Sudah
biasa, saat di media sosial facebook saya berkomentar mengritik rezim Jokowi, maka saya dituduh sebagai kampret. Padahal saya ini tergolong batman (pria
kelelawar), karena suka begadang malam, meski begadangnya di rumah. Jika
tulisan ini dinilai sebagai tulisan kampret, ya silahkan. Saya harus memaklumi zaman aneh ini. Jika tidak maklum ya bisa ikutan stress.
Memang.
Demokrasi di masa sekarang ini selain harus menghadapi rezim yang tidak cukup
demokratis ini, juga harus menghadapi serangan-serangan opini norak dari para
pendukung Jokowi yang fanatik. Mereka gampang menuduh seseorang sebagai kampret
(Pendukung Prabowo). Padahal kalau disuruh membuktikan di muka forum hukum
seperti di pengadilan atau di kantor polisi, bahwa saya adalah kampret, mereka
akan kejang-kejang otak karena tidak mampu, hanya mendasarkan pada prasangka.
Tapi
masih ada waktu bagi mereka untuk menjadi manusia normal, minimal seperti zaman
rezim SBY yang tidak ada kelompok manusia seperti itu. (Pendukung Jokowi yang
rasional tentu tidak termasuk dalam kategori yang perlu diberikan konsultasi psikologi.
Maaf ini kayak kalimat rayuan…. hiks hiks…. ).
Seharusnya
cara pikir yang normal adalah: kebenaran itu tidak peduli ada pada siapa,
golongan siapa. Meskipun seandainya ada orang yang karuan menjadi penjahat,
maka si penjahat ini hanya boleh dihukum atas dasar perbuatannya, bukan dihukum
terhadap hal yang tidak diperbuatnya.
Begitupun
siapapun orangnya, apakah dia jokower, prabower, yudhoyonoer, gusdurer,
suhartoer, sukarnoer, habibier, megawatier, dan lain-lain, jika mereka ini
menjadi korban ketidakadilan, ya layak untuk dibela haknya. Mereka hanya boleh
dihukum terhadap kesalahan yang diperbuatnya sesuai aturan hukum. Tapi bukan
untuk dicari-cari kesalahannya, lalu dipaksakan hukum yang sebenarnya tidak
pas. Jangan dzalim!
Kalau
saya tanyakan kepada para pendukung Jokowi: “Mengapa Jokowi tidak mengeluarkan
keputusan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk menindaklanjuti kasus-kasus
pelanggaran HAM yang berat di masa lalu, yang katanya Prabowo juga sebagai
terduga yang terlibat? Apakah itu kesengajaan baginya untuk mengabadikan lawan
politik yang secara opini cacat hukum dan moral sehingga lebih mudah baginya untuk
mengalahkannya? Ataukah ada pertimbangan lain yang masyarakat tidak tahu? Kan
tahun 2009 Prabowo juga bergandengan tangan politik dengan Megawati? “
Bahkan
Jokowi sendiri mengakui bahwa karir
politiknya juga ada peran Prabowo, meski menurut Jokowi bahwa Prabowo bukan
peran yang utama.” (Kompas.com, 27/3/2014).
Mengapa
para aktivis HAM para pendukung Jokowi malah melupakan tugas dan misinya agar
presiden yang didukungnya itu membereskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang
berat di masa lalu? Termasuk jika perlu juga mengadili Prabowo, agar jelas dan
tidak hanya menjadi bahan gosip politik? Padahal itu penting. Berani nggak?
Mengapa tidak berani? Kalau sekarang gampang membuat isu “makar”, lalu mengapa
tidak berani membuat Pengadilan HAM adhoc yang sudah jelas ada bahan dokumen penyelidikan
dari Komnas HAM? Apa jawabmu? Pasti mbulet.
Sekarang
saya akan bicara tentang makin rusaknya hukum di negara ini, yang barangkali
gara-gara sentimen atau sensitivitas politik. Sepertinya hukum sudah menjadi alat
politik, baik politik kekuasaan dan kepentingan ekonomi orang-orang besar.
Pertama, penerapan delik makar.
Masih
ingat kejadian ditangkapinya para tokoh oposan seperti Sri Bintang Pamungkas,
Rachmawati Sukarnoputri dan kawan-kawan tanggal 21 Desember 2016. Hingga
sekarang kasusnya bagaimana, tidak jelas. Lalu pasal makar tersebut
dipergunakan lagi untuk menahan Eggi Sudjana dan Kivlan Zen.
Saya
juga membaca berita di iNews.id tanggal 21 Mei 2019 bahwa seorang bernama Miko
Napitupulu melaporkan jenderal Djoko Santoso, dkk yang berada di grup politik
Prabowo, ke Kepolisian dengan tuduhan melakukan delik menurut UU No. 1 Tahun
1946, pasal 110 jo. pasal 108 ayat (1) KUHP, dan atau Pasal 163 bis jo. Pasal
146 KUHP. Laporan Polisi nomor STTL/327/V/2019 Bareskrim. Katanya, dugaan makar
itu terkait dengan seruan Amin Rais untuk melakukan people power.
Sebenarnya,
apakah delik (tindak pidana) makar itu? Delik makar diatur di dalam Buku Kedua
Bab I KUHP, yang dapat dikelompokkan dalam kategori sebagai berikut:
Pertama, makar dengan maksud membunuh atau merampas
kemerdekaan atau menghilangkan kemampuan Presiden dan Wakil Presiden dalam
memerintah. Ini ada di Pasal 104 KUHP. Kedua, makar dengan maksud supaya
seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh, atau memisahkan
sebagian wilayah Indonesia. Ini ditentukan di Pasal 106 KUHP. Ketiga, makar
dengan maksud menggulingkan pemerintah. Ini ditentukan Pasal 107 KUHP. Keempat,
makar dengan cara pemberontakan bersenjata. Ini ditentukan Pasal 108 KUHP.
Perbuatan yang termasuk
menjadi ciri-ciri makar juga disebutkan di Pasal 110 KUHP.
Tidak
cukup hanya membaca pasal-pasal bentuk perbuatan makar tersebut. Tapi juga
harus membaca Pasal 87 KUHP yang menggariskan: “Dikatakan ada makar untuk
melakukan perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dan adanya permulaan
pelaksanaan, seperti yang dimaksud dalam Pasal 53.”
Pasal
53 KUHP dikenal dengan pasal “percobaan”, yang pada intinya: “Mencoba melakukan
kejahatan pidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan adanya permulaan
pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan karena kehendak
pelakunya itu sendiri.” Misalnya, Parto sedang mengarahkan senjata mau menembak
presiden. Tapi ada Juminten yang menendang tangan Parto sehingga senapan Parto
jatuh. Misalnya lagi, sekelompok orang yang jumlahnya seribu orang sedang menuju
istana presiden dengan tujuan mau menculik presiden, tapi begitu di depan
istana mereka dibekuk para pengawal istana (meski ini contoh tentang
orang-orang yang bodoh, sebab bagaimana bisa sekelompok orang mau menculik
presiden di istana yang dijaga berlapis, kecuali mereka kelompok Avengers).
Jadi,
untuk dikatakan makar, perbuatan itu harus sudah dimulai dengan suatu tindakan.
Kalau hanya seruan people power yang tujuannya hanya untuk demonstrasi, ya
bukan makar. Jangankan hanya seruan people power yang tujuannya bukan menggulingkan
pemerintahan, jika seandainya Mbah Amin Rais menyerukan agar rakyat menggulingkan
pemerintah, tapi kalau tidak ada orang yang bergerak, maka Mbah Amin Rais hanya
termasuk kategori “penganjur” yang disebutkan di dalam Pasal 55 ayat (2) KUHP
yang menggariskan, “Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan
sajalah yang yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.” Jadi, jika seruan
atau anjuran makar itu tidak menimbulkan akibat perbuatan makar, maka si
penganjur tidak bisa dihukum. Sama halnya ketika saya misalnya meminta Parjo
untuk membunuh Sumi, tapi Parjo hanya datang untuk menakut-nakuti Sumi, maka
saya tidak bisa dipidana.
Apalagi
ternyata Kapolri sendiri (Tito Karnavian) bersama dengan Menkopolhukam
(Wiranto) telah mengumumkan bahwa ternyata tujuan aksi perusuh 22 Mei 2019 adalah
untuk membunuh Jenderal Wiranto, Jenderal Hendropriyono, Kepala BIN (Jenderal Budi
Gunawan), dan Komjen Gories Mere (staf khusus Presiden Jokowi). Artinya,
pemerintah sendirilah yang justru
membuktikan sendiri bahwa kerusuhan 22 Mei 2019 yang dikaitkan dengan kata “people
power” itu tujuannya untuk membunuh empat tokoh pemerintah itu, bukan untuk
membunuh presiden dan wakil presiden atau menggulingkan pemerintah.
Kedua, delik penghinaan kepada presiden
Mahkamah
Konstitusi (MK) No. 013-022/PUU-IV/2006 sudah
melenyapkan Pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP tentang penghinaan kepada presiden
dan atau wakil presiden. Mengapa? Zaman sekarang, presiden dan wakil presiden
harus dipersamakan dengan orang-orang lain dalam soal citra diri. Jika misalnya
presiden Jokowi dihina orang, maka kalau dia mau memidanakan si penghinanya,
dia harus mengadu ke Kepolisian, menggunakan pasal 310, 311 atau 315 KUHP. Pasal
eksklusif yakni Pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP bisa dijadikan alat tirani
kekuasaan. Makanya dihapus. Harga diri pribadi presiden Jokowi dan wakil
Presiden Jusuf Kalla sama dengan harga diri Miko, Siti dan Paijem yang rakyat
biasa. Ini bukan zaman feodal.
Ketentuan
Pasal pencemaran nama menurut UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) yang semula bukan delik aduan, diubah menjadi
delik aduan dengan UU No. 11 Tahun 2016 (Pasal 45 ayat 6). Karena ancaman
pidananya maksimum 4 (empat) tahun, maka berdasarkan pasal 21 KUHAP si
tersangka pencemaran nama atau penghinaan melalui medsos juga tidak boleh
ditahan selama masa pemeriksaan perkara dari kepolisian, kejaksaan hingga
pengadilan, hingga Hakim memutuskan yang bersangkutan salah atau tidak,
terbukti melakukan penghinaan atau tidak. Penghinaan itu itu bentuknya serangan
kepada pribadi, bukan kritik terhadap pekerjaan jabatan. Makanya pasal 310 KUHP
menentukan, “Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika
perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau terpaksa untuk membela
diri.”
Jadi,
kalau ada orang yang menghina presiden melalui saluran media elektronik, misalnya
melalui Youtube, facebook atau twitter, si penghina presiden Jokowi tidak boleh
langsung ditangkap. Harus melalui proses: (1) adanya pengaduan presiden Jokowi
ke Kepolisian, (2) lalu atas dasar
pengaduan itu penyelidik atau penyidik memeriksa persiden Jokowi untuk dimintai
keterangannya sebagai saksi korban, (3) lalu memeriksa saksi-saksi dan bukti lainnya,
dan terakhir melakukan panggilan tertulis kepada orang yang diduga menghina
presiden Jokowi itu. Jika si terlapor / orang yang diadukan itu telah dipanggil
oleh penyelidik atau penyidik Kepolisian tiga kali berturut-turut tetapi tidak
mau datang tanpa alasan yang sah, maka polisi dapat menghadirkan secara paksa
dengan menjemputnya, tetapi tidak boleh dilakukan penahanan kepada terduga
penghinaan itu.
Sumber foto: liputan6.com
Ingat
nggak saat SBY dihina seorang politisi Partai Bintang Reformasi, Zaenal Ma’arif?
Karena sudah ada putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006
yang menghapus pasal penghinaan kepada presiden secara khusus tersebut, maka
SBY tanggal 29 Juli 2007 datang ke Polda Metro Jaya membuat pengaduan dan
dilayani Polisi seperti orang biasa pada umumnya, meskipun dia Presiden. Selanjutnya
Zaenal Maarif pun diperiksa tanpa ditangkap dan ditahan.
Lalu
mengapa sekarang ini selalu terjadi penangkapan kepada para penghina Jokowi
tanpa melalui proses hukum seperti yang saya jelaskan di atas itu?
Bagaimana
jika
seandainya polisi
menerapkan Pasal 45 A ayat (2) UU ITE untuk menjerat penghina Presiden? Itu
dzalim. Menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Pasal 45 A ayat (2) UU ITE itu menentukan: “Setiap orang
yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).” Jadi, pasal ini berkaitan dengan kebencian atau
permusuhan yang tekait SARA yang harus dibedakan dengan delik penghinaan.
Kepada
orang-orang yang ditangkap dan ditahan dengan tuduhan penghinaan kepada
presiden, orang-orang itu dapat menempuh upaya hukum praperadilan, yakni
mengajukan permohonan permohonan pemeriksaan praperadilan melalui Pengadilan
Negeri di wilayah hukum kepolisian yang melakukan penangkapan itu. Orang biasa
menyebut “gugatan praperadilan.” Sebab, penangkapan dan penahanan demikian itu
tentu tidak sah. Lalu bagaimana mereka bisa mengajukan gugatan praperadilan
dalam keadaan dalam tahanan? Keluarganya bisa mengurus itu. Hakim yang jujur
pasti akan mengabulkan permohonan praperadilan dan memerintahkan tersangka
dilepas atau dibebaskan, karena proses yang salah itu.
Perbuatan
menghina memang tidak baik. Penghina jelas buruk kelakuan. Tapi dalam
perspektif hukum pidana, urusan penghinaan kepada presiden pun adalah urusan
pribadi antara korban penghinaan dengan si penghina. Sesuai dengan dasar hukum
yang sudah saya jelaskan di atas. Jika korban penghinaan (termasuk Presiden) tidak
melapor/mengadukan ke kepolisian, maka polisi dilarang untuk sewenang-wenang
melakukan penangkapan. Ini negara demokrasi,
bukan kerajaanmu!
Sebenarnya
masih banyak yang perlu diulas, termasuk bagaimana delik penyebaran ajaran
komunisme bisa menimpa seorang petani lulusan Madrasah Tsnawiyah seperti Budi
Pego di Banyuwangi dan kasus-kasus kriminalisasi yang menimpa petani, nelayan
dan para buruh yang tidak mau tunduk melayani kehendak kekuasaan ataupun para
tuan kaya, termasuk yang menimpa Pak Darno dan Dian Purnomo di Surabaya,
Mashuri, Dwi dan Sagung di Tuban, dan lain-lain.
Tapi
anehnya pengadilan juga terkadang membuat putusan-putusan yang memang aneh,
memperluas jangkauan hukum ke dalam area kepentingan kekuasaan politik dan
ekonomi. Bagaimana misalnya orang yang tidak paham apa itu komunisme kok
dihukum penjara dengan tuduhan menyebarkan ajaran komunisme, gara-gara orang
itu menolak pertambangan emas yang mencemari lingkungan hidupnya? Bagaimana pula
orang dihukum atas dasar keterangan saksi dari perusahaan yang bertentangan
dengan keterangan banyak saksi dari masyarakat sendiri?
Hukum
makin rusak, karena hukum dipakai untuk memuluskan kepentingan-kepentingan
kekuasaan politik dan ekonomi. Ternyata republik ini adalah feodalisme yang
dibungkus dengan kesan modernitas. Negara hanyalah alat orang-orang berkuasa
secara politik atau ekonomi untuk meneguhkan dan menambah kekuasaan mereka
dengan menjadikan rakyat sebagai tumbalnya.