasan Umum UU Pemda juga menjelaskan bahwa penyelenggara pemerintahan daerah dapat menetapkan kebijakan daerah yang dirumuskan antara lain dalam peraturan daerah, peraturan kepala daerah, dan ketentuan daerah lainnya. Ini menandakan bahwa penyusun UU Pemda menganggap peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan.
Agar pengertian “kebijakan” tidak bertabrakan definisi “peraturan perundang-undangan” maka  kebijakan yang dimaksudkan Penjelasan Umum UU Pemda tersebut diartikan sebagai “politik hukum pemerintah daerah.” Sedangkan kebijakan yang menjadi obyek interpelasi adalah kebijakan berbentuk tindakan pemerintahan yang bukan merupakan peraturan perundang-undangan.
Mengapa harus ditafsir begitu? Jika peraturan perundang-undangan yang diterbitkan pejabat pemerintah dapat menjadi objek interpelasi maka itu preseden buruk yang dapat merembet ke mana-mana. Nantinya Peraturan Bupati, Peraturan Gubernur, Peraturan Menteri, Peraturan Mahkamah Agung, Peraturan Presiden dan seluruh peraturan perundang-undangan juga dapat diinterpelasi.
Unsur lain yang harus dipenuhi berdasarkan prinsip yuridis objek interpelasi adalah bahwa kebijakan objek interpelasi itu berdampak yang luas bagi masyarakat. Cara mengukurnya dengan melihat reaksi masyarakat luas. Artinya, kebijakan merupakan fakta, bukan ketika masih pada tahap norma hukum.
Berdasarkan uraian tersebut maka sebenarnya DPRD Kota Surabaya telah melakukan interpelasi yang keliru objek (error in objecto), sebab Perwali Kota Surabaya No. 56 dan 57 bukanlah kebijakan melainkan peraturan perundang-undangan. Selain itu juga tidak memenuhi unsur adanya fakta dampak yang luas bagi masyarakat Surabaya.
Andai Walikota Surabaya keliru dalam menerbitkan Perwali, entah itu prosedur atau substansinya, maka otoritas yang berwenang menguji adalah Menteri Dalam Negeri selaku otoritas administrasi (pasal 37 PP No. 79 Tahun 2005) dan Mahkamah Agung selalu otoritas yudisiil (pasal 31 UU No. 14 Tahun 1985 jis. UU No. 5 Tahun 2004 dan UU No. 3 Tahun 2009).
Selain itu, kekeliruan aspek formil dan materiil penyusunan peraturan perundang-undangan tidak dapat dipakai sebagai alasan permakzulan. Andaikan itu bisa, maka Presiden dan DPR juga dapat dimakzulkan sebab beberapa undang-undang produk mereka telah dikoreksi kesalahannya oleh Mahkamah Konstitusi. Tentu saja Bu Risma tak dapat dimakzulkan dengan alasan keliru dalam membuat Perwali.
Opera politik yang sedang terjadi itu hanya akan membuang energi dan uang negara yang tak akan jelas hasil baiknya apa. Banyak hal substansial yang perlu diurusi, daripada sekadar mengurusi periklanan yang selama ini tinggal menegakkan hukumnya, bukan malah mundur berkonflik pada penyusunan aturan baru. 
Apa karena para politisi berkepentingan untuk mengiklankan diri dengan pajak yang murah demi memperoleh atau mempertahankan kekuasaan politik mereka? Atau ada para pengusaha yang ada di balik kepentingan itu? Jelasnya, sosiologi hukum sudah menjawab: bahwa hukum dalam arti sempit, yaitu peraturan perundang-undangan, merupakan produk kepentingan kaum strata atas. 

Sumber foto: cari di internet via mbah Google

Jumat, 12 November 2010

Keadilan Di Jalan yang Sesat



(Dimuat Jawa Pos Radar Jember, 12 Nopember 2010)  

  Pada 1 November 2010, Pengadilan Negeri (PN) Jember memberi keadilan kepada Sjahrazad Masdar. Melalui putusan majelis hakim yang diketuai hakim R. Hendral dalam perkara dugaan korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jember, Sjahrazad dinyatakan bebas. 

Perkara Sjahrazad bermula saat ia menjadi Pejabat Sementara (Pjs) Bupati Jember. Pada Juli 2005, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jember periode 2004-2009, HM. Madini Farouq, mengajukan dana bantuan hukum (bankum) kepada Pjs Bupati Sjahrazad Masdar terkait perkara korupsi yang dihadapi anggota dewan. Uang bankum tersebut akan digunakan membayar jasa advokat. 

Sjahrazad menjabat bupati Jember hingga 11 Agustus 2005. Uang bankum itu baru cair setelah Sjahrazad tidak lagi menjabat Pjs Bupati Jember dan prosesnya diajukan secara normatif melalui pembahasan Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) DPRD Jember, sesuai pengajuan tim anggaran, yang selanjutnya disahkan melalui APBD Jember.

Singkat cerita, Sjahrazad ketika menjadi Bupati Lumajang, ia diajukan ke PN Jember. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Sjahrazad Masdar melanggar pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Tuntutan JPU itu kandas di tangan PN Jember. Kini, JPU mengajukan kasasi.

***
Sjahrazad menyatakan, "Kesalahan saya adalah administrasi saja, yakni mendisposisi surat pimpinan DPRD Jember tentang permohonan dana bantuan hukum kepada Sekretaris Kabupaten Jember Djoewito. Itu saja.” (Antara.com, 3/11/2010). 

Memang, Sjahrazad bersalah. Jika dana APBD boleh untuk membayar jasa advokat guna membela anggota dewan yang menjadi tersangka dan terdakwa korupsi, nanti para anggota dewan tersangka dan terdakwa perampokan dan pemerkosaan juga akan minta dana APBD untuk membayar jasa pengacara komersil. Kalau para pejabat dibenarkan menggunakan aji nunut uang negara dalam urusan pribadi, jadilah pemerintahan sesat. Prinsip pengelolaan keuangan daerah menurut PP Nomor 58 Tahun 2005 hanya akan menjadi peraturan memble.
 
UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 hanya mengenal personal crime (kejahatan pribadi) dan corporate crime (kejahatan korporasi), tidak mengenal institutional crime. Pejabat yang terlibat kasus korupsi itu urusan pribadinya, malah menjadi lawan negara, bukan malah dibiayai uang negara. Logika hukumnya kacau.

            Secara faktual, dalam perkara-perkara korupsi bukan cuma norma hukum yang dibuat loyo. Norma agama juga digunakan untuk menjustifikasi kejahatan korupsi. Nama Allah SWT disebut gemuruh, bukan untuk melawan kejahatan korupsi, tapi membela korupsi dengan mengatasnamakan “kebenaran”. 

Buya Syafi’i Maarif pernah melontarkan sindiran kenyataan perilaku para politisi yang “merasa benar di jalan yang sesat.” Dikiranya sedang lewat shirotal mustaqiim, tapi ternyata menuju neraka. Seperti halnya dalam Hadits Qudsi dikisahkan ada muslim taat ibadah yang mengira dirinya masuk surga, tapi ternyata dilemparkan ke neraka, karena dosa-dosa sosialnya.

Para ahli hukum kampus pun dikerahkan untuk membebaskan dakwaan korupsi. Apa perlu saksi ahli hukum, wong para hakim itu sendiri adalah para ahli hukum? Jika ada hakim bodoh hukum, hakim itu akan masuk neraka. Apalagi jika hakim dzalim, mengetahui kebenaran tapi tidak menghukum dengan benar, juga akan masuk neraka. Begitu Sabda Rasulullah SAW dalam Bulughul Maraam (1991: 746). 

Hariyono Mintaroem pakar hukum Universitas Airlangga (UA) dan Adami Chazawi pakar hukum Universitas Brawijaya (UB), selaku saksi ahli perkara Sjahrazad, menerangkan bahwa surat keputusan (SK) dan nota dinas yang sudah ditandatangani oleh Sjahrazad pada saat yang bersangkutan menjadi Pjs. Bupati Jember merupakan perbuatan “percobaan pidana korupsi.” Keterangan saksi ahli hukum UA lainnya, Immanuel Sujatmoko menerangkan bahwa Sjahrazad tidak bertanggung jawab atas pencairan dana bankum tersebut.

Percobaan pidana menurut pasal 53 ayat (1) KUHP harus mengandung unsur “tidak selesainya pelaksanaan tindak pidana.” Padahal dana bankum benar-benar keluar yang prosesnya berawal dari SK dan nota dinas Sjahrazad (yang tak pernah dibatalkan), lalu penyusunan PAK, dan penganggaran di APBD. Niat, proses, dan akibat yang ditimbulkan sudah jelas. Tapi fakta-fakta rangkaian perbuatan korupsi itu dikaburkan dengan pendapat para ahli hukum yang berprofesi sebagai ahli bersaksi di mana-mana.

Lucunya, para ahli hukum itu membuat “ajaran sesat” di muka hakim dengan menyatakan bahwa “bukan perbuatan pidana jika tidak dilakukan berulang-ulang dan tindak pidana tidak dapat diwakilkan.” Jika begitu, kalau ada orang mencuri satu kali, tidak boleh dihukum? Kalau ada orang menyuruh orang lain mencuri, si penyuruh tidak dapat dihukum? 

Jika begitu, silahkan mencuri, merampok, memperkosa, menggelapkan uang negara, asal dilakukan sekali, tidak berulang-ulang! Nanti kalau ternyata dihukum, tanyakan kepada para ahli hukum yang membuat teori itu! Jelas, teori itu hanya dipakai di pengadilan demi membela “klien” para ahli hukum itu. Bayangkan jika teori itu diajarkan di kampus, maka berapa banyak mahasiswa dan sarjana hukum yang tersesat!
 
Apa bisa memberantas korupsi di negara ini dengan berbagai cara pengkhianatan intelektual? Apa mungkin ada penegakan hukum yang serius dan bermoral? Apa bisa jika para pejabat publik yang ditugasi memberantas korupsi juga ikut korupsi? Pun kaum intelektual ikut-ikutan “dagang” hukum? Yah, tanya lagi, tanya lagi….. 

Barangkali Gusti Allah SWT perlu turun tangan sendiri. Karena para ulama juga santai-santai, pandangannya mulai kabur, para mahasiswa pun banyak tidur. Ya, untuk sementara ini, dalam waktu yang cukup panjang, mari terus bermimpi bahwa negara ini akan terbebas dari korupsi!

Minggu, 24 Oktober 2010

Cara Kaya Tanpa Modal

Sebelum saya menjelaskan ‘cara kaya tanpa modal’, lebih dulu kita menyimak gaya hidup ‘presiden’Madinah pasca Nabi Muhammad, yaitu: Abu Bakar. Sebelum menjadi khalifah (baca:pemimpin pemerintahan) di Madinah yang wilayahnya adalah Jazirah Arab, Abu Bakar adalah pedagang. Tapi karena menjadi khalifah maka beliau meninggalkan pekerjaan dagang agar konsentrasi mengurus rakyat dan negara. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari Abu Bakar selaku khalifah diberikan tunjangan dari Baitul Mal (sejenis Kas Negara).


Suatu saat isteri Abu Bakar (ibu negara) ingin makan manisan, tapi tidak punya uang, sehingga beliau usul kepada Abu Bakar untuk menghemat uang belanja. Usul itu di-acc oleh Abu Bakar. Setiap hari Ibu negara menabung sedikit-sedikit sehingga berhasil mengumpulkan uang. “Wah kalau begitu uang tunjangan kita melebihi keperluan kita,” kata Abu Bakar. Alih-alih untuk membeli manisan, sebab Abu Bakar meminta agar uang itu dikembalikan ke Baitul Mal. Selanjutnya, Abu Bakar mengurangi tunjangannya senilai uang yang dapat ditabung isterinya. Mungkin kalau kita bisa melihat kejadiannya, Ibu Abu Bakar bisa jadi klamet-klamet alias menelan ludah membayangkan manisnya manisan itu.

Gaya hidup seperti itu mencontoh keteladanan Nabi Muhammad yang mengangkat peradaban Arab menjadi adidaya - saingan Kekaisaran Persia dan Romawi - dengan cara menerapkan pola hidup sederhana bagi para pejabat, melakukan efesiensi keuangan negara untuk memperkuat investasi sosial. Hal itu juga dilakukan Umar bin Khatab, Usman bin Affan serta Ali bin Abi Thalib. Kekhalifahan Islam pernah jaya, kekuasannya hingga ke Spanyol, tapi akhirnya tumbang ketika para penguasanya meninggalkan kesederhanaan hidup dan cenderung hedon.

Pesta korupsi

Kita beralih ke Surabaya. Orang Jawa mempunyai prinsip bahwa jabatan adalah kamukten atau kemuliaan. Berbeda dengan prinsip agama yang mengajarkan bahwa jabatan itu amanat. Karena menganggap jabatan sebagai kamukten, maka para pejabat cenderung memanfaatkan jabatan itu sehabis-habisnya. Kalau diberi jatah anggaran maka akan berusaha untuk menghabiskannya, mumpung masih menjabat. Jalan-jalan ke luar negeri dan pesta ulang tahun daerah merupakan bagian dari kamukten yang mereka sukai. Dari mana rakyat memperoleh keadilan dan kesejahteraan jika para pejabat yang mempunyai kewajiban mengurus mereka hanya bermain-main dengan angka, setiap malam keluyuran di tempat-tempat hiburan mahal dan uang negara dijadikan santapan kenikmatan mereka? Jangankan manusia, setan mana yang mau dipimpin orang-orang seperti itu?

Menurut data Indonesian Corruption Watch (ICW), pada tahun 2007 untuk Jawa Timur, selain kasus korupsi bagi-bagi dana bantuan partai politik (banpol) di Surabaya, ada sekitar sembilan dugaan kasus pencaplokan uang negara. Bupati Malang diperiksa dalam kasus dana keagamaan senilai Rp. 1,1 miliar dari Rp. 2,3 miliar. Bupati Sidoarjo juga akan diperiksa dalam kasus dana proyek Pasar Induk Agrobis (PIA) Jemundo itu. Bupati Pasuruan juga diperiksa sebagai saksi kasus dana proyek peternakan (bekerjasama dengan Universitas Brawijaya dan pihak luar negeri) senilai Rp. 3,5 miliar. Bupati Pamekasan diminta keterangannya dalam kasus dana biaya tambahan senilai Rp. 3,5 miliar. Bupati Situbondo sudah menajdi tersangka kasus dana kas daerah sebesar Rp. 45,750 miliar.
Bupati Magetan menjadi tersangka kasus dana proyek pembangunan GOR dan gedung DPRD Magetan senilai Rp. 7,2 miliar. Bupati Madiun menjadi tersangka dugaan korupsi APBD 2001-2004 senilai Rp. 8,7 miliar. Walikota Madiun menjadi tersangka penghilangan aset TNI AD dan dana APBD 2002-2004 senilai Rp. 9,68 miliar. Walikota Kediri juga sedang diselidiki dalam kasus dugaan korupsi.

Itulah fenomena kekuasaan yang berpesta-pora korupsi di mana-mana. Ketika pemberantasan kejahatan korupsi mulai digelar maka para pejabat melakukan penyanderaan politik anggaran dengan cara mengendapkan dana APBD. Pantaslah jika Indonesia memperoleh prestasi juara dunia korupsi, dan mempunyai pemimpin yang juara maling sejagat. Apa jenis Tuhan orang Indonesia sehingga tak ditakuti lagi?

Sugih tanpa bandha

Orang Jawa sebenarnya juga mempunyai filosofi kultural: sugih tanpa bandha. Terjemahannya: ‘kaya tanpa harta.’ Filosofi tersebut mempunyai arti: orang kaya bukanlah orang yang hartanya banyak, tapi orang yang mempunyai jiwa sebagai orang kaya. Ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad bahwa yang dimaksudkan dengan kaya bukanlah kaya harta, tapi kaya hati. Orang yang tidak kaya tapi mempunyai hati lapang, selalu bersyukur, maka tak akan pernah merasa kekurangan. Sebaliknya orang yang mempunyai harta melimpah tapi selalu merasa kurang maka akan cenderung serakah dan tidak pernah merasa puas, sehingga hatinya miskin sebab merasa terus kekurangan. Tetapi sugih tanpa bandha bukan lantas menghilangkan kultur kerja keras sebab tanpa kerja keras manusia tak akan dapat membangun peradaban.

Jika filosofi sugih tanpa bandha tersebut diterapkan para pejabat negara ini maka korupsi tidak akan ada, sehingga kita tidak butuh UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kini juga masih ditegakkan dengan cara korup. Kalau misalnya ada polisi, jaksa, hakim atau advokat (pengacara) yang mau disuap maka akan menjawab, “Gak usah! Aku wis sugih tanpa bandha.”Hidup baik cukup dengan gaji atau penghasilan halal. Kalau ingin kaya harta ya menjadi pedagang, jangan menjadi pegawai negeri.
Tetapi saking ‘kreatifnya’ otak maling, para pejabat memodifikasi filosofi sugih tanpa bandhadiartikan sebagai ‘kaya tanpa modal’. Caranya? Ya korupsi. Orang berdagang mau menjadi kaya, harus punya modal. Penjudi togel maunya kaya, juga pakai uang. (Silahkan aja kalau tidak ingin diborgol polisi, yang juga inginnya kaya tanpa modal!). Tapi para pejabat negara ini maunya kaya tanpa modal. Mereka hanya menengadahkan tangan jabatannya atau merogoh uang yang ada di laci kekuasaannya. Perlu juga sih modal imateriil, yaitu: ‘berani dipenjara.’ Modal malu sudah habis! Mereka tak punya kemaluan, tapi hanya alat reproduksi. Cuma, hukuman penjara juga bisa dinego sehingga keluar penjara masih gagah dan kaya.

Dengan keadaan seperti itu, sebenarnya sudah waktunya Musa membebaskan Bani Israel dari penindasan Firaun, waktunya Isa (Yesus) menggiring domba-dombanya untuk menuju kebangkitan, waktunya Nabi Muhammad untuk membebaskan Jazirah Arab dan dunia dari gelapnya peradaban (kejahiliahan). Para ulama (semua agama) yang dipercaya mewarisi tongkat perjuangan pembebasan jangan hanya berkhotbah sebab para koruptor juga jago berkhotbah tentang agama dan ilmu. Perjuangan agama dan kultural itu harus digerakkan untuk mengawal gerakan hukum yang terseok-seok sebab hukum juga dikendalikan orang-orang korup. Tapi negara ini juga celaka jika seumpama wilayah agama dan kultural juga tertular virus korupsi.

Tulisan ini pernah dimuat Jawa Pos di Ruang Publik, 26 September 2007.
Sumber gambar dari Boston.com

Jumat, 08 Oktober 2010

E-book: Nyai Ratu Kidul Hanya Rekayasa Politik

Silahkan juga mengunduh (download) buku sederhana tentang "siapa sebenarnya Nyai Ratu Kidul" yang melegenda di tanah Jawa, melalui link di bawah ini:


http://www.4shared.com/document/uWn5QTZu/NYAI_RATU_KIDUL_HANYA_REKAYASA.html

Buku Sederhana Tentang Prinsip Perlindungan Konsumen

E-book tentang Prinsip Perlindungan Konsumen dapat diunduh (download) lewat link berikut ini :
http://www.4shared.com/document/C052-tW5/PRINSIP_PERLINDUNGAN_KONSUMEN.htm


Silahkan mengunduh dan membacanya, semoga ada manfaatnya. Boleh disanggah, dikritik, dikecam, diolok-olok, agar mendorong saya untuk menulis lebih baik.


Jangan kuatir, saya tidak butuh citra diri sehingga kalau saya dikecam atau dikritik maka saya tak akan mengeluh dan curhat, hehehe...

Kamis, 12 Agustus 2010

Grup Bakrie dan Pengamen Anak-anak


Malam itu jalanan penuh debu. Jalan raya di negara ini konon dibangun dengan bacaan basmallah, yang memanipulasi kualitasnya, demi kekayaan dan kesenangan. Lalu Tuhan diminta memaklumi kelakukan bejat para maling berupa penguasa modal dan pembuat keputusan pemerintahan itu, yang merayuNya dengan sumbangan ke panti asuhan, zakat dan sedekah dengan uang haram. Kapitalisme kasar menyusupi tafsir-tafsir dalil agama yang mulia. Seluruh agama di muka bumi telah disusupi watak rakus kapitalisme.

Debu jalanan tampak dari kepulannya yang membumbung, yang diterangi lampu jalan raya yang tak begitu terang. Malam itu, dalam suatu urusan, 12 Agustus 2010, sekitar jam 22.00 WIB, aku berada di dalam bus yang sedang berjalan dari Porong ke Surabaya.

Malam yang lusuh di dalam bus itu dihangatkan dengan lagu-lagu merdu tiga pengamen kecil. Seorang remaja lelaki usia 17 tahunan memainkan gitar kecil berkolaborasi dengan remaja perempuan berusia sekitar 15 tahunan yang juga mahir memetik gitar kecil. Mereka tampak kompak dan terlatih, suaranya juga tak kalah merdu dibandingkan suara para penyanyi remaja yang tayang di TV-TV.

Satu lagi anggota pengamen itu anak laki-laki berusia sekitar 13 tahun mengedarkan amplop putih. Pada bagian luar amplop putih itu bertuliskan kalimat tulisan tangan, kurang-lebih: “Assalamu’alaikum wr.wb. Kepada Yth. Bapak dan ibu, mohon bantuan seikhlasnya untuk keperluan biaya sekolah kami, dan jika ada lebihnya akan kami gunakan untuk membantu orang tua kami. Terima kasih. Wassalamu’alaikum wr.wb.”

Otak bisa saja berkelana memikir segala kemungkinan. Mungkin anak-anak itu termasuk korban Lapindo seperti pengakuan mereka. Mungkin anak-anak itu bohong, bukan korban Lapindo. Mungkin anak-anak itu sejak kecil dipelihara orang orang tua yang bermental pengemis. Atau bisa saja banyak kemungkinan yang dapat aku pikirkan.

Tapi, apakah segala kemungkinan akan terjadi jika negara ini diurus dengan benar? Mengapa di negara ini ada rakyat kecil yang miskin dan bermental pengemis? Apakah itu berkaitan dengan banyaknya pengurus negara yang bermental perampok padahal mulutnya berbuih fatwa dan otaknya terisi ilmu kebenaran?

Pertanyaan lain yang tak kalah penting adalah: apakah layak dalam sebuah wilayah tambang kaya gas bumi yang bernama Blok Brantas, yang dikelola Lapindo Brantas Inc (Grup Bakrie) itu, ada anak-anak kecil yang berkeliaran di malam hari hanya untuk mencari biaya sekolah atau mencari makan sendiri? Sementara itu, pada malam itu anak-anak orang berkemampuan ekonomi sedang belajar di rumah, atau bermain-main, dan bahkan sudah banyak yang tidur lelap tanpa memanggul beban apa-apa sebab sudah dicukupi para orang tua. Ini negara kapitalis liberal atau negara Pancasila yang berkeadilan sosial?


Anda mau tahu, berapa luas Blok Brantas, dan berapa kekayaan gas di dalamnya?

Blok Brantas membentang dari wilayah Jombang, Mojokerto, Sidoarjo hingga Pasuruan. Berdasarkan klasifikasi data Walhi Jawa Timur, wilayah Blok Brantas Ring I terdiri dari  11 desa/kelurahan di Sodoarjo. Ring II terdiri dari 29 desa di Sidoarjo. Ring III meliputi 441 desa terbentang di Jombang, Mojokerto, Sidoarjo hingga Pasuruan. Membentang di 481 desa di empat kabupaten! Ternyata wilayah kekuasaan korporasi ini bisa menyamai luas negara-negara makmur di Eropa.

Di wilayah Sidoarjo saja, Lapindo Brantas Inc menguasai konsesi wilayah minyak dan gas bumi (migas) lebih dari 10.000 hektar, atau lebih dari separuh wilayah Sidoarjo.

Blok Brantas mempunyai kurang lebih 7 (tujuh) cadangan migas dengan sumber daya gas bumi sebesar 677 BCF (triliun kaki kubik) dan minyak bumi sebesar 12,5 MMBBL (juta barrel).

Blok Brantas pada mulanya dikelola oleh Huffco Brantas Inc, anak Huffco Group dari Amerika Serikat. Pada tahun 1990 Huffco Brantas Inc mendapat hak penambangan Blok Brantas berdasarkan persetujuan dari Presiden Suharto dengan surat No.B-105/Pres/4/1990 tanggal 12 April 1990.

Pada tahun 1996 Lapindo Brantas mulai mempunyai 50 persen interest Blok Brantas setelah membeli interest dari pemilik semula.

Pemegang interest di Blok Brantas sesuai surat BP Migas kepada Lapindo Brantas Inc No.424/BP00000/2005-S0 tanggal 4 Juli 2005 adalah:  Lapindo Brantas Inc. 50 persen, PT Medco E&P Brantas 32 persen dan Santos Brantas Pty Ltd 18 persen. Selain sebagai pemegang participating interest, Lapindo juga bertindak sebagai operator.

Setelah peristiwa semburan lumput Lapindo tersebut kepemilikan interest Medco di Blok Brantas dialihkan ke Grup Prakarsa (dengan jaminan dari Minarak Labuhan, yang juga anak Grup Bakrie). Sedangkan interest Santos di Blok Brantas dialihkan kepada Minarak Labuhan tersebut dengan harga 22,5 juta dollar AS. Sehingga, kini kepemilikan konsesi migas Grup Brantas kini ada di tangan Lapindo (Grup) Bakrie dan Grup Prakarsa yang dijamin Minarak Labuhan (Grup Bakrie).

Dengan kekayaan seluas itu, lalu apakah lalu rakyat Jawa Timur, terutama Sidoarjo, Mojokerto, Jombang dan Pasuruan menjadi makmur setelah kekayaan alam minyak dan gas bumi (migas) mereka ditambang sejak tahun 1990 hingga sekarang itu?

Yang jelas, bukan kemakmuran yang mereka alami. Justru ada sekitar 100 ribu penduduk kehilangan tanah, rumah, pekerjaan, serta artefak kebudayaan dan nilai sejarah pemukiman mereka akibat kerja korporasi Lapindo di Blok Brantas itu. Itu hanya karena satu sumur gas yang menyembur. Padagal kini ada sekitar 49 sumur migas milik Lapindo yang dalam tahap produksi dan pengembangan. Justru rakyat Indonesia dipaksa pemerintahan SBY untuk menyumbang Grup Bakrie melalui APBN dan APBD Jawa Timur guna membiayai masalah lumpur Lapindo itu.

Dalam akal kita yang sehat bisa memikirkan, jika seandainya pertambangan kekayaan alam seluas itu mempunyai akibat ekonomi yang baik, maka malam itu aku tidak akan bertemu dengan tiga anak-anak yang sedang meninggalkan waktu istirahat mereka, meninggalkan waktu belajar mereka di malam hari, hanya karena mencari biaya sekolah dan makan, bahkan membantu para orang tua mereka yang miskin. Padahal rakyat yang senasib dengan para pengamen anak-anak itu merata di mana-mana.

Setelah membaca tulisan ini mungkin orang akan bertanya: Lalu apa solusinya? Pertanyaan bodoh! Sebodoh kita semua yang takut menggulingkan pemerintahan yang pembohong dan korup ini. Takut untuk menghancurkan alat-alat produksi korporasi penindas semacam Grup Bakrie dan malah ramai-ramai membeli produknya. Sebodoh para intelektual, agamawan, seniman dan budayawan yang mau menjadi gedibal menjilati ketiak bosnya. Sebab tersihir oleh uang dan posisi sosial.

Padahal pemerintahan inkonstitusional itu harus digulingkan dan penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi. Termasuk saya kasihan pula dengan diri saya sendiri yang bodoh dan penakut ini!

Senin, 09 Agustus 2010

Mengharap Badai, Agar Muncul Pelangi di Negeri Mimpi


Bismillah. Hanya karena kumpulan titik embun, cahaya matahari terurai hingga tampaklah jelas mana kuning, merah, jingga, ungu, hijau dan lain-lain dalam pelangi. Keanggunan pelangi yang menjulang tinggi di atas langit lantas dikira sebagai sebuah naga yang sedang meminum air di suatu danau, atau sebuah jalan para bidadari yang sedang mandi di telaga bumi. Entah siapa yang kali pertama mengatakan itu, tetapi kebanyakan orang jaman dahulu mempercayai cerita itu. Hingga kini kepercayaan itu masih tersisa di benak orang-orang tua yang tersebar di seluruh desa di negara ini.
            Kalau kepercayaan itu kali pertama terhembus dari kata-kata orang yang dipercaya masyarakat (raja atau pendeta) maka seharusnya mereka bertanggung jawab atas kebenarannya. Namun, kalau mereka sudah beratus-ratus tahun yang lalu mati, maka siapa sekarang yang harus bertanggung jawab untuk mengubah kepercayaan (alam pikiran) itu ke arah kebenaran?
            Kepercayaan tentang pelangi bersinggungan dengan ilmu pengetahuan. Aku ingat sewaktu masih anak-anak, ketika ada pelangi setengah lingkaran di langit Timur, aku bertanya kepada ibuku, “Pelangi itu apa Bu?” Ibuku yang miskin dan tidak pernah bisa sekolah itu menjawab, “Itu adalah jalan para bidadari yang sedang turun ke bumi untuk mandi di telaga.”  Sayangnya di desaku dan sekitarnya tidak ada telaga, yang ada hanya waduk, sehingga pupus harapanku untuk bisa mengintip bidadari yang sedang mandi.
            Di lain hari aku melihat pelangi yang tegak di langit di atas pepohonan hutan jati. Aku bertanya kepada ibuku, “Apakah itu juga jalan bidadari Bu?” Ibuku menjawab, “Bukan. Itu adalah sinar orang yang sedang bertapa.”
            Ketika aku mulai sekolah di SD, guruku menerangkan bahwa pelangi yang membentuk setengah lingkaran (dalam bahasa Jawa disebut kluwung) ataupun pelangi yang tegak (dalam bahasa Jawa disebut teja) adalah cahaya matahari yang diuraikan oleh titik-titik air. Atas penjelasan guruku itu, meski aku tidak berani membantah, aku merasa tidak percaya sebab apa yang dijelaskan guruku lain daripada yang dijelaskan ibuku. Waktu itu aku tidak sampai pada pikiran untuk membandingkan kualitas guruku dan ibuku dalam soal ilmu pengetahuan.
            Tetapi akhirnya aku justru tidak lagi percaya dengan penjelasan ibuku, sebab alam menjelaskan sendiri kepadaku. Ketika suatu saat aku sedang bermain-main di sebuah terowongan jembatan bangunan Belanda di sebuah hutan di dekat desaku, sambil menunggu kambing gembalaan, aku bermain-main air dengan cara menciduk air dengan kedua tanganku dan aku lemparkan ke dinding terowongan yang kebetulan diterpa sinar matahari agak sore. Ketika aku menghempaskan air di dinding terowongan itu aku melihat pelangi kecil buatanku sendiri. Aku terkejut sebab aku bisa membuat pelangi, maka aku lakukan hal itu secara berulang-ulang dan muncul pelangi kecil berulang-ulang.
            Kemudian aku memanggil teman-temanku penggembala kambing lainnya yang sedang mandi renang di sungai itu. Mereka kupameri dengan pelangi buatanku itu, lalu aku katakan kepada mereka bahwa pelangi ternyata bukan jalan bidadari yang sedang turun ke bumi, tapi hanyalah sinar matahari yang diuraikan oleh titik-titik air. Aku dan teman-temanku pulang ke rumah dengan membawa bukti yang mengubah kepercayaan kuno yang tidak ilmiah itu, meski para orang tua kami tetap saja kukuh dengan kepercayaannya bahwa pelangi adalah jalan para bidadari.
            Pelangi adalah keindahan alam yang terbentuk karena peran dari air di mana air telah mengurai fakta tentang warna. Keindahan itu terjadi karena adanya keragaman  warna yang membentuk suatu harmoni dan kebersamaan. Tetapi air pun tak dapat menjelaskan keragaman warna jika tidak dalam bentuk titik-titik yang terkumpul dalam satu area yang membutuhkan ruang yang cukup luasnya. Air yang ada di sungai dan lautan tidak menimbulkan pelangi tetapi mempunyai peran sendiri di alam ini. Air menjadi kebutuhan pokok alam, seperti halnya sinar matahari bagi kehidupan. Tetapi air bisa menjadi bencana banjir yang ganas dan menggulung kehidupan.
            Dalam kurun waktu enam puluh lima tahun Indonesia merdeka, alam pikiran bangsa  masih terperdaya seperti para orang tua yang kukuh mempertahankan kepercayaannya yang melawan akal sehat. Saya tidak berani mengatakan bangsa ini sebagai bangsa yang bodoh, tetapi alangkah malangnya nasib rakyat di negara ini yang tetap mempertahankan kebiasaan saling sikut, saling tendang dan bahkan saling bunuh hanya untuk membangun kepercayaan tentang kekuasaan dan kewibawaan serta menumpuk materi meski harus menghalalkan segala cara.
Dalam alam pikiran orang Jawa kuno (yang masih terbawa hingga kini) hidup ini diorientasikan dengan cita-cita untuk mukti ngawibawa, sehingga Ken Arok tega memfitnah Kebo Ijo setelah ia membunuh Tunggul Ametung guna menguasai Tumapel, Gajah Mada menumpahkan darah di saentero Nusantara untuk memenuhi sumpah Palapa-nya yang hingga sekarang dipuji-puji penulis sejarah, Karebet yang membuat Kebo Ndanu mengamuk di Pajang untuk bisa memperoleh kekuasaan. Bahkan Sultan Amangkurat dari Mataram rela menyerahkan Pelabuhan Semarang kepada VOC (asing) untuk membantu mengukuhkan kekuasaannya sebagai raja.
            Saya menilai bahwa banyak orang berilmu di negara ini yang merasa bertanggung jawab untuk mengubah alam pikiran kuno itu menjadi lebih rasional demi kemajuan bangsa ini. Undang-undang Dasar telah diamandemen termasuk untuk memerintah kepada Pemerintah agar memprioritaskan APBN pada pendidikan (sebesar minimal 20%). Tetapi alangkah terlihat sulitnya mencapai angka itu, sebab korupsi di negara ini terlalu sulit untuk diberantas. Kalaupun (andaikan) penyidiknya serius, tetapi pengadilannya masih dipenuhi oleh orang-orang yang alam pikirannya kuno, ingin mukti ngawibawa dengan memperkaya diri, sehingga: jangankan berharap para keadilan sosial, keadilan formal pun sulit diperoleh di negara ini.
            Tidak hanya sebatas itu, mental perpecahan dan insting korupsi telah lama menjadi bagian alam pikiran irasional bangsa ini. Masih banyak orang yang senang membakar gereja dan masjid untuk memperebutkan kebenaran dan begitu mudahnya orang di negara ini mengharamkan orang yang lainnya. Yang tak kalah parahnya, kemiskinan menjadi rebutan hingga menimbulkan pertikaian yang meluas gara-gara ingin memperoleh uang Rp. 300 ribu per tiga bulan dalam setahun dari Pemerintah.
            Itupun akibat pemerintahan yang irasional menaikkan secara drastis harga BBM serta tarif listrik yang menjadi kunci kenaikan harga barang lainnya. Kalau biaya produksi dan transportasi naik, akibatnya harga produk naik. Pengusaha membebankannya pada biaya produksi termasuk juga melakukan rasionalisasi dan ujung-ujungnya daya beli menurun, banyak pekerja diputuskan hubungan kerjanya, rakyat kecil pun terkapar dalam penderitaan panjang (sejak jaman kolonial). Pemerintah “menyuap” orang-orang miskin untuk memenuhi perintahnya, tetapi menimbulkan persoalan sosial yang baru.
            Di sekolah-sekolah para guru bercerita tentang kebanggaan bangsa ini yang terdiri dari beraneka ragam suku dan agama, tetapi tetap rukun bersatu. Tetapi di luar sekolah keberagaman itu ternyata tidak seindah pelangi yang menjulang di langit sebab tidak ada keharmonian dalam membangun negara. Perkumpulan-perkumpulan dalam kelembagaan negara lebih banyak menjadi tempat konspirasi untuk mengeruk keuntungan pribadi dan golongan sehingga hampir di seluruh wilayah Indonesia anggota DPRD serta pejabat eksekutif terlibat dalam korupsi.
Kekayaan alam negara ini banyak yang digali oleh orang asing atau orang domestik dengan modal asing, dengan membangun instalasi yang megah, tetapi masyarakat setempat tetap saja hidup terbelakang dan bahkan menjadi korban pencemaran lingkungan yang tidak bertanggung jawab. Sementara hukum lebih banyak berpihak kepada para pemilik kantong tebal. Keputusasaan dalam menghadapi penegakan hukum yang korup mengakibatkan tren main hakim sendiri dengan merusak, bahkan membunuh.
            Negara ini kelihatannya modern, tapi masih banyak diisi oleh alam pikiran primordial dan irasional. Setiap orang mempunyai kewajiban untuk mengubah pikirannya sendiri-sendiri. Tetapi langkah sulitnya mengubah mental bangsa ini. Rasa malu menjadi semakin langka, egoisme semakin merajalela.
Di negara ini, doktrin Pancasila hanya tinggal goresan di atas buku, agama hanya pelengkap identitas yang bahkan seringkali dijadikan justifikasi untuk membunuhi orang lain. Orang sudah tidak lagi percaya dengan sanksi hidup setelah mati, Tuhan hanya menjadi tempat bersembunyi dari kecurangan dan kebiadaban, tetapi kenyataannya yang seperti dikatakan Nietzche: Tuhan telah mati, sebab tidak lagi ditakuti.
            Meski alam sudah menjelaskan bahwa pertikaian, persekongkolan jahat, ketidakadilan sosial dan korupsi telah mengakibatkan negara ini terpuruk dan jauh dari kemakmuran, tetapi mereka tetap saja kukuh dengan pikirannya sendiri.
            Harapan kita sekarang ini adalah sekiranya kita masing-masing berhasil mendidik anak-anak kita agar bisa berpikir rasional dan adil serta mempunyai rasa kasih sayang, mau berkorban untuk kedamaian hidup bersama.
            Tapi bukankah bahwa buah kelapa akan jatuh tak jauh dari pohonnya? Semoga saja ada badai yang membawa buah kepala jatuh jauh dari pohonnya, bahkan biar saja pohon-pohon kelapa yang tidak baik itu tumbang semua. Badai itu adalah revolusi yang dikendalikan oleh sistem yang jujur dan adil. Setelah badai surut, muncul pelangi indah di atas langit negara ini yang makmur, adil dan damai. Ini mimpi yang harus menjadi kenyataan! Insyaallah !