Ada apa dengan bangsa ini? Di
antara kita memang baik-baik saja. Bisa ngobrol sambil makan atau makan sambil
ngobrol di warung. Apa kita kepikiran misalnya betapa kian hancurnya hutan di
Indonesia, utang negara kian menumpuk, banyaknya para pejabat yang ditangkap
karena kasus korupsi, penjara dipenuhi para pemakai narkotika, orang-orang yang
memperjuangkan tanah dan lingkungannya dipenjara. Bagi orang yang tidak mau
pusing mikir nasib orang lain, yang asyik mikir dirinya sendiri, maka semua itu
tak ada artinya apa-apa. Itu nasib buruk orang lain! “Bukan masalahku!”
Jika kau mau sukses pribadi,
contohlah misalnya Eka Tjipta Widjaja, imigran dari China yang kemudian mati
sebagai konglomerat Indonesia dengan Grup Sinar Mas yang usahanya menggurita
itu. Saya membaca kisahnya yang ditulis Dahlan Iskan dalam Disway-nya. Dia
sejak anak-anak memikirkan kemajuan diri, berjuang, berjuang, berjuang terus
berjuang agar bisa kaya. Gagal, bangkit, gagal, bangkit, gagal, bangkit hingga
dia percaya sudah tidak akan mungkin gagal lagi karena sudah saking besarnya.
Ternyata diantara usaha Eka
Tjipta Widjaja itu memanfaatkan kapal-kapal militer untuk mengangkut
barang-barang dagangannya, dengan model bagi hasil dengan tentara atas
penggunaan kapal-kapal tersebut. Relasi model itulah yang menyebabkan para
saudagar besar akrab dengan para jenderal,
menciptakan relasi-relasi bisnis yang menyebabkan terjadinya bisnis militer.
Coba pikirkan, usaha-usaha pribadi mampu memanfaatkan aset negara guna
memperbesar kekayaan para pribadi. Jika Anda mau jadi konglomerat, tirulah
cara-cara itu, di mana Anda butuh usaha-usaha apa saja untuk menanamkan
kepercayaan terhadap penggunaan fasilitas-fasilitas negara dengan model
hubungan bagi hasil. Di sisi lain Anda memperoleh bonus hubungan yang akrab
dengan para penggede negara. Di zaman sekarang, bahkan para jenderalnya sendiri
bisa menjadi para saudagar yang kaya-raya.
Bicara model KKN begitu, dalam
sebuah video di facebook saya lihat Prof. Mahfud MD bicara di dalam acara
Indonesian Lawyers Club di TV One, intinya, “Apa tidak malu kita kepada
Suharto, padahal dulu kita melawan Suharto yang KKN? Kok kita sekarang lebih
buruk?” Kita memang lebih bebas dalam bicara mengritik kekuasaan dan ada
kebebasan berorganisasi. Tapi mengapa kita menjadi lebih rusak?
Coba kita dekati watak bangsa ini
dengan konsep basic personalitiy (baca: kepribadian bangsa) ala R.
Linton, seorang ahli antropologi (dalam Koentjaraningrat, 1985). Dalam seluruh
level stratifikasi sosial Indonesia (kelas bawah, menengah dan atas) ada
kecenderungan perilaku korup (menyimpang) yang dominan.
Para tukang parkir menarik uang
parkir tanpa karcis, atau melebihi tarif resmi. Para pedagang kecil suka menipu
dengan takaran dan bohong. Pabrik-pabrik semaunya sendiri membuang limbah,
memalsu produk dan merek. Para ulama terlibat politik dan korupsi.
Para akademisi gemar membuat
penelitian dengan analisis subyektif sesuai pesanan. Para mahasiswa suka
mencontek saat ujian, para intelektual melakukan plagiat, para pejabat
pemerintah dan negara yang gemar korupsi, penegak hukum berdagang hukum, dan
lain-lain. Para jenderal menjadi para beking korporasi. Banyak LSM menjamur
mencari-cari masalah sebagai cara memeras. Apa lagi yang belum saya sebut?
Di mana rasa bela bangsa dengan
kemanusiaannya, dalam arti: “Memikirkan bangsa adalah lebih penting daripada
memikirkan perut sendiri dan keluarganya sendiri?” Nilai Pancasila makin
menjadi tahayul. Komunisme menjadi hantu untuk menakut-nakuti kegelisahan warga
masyarakat korban. Bahkan sampai pada opini bahwa orang banyak yang duduk-duduk
ngobrol di warung adalah tanda-tanda berkumpulnya komunis. Wis gendeng.
Seharusnya saat ini tidak ada
seorang petani kecil yang sekolahnya hanya tsanawiyah yang dipenjara dengan
tuduhan “menyebarkan ajaran komunisme.” Tapi itu terjadi di saat sekarang ini.
Apakah negara ini waras atau makin sinting? Di mana otakmu? Jadi, para sarjana
bisa dibuat menjadi tidak sadar mendadak bodoh mempercayai hantu komunisme yang
serasa mengancam hidup mereka, sehingga mereka tidak sadar kekayaan negara
mereka terus dikuras.
Seorang petani kecil lulusan
tsanawiyah seperti Budi Pego, mendenger istilah “Manifesto Komunis” saja tidak
pernah. Riyawat Karl Marx dan Engels saja, dia masih buta pengetahuan.
Jangankan nama orang-orang kuno asing itu, lha nama Hendropriyono ahli dan guru
besar intelejen Indonesia yang amat terkenal itu saja Budi Pego tidak kenal
jika tidak diberi tahu para pembelanya. Lha kok Budi Pego dipenjara dengan
tuduhan menyebarkan ajaran komunisme? Di mana nalarmu? Hukum menjadi membusuk,
menyebarkan virus kegelisahan, merusak. Kehancuran mana yang engkau dustakan?
Budi Pego hanyalah sebuah contoh
preseden kekianrusakan akhlak negara ini. Karena negara ini dikendalikan oleh
kekuatan iblis yang menyaru menjadi para pemuja moral Pancasila. Kalimantan
yang dahulu menjadi tumpuan paru-paru dunia, kian hari kian berpenyakit bengek,
kian gundul, kian bopeng-bopeng, laju kerusakannya tak terhentikan. Puluhan
anak yang mati di lubang tambang batubara hanya disikapi dengan permainan
pingpong tanggung jawab dan menyalahkan genderuwo yang dituduh sebagai pelaku “pembunuhannya.”
Di mana otakmu?
Yang menyedihkan, mereka yang
dahulu menjadi para pendekar pejuang reformasi, kini mencukupi diri menjadi
para bebek kekuasaan, bahkan banyak yang menjadi para follower fanatik,
tingkahnya seperti para penganut fanatik sekte-sekte dan aliran kepercayaan
kepada sang Drakula. Mereka menjadi “pembela kekuasaan” di mana kekuasaan tersebut memberikan akses kepada para dedengkot orde baru yang dulunya mereka
lawan. Mungkin makin tua hidup memang memakin melelahkan.
Hidup ini menjadi bagaimana
memang dilandasi tentang bagaimana cara berpikir (paradigma). Jika saat hendak
menjadi guru, dosen, dokter, polisi, jaksa, hakim, tentara, anggota parlemen
dan jabatan layanan masyarakat lainnya diawali dengan niat utama: “aku akan
bisa membeli dan mempunyai apa, seberapa bisa aku menjadi kaya”, tanpa ada niat
dan pikiran untuk “bagaimana saya bisa mengabdi kepada masyarakat agar
sepanjang hidupku bermanfaat bagi orang banyak”, maka akhirnya orang akan
merasa lelah hidup tanpa banyak kenikmatan diri. Orang akan silau dan iri
melihat kawan sebayanya, teman seperjuangannya, orang lain yang nampak hidup
lebih nyaman, kaya dan mapan.
Makin banyak orang di negara ini
yang lelah untuk berjuang, merasa lelah hidup sederhana apa adanya, merasa
ketakutan tidak bisa hidup enak dan mudah, maka memang kerusakan demi kerusakan
tak akan terbendung lagi.
Saya bukan pesimis, tapi melihat
apa yang ada di jauh ke depan dengan teropong situasi saat ini, bahwa pada saat
ini tidak ada lagi kekuatan yang akan menghentikan laju kerusakan negara ini
yang tampak makin gagah dengan pembangunan fisiknya tetapi pembangunan fisik
itu sekaligus menjadi gerak transformasi keberdayaan ekologi dan akhlak menuju pada defisit
ekologi dan moral.
Republik Indonesia ini akan
seperti kerajaan Mataram, Sriwijaya dan Majapahit, yang berhasil dalam
pembangunan fisik, disatukan dengan paksaan-paksaan dan korupsi, lalu
lama-kelamaan akan roboh menjadi puing-puing sejarah. Sebab masyarakatnya bukan
lagi masyarakat yang mempunyai cita-cita kolektif yang kuat, tapi masyarakat
yang gemar mengejar kepentingan diri masing-masing dengan kelompok yang saling
tertukar sehingga tidak bisa lagi diindentifikasi mana manusia iblis mana
manusia sejati. Jika yang haq dan bathil menyatu, maka yang haq akan rusak
membusuk.
Tentu saya berharap prediksi saya
ini tidak menjadi kenyataan.