Sumber gambar: ptfi.co.id
Sekarang saya akan membahas, adakah kejahatan
korupsi dalam divestasi saham PT. Freeport Indonesia (PTFI)? Mengapa itu harus saya bahas? Karena ada
sesuatu yang belum atau tidak beres. Apa itu?
Transaksi divestasi saham PTFI dilakukan pada
saat belum ada penyelesaian hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
bahwa PTFI telah merugikan sebesar sekitar Rp 185 T.
Divestasi saham PTFI
Divestasi saham PTFI ini merupakan konsekuensi
dari klausul Kontrak Karya antara Pemerintah Indonesia dengan PTFI tertanggal
30 Desember 1991, yang ditentukan di dalam article (pasal) 24. Di dalam ayat
(2) Pasal tersebut ditentukan bahwa dari waktu ke waktu akan dilakukan
penawaran saham kepada Warga Negara Indonesia, badan hukum yang dikendalikan
oleh Warga negara Indonesia atau Pemerintah Indonesia.
Dalam kurun waktu selambat-lambatnya 10 tahun
sejak ditandatangainya Kontrak Karya tersebut (berarti selambat-lambatnya akhir
Desember 2001) akan ditawarkan sebesar 10% saham PTFI melalui Bursa Efek
Jakarta atau kepada Warga Negara Indonesia, sejauh itu diminta oleh Pemerintah
Indonesia. Untuk selanjutnya, setelah 12 bulan berikutnya hingga selama 10
periode (10 tahun) akan dilepaskan 2,5% saham, sehingga selambatnya di akhir
2011 akan mencapai 35% saham yang dilepaskan oleh PTFI, atau setidaknya
mencapai 45% yang dilepas PTFI sepanjang
bahwa minimal 20%-nya saham yang dilepas tersebut dijual di Bursa Efek Jakarta
dan setidaknya 20% saham tidak dijual melalui Bursa Efek Jakarta, atau
selanjutnya hingga dilepaskan 51% saham atas permintaan Pemerintah, dengan
harga wajar, selambat-lambatnya pada tahun ke-20 dari penandatanganan Kontrak
Karya (berarti divestasi hingga 51% dijadualkan paling lambat tahun 2011).
Jadi, divestasi saham PTFI itu mestinya sudah
terlambat. Mengapa kok terlambat? Apakah selama ini pemerintah Indonesia
setelah tahun 2001 tidak pernah meminta dilakukan divestasi berdasarkan jadual
menurut Kontrak Karya 1991 tersebut, sehingga tidak terjadi pelaksanaan tahapan
divestasi seperti yang diperjanjikan di dalam kontrak tersebut?
Kini, pada akhir Desember 2018 baru dilakukan pembayaran
divestasi saham PTFI. PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) melunasi pembayaran divestasi saham PT Freeport Indonesia (PTFI) senilai 3,85 miliar
Dollar AS. Maka saat ini susunan pemegang saham PTFI adalah: 1. Inalum menjadi
pemilik 26,2% saham PTFI, 2. PT lndocooper Investama (PTII) 25% dan 3. Freeport
McMoran (FCX) sebesar 48,8%. (Inalum juga menjadi pemegang saham secara tidak
langsung PTFI sebesar 15% melalui PTII, sehingga Inalum memiliki 41,2% saham
PTFI. Yang 10% dibagi antara Pemkab Mimika 7% dan Pemprov Papua sebesar 3%).
Coba bayangkan! Lha Papua yang dieksploitasi, kok Pemerintah Daerah Papua hanya diberikan saham 10%. Apa itu adil?
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia hanya menjadi
pemegang saham PTFI sebesar 9,36%.
Melacak riwayat PTII dan realisasi divestasi
Saya mencoba mencari riwayat PTII yang kini
menjadi milik Inalum dan BUMD Papua itu, ketemu di Kontan.co.id, artikel
tanggal 17-7-2018 dan CNBCIndonesia.com tanggal 12-1-2018, serta beberapa
artikel pembandingnya yang bersumber dari dokumen PTFI.
Kontrak Karya antara PTFI dengan Pemerintah
Indonesia tanggal 30 Desember 1991. Divestasi
pertama, Pemerintah Indonesia mendapatkan 9,36% dan PT. Bakrie Investindo
(Bakrie) membeli 9,36% saham PTFI pada Januari 1992. Pembelian saham PTFI oleh
Bakrie diatasnamakan PTII, dibeli dengan harga sekitar 213 juta Dollar AS, yang
duitnya berasal dari pinjaman sindikasi utang bank luar negeri yang dijamin
oleh PTFI sendiri.
Tahun 1992 itu Freeport mengakuisisi 49% saham
PTII di PTFI. Tahun 1997, saham PTII di PTFI dijual ke PT. Nusamba Mineral
Industri perusahaan milik Yayasan yang dipimpin Presiden Suharto, yang juga
dimiliki oleh Bob Hasan dan Sigit Hardjojudanto. Mereka membeli saham PTII juga
dengan duit utangan sindikasi bank yang dijamin oleh PTFI. Hingga akhirnya
Nusamba gagal bayar utang sehingga tahun 2002 Freeport McMoran selaku
penjaminnya melunasi utang Nusamba dan mengambil alih saham Nusamba di PTII. Maka saat itu Freeport McMoran kembali
menguasai 90,64% saham PTFI (dari semula 81,28%) dan 9,36% saham PTFI tetap menjadi
milik Pemerintah Indonesia.
Oleh sebab itulah dalam divestasi ini dilakukan
cara sebagai berikut: 1. Pemerintah mengakuisisi saham PTII yang tak lain dan
tak bukan bahwa PTII semula adalah anak perusahaan Freeport McMoran, senilai
350 juta Dollar AS. 2. Pemerintah membayar hak partisipasi (participating
interest / PI) Rio Tinto di PTFI sebesar 3,5 miliar Dollar AS, sebab selama ini PTFI menjual PI kepada Rio Tinto sebesar 40%.
Jadi demikianlah kisahnya berliku-liku nan ruwet
seperti rambut gorila yang keriting kan?
Kekayaan PTFI dan Kerugian Ekologis
Mengenai hasil pemeriksaan BPK tersebut, saya
kutip pendapat Auditor Utama Keuangan IV BPK Laode Nusriadi (dengan sumber
berita dari cnnindonesia.com, 22-10-2018), yang mengungkapkan bahwa perhitungan
hilangnya jasa ekosistem tersebut berdasarkan analisis perubahan tutupan lahan
oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) 1998-1990 dan Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (LAPAN) pada 2015-2016. Analisis tersebut kemudian dikutip
BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Pemeriksaan Dengan Tujuan
Tertentu Penerapan Kontrak Karya Freeport Indonesia Tahun Anggaran 2013-2015.
Menurutnya, kerugian Rp 185 T itu bukan kerugian negara.
Pertanyaannya: setujukah Anda dengan pendapat
bahwa kerugian akibat kerusakan ekosistem yang menjadi tanggung jawab PTFI
tersebut tidak dikategorikan sebagai kerugian negara? Saya akan mengemukakan
pendapatku pada bagian selanjutnya.
Baiklah, sekarang saya akan
membandingkan kerugian lingkungan sebesar Rp 185 T tersebut dengan nilai aset
PTFI. Menurut databoks KataData.co.id (saya akses tanggal 28-12-2018), aset
PTFI per Desember 2017 mencapai 10,66 miliar Dollar AS atau sekitar Rp 153,53
triliun, tumbuh 1,19% dari tahun sebelumnya. Tapi ada data lain yang menyebut
bahwa di tahun 2016 aset PTFI mencapai lebih dari Rp 200 T.
Menurut Detik Finance
(30-8-2017), bila dihitung dengan metode Fair Market Value, berdasarkan nilai
cadangan dengan masa kontrak sampai 2041, nilai 100% saham PT Freeport
Indonesia adalah 15,9 miliar Dollar AS, alias kurang lebih Rp 211 T, maka nilai
51% sahamnya sekitar Rp 107 triliun.Tapi saya membantahnya, sebab
Kontrak Karya II hanya berlaku sampai dengan tahun 2021, bukan tahun 2041.
Kalau memakai metode replacement cost (nilai yang diukur saat
ini untuk mengganti aktiva dengan kapasitas produksi yang sama atau mendapatkan
aktiva baru), nilai 100% saham Freeport adalah 5,9 miliar Dollar AS atau
sekitar Rp 78 triliun. Maka 51% saham sekitar Rp 40 triliun.
Saya belum tahu, berapa nilai
aset PTFI saat ini. Namun dengan melihat data pertumbuhan sebesar 1,19% dari
tahun sebelumnya, maka kemungkinan besar di akhir tahun 2018 ini nilai aset
PTFI tidak mencapai sebesar Rp 185 T. Maka saya gunakan matematika nilai
sahamnya saja. Tapi sayangnya saya tidak jago dalam menghitung. Baiklah saya
akan gunakan logika perbandingan dengan pendekatan angka saja. Jika sebelumnya
Pemerintah Indonesia sudah memiliki 9,36% saham, maka untuk mencapai angka 51,2%
Pemerintah (melalui Inalum dan PTII) harus membeli 41,84% saham PTFI. Jika
nilai saham 41,84% saham tersebut adalah 3,85 miliar Dollar AS, maka nilai 100%
saham PTFI adalah 9,20 miliar Dollar AS. Dengan kurs per 1 Dollar saat ini
sekitar Rp 14.527,- maka 100% saham PTFI senilai sekitar 9,20 miliar Dollar AS
x Rp 14.527,- = Rp 133,6 T. Nah, rupanya pendekatan angka yang saya pakai ini
lumayan jadi jalan tengah hehe....
Artinya, jika seandainya
dilakukan penyelesaian atas kerugian ekologis yang diderita di Papua senilai Rp
185 T itu dikonversi menjadi “piutang negara” kepada PTFI, maka negara
Indonesia untuk mengambil-alih dan mendapatkan aset PTFI tidak perlu
mengeluarkan uang. Sebelum masa Kontrak Karya habis tahun 2021, Pemerintah
Indonesia melakukan klaim ganti kerugian senilai Rp 185 T yang hal itu dapat
dikonversi menjadi pelaksanaan Pasal 22 ayat 2 Kontrak Karya, yakni penghentian
Kontrak Karya sesuai dengan jatuh tempo tahun 2021 di mana nilai aset PTFI
dikompensasi dengan kewajiban PTFI untuk membayar ganti rugi kepada negara.
Tentu saja hal itu melalui
perundingan, yang jika tidak membuahkan hasil maka penyelesaianya dibawa ke Arbitrase
internasional sesuai dengan klausul penyelesaian perselisihan Kontrak Karya II
tanggal 30 Desember 1991 tersebut.
Pemerintah Indonesia mempunyai
cukup alasan untuk tidak memperpanjang kontrak sesuai dengan Pasal 32 ayat 2
Kontrak Karya bahwa Pemerintah mempunyai cukup alasan yang masuk akal untuk
tidak menyetujui permintaan PTFI untuk memperpanjang Kontrak. Selain soal
pelanggaran hukum ekologis, juga terkait kewajiban divestasi yang tidak
berjalan sesuai dengan Kontrak Karya, serta masalah pemutusan hubungan kerja sebagian
para pekerja yang hingga kini menyisakan masalah yang tidak terselesaikan. Tentu
saja bukan hanya pihak Pemerintah Indonesia yang dapat menjadi pihak, melainkan
rakyat Indonesia dapat menjadi pihak intervensi sebab kedudukan rakyat
Indonesia disebutkan di dalam Kontrak Karya tersebut, yakni dalam Pasal 23 ayat
2 Kontrak Karya tersebut.
Apakah kerugian ekologis
merupakan kerugian negara?
Tentu saja. Jadi, pendapat Auditor Utama Keuangan IV BPK Laode Nusriadi yang menyatakan
bahwa kerugian lingkungan (ekologi) itu bukan kerugian negara adalah cara pikir
yang keliru. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) menentukan bahwa perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan asas, salah satunya adalah asas
tanggung jawab negara. Jadi, kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh
perbuatan suatu subyek hukum itu berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia
yang menjadi tanggung jawab negara untuk melindungi, memenuhi, menegakkan, dan
memajukannya sesuai Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945.
Oleh sebab itu, jika PTFI melakukan perbuatan
yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup, maka negara selaku penanggung
jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dapat meminta
pertanggungjawaban PTFI untuk memulihkan atau membiayai pemulihan lingkungan
hidup itu, meskipun untuk pulih sempurna seperti sediakala itu adalah hal yang
hampir mustahil.
Kalau mau tahu lebih detil tentang bahwa urusan
lingkungan hidup merupakan urusan negara, urusan publik, maka bisa dibaca Pasal
3 UU PPLH tersebut. Bahkan Pasal 90 UU PPLH menentukan wewenang gugatan negara
(qq. Pemerintah). Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung
jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan
tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup. Nah,
banyak membaca itu bagus, bisa makin kaya ilmu, asalkan bukan membaca kitab
ramalan togel. Memang mengherankan, oknum auditor BPK ini, yang kewenangannya
menjadi auditor urusan negara, tapi setelah menemukan data adanya kerugian,
tapi kok tidak berani mengatakan itu kerugian negara. Kalau mengaudit soal
ekonomi yang bukan urusan negara, kan ya bukan tugas auditor negara, lalu
mengapa BPK mengeluarkan hasil pemeriksaan kerugian lingkungan hidup jika itu
bukan soal “kekayaan atau ekonomi negara”? Jika persoalan ekologi dalam kaitannya
dengan kinerja investor itu bukan urusan ekonomi atau kekayaan negara, ya BPK
jangan memeriksa! Biarkan Mukidi yang memeriksanya!
Cara menghitung kerugian lingkungan hidup
tersebut menggunakan acuan Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran
dan Kerusakan Lingkungan Hidup. Pasal 8 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup ini
menentukan bahwa: (1) Pembayaran Kerugian Lingkungan Hidup merupakan
penerimaan negara bukan pajak. (2) Seluruh penerimaan negara bukan pajak dari
pembayaran Kerugian Lingkungan Hidup wajib disetor ke kas Negara. Nah, jadi
jelas bahwa ganti rugi kerusakan ekologi itu juga merupakan hak negara. Ini
soal paradigma atau cara berpikir saja. Mungkin selama ini ilmu ekonomi
kapitalisme memang tidak memandang lingkungan hidup sebagai komponen ekonomi,
sehingga yang dikatakan perekonomian atau kekayaan negara itu dipisahkan dari
lingkungan hidup. Padahal lingkungan hidup itu merupakan kekayaan negara, harta negara, kekayaan publik, yang tidak ternilai harganya. Kalau orang sadar hal
itu, maka dia berubah menjadi lebih cerdas.
Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta
dalam mengadili perkara korupsi Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, berpendapat
bahwa beban kerugian ekologis dan biaya pemulihan lingkungan menjadi tanggung
jawab perusahaan, bukan Nur Alam sebagai Gubernur (yang memberikan Izin Usaha
Pertambangan / IUP). Dalam perkara tersebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
berpendapat bahwa kerugian ekologis merupakan kerugian negara. Nah, apabila
mengacu kepada pendapat Hakim tersebut, kan KPK bisa pula menjerat
perusahaannya?
Mengapa divestasi saham PTFI
minus penyelesaian kerugian ekologis?
Saya membaca pernyataan Menteri
Koordinator Kemaritiman, Jenderal Luhut Binsar Panjaitan, yang ternyata juga
tidak sekadar mengurusi kemaritiman, tapi juga mengurusi macam-macam urusan
ini. Bagaimana jika di kabinet dibentuk Kementerian Segala Urusan? Sepertinya cocok. Biar urusan-urusan negara cepat terselesaikan.
Jenderal Luhut Binsar Panjaitan
mengatakan bahwa ia berjanji akan menyelesaikan temuan BPK terkait potensi
kerugian negara sebesar Rp 185 T yang diakibatkan kegiatan PTFI itu. “Ya pasti
akan saya selesaikan. Karena nanti divestasi selesai, bisa jadi tanggungan kita
juga kan itu,” ujar Jenderal Luhut tanggal 4 April 2018 (dikutip dari
CNBCIndonesia.com, 4-4-2018).
Nah, artinya itu memang sengaja
bahwa tanggungan kewajiban lingkungan PTFI akan diurus setelah divetasi,
sehingga kewajiban tersebut akan menjadi beban negara sebesar 51% sesuai dengan
besarnya saham gabungan Inalum dan PTII. (Ingat, pemegang saham PTII adalah
Inalum dan BUMD Papua milik Pemkab Mimika dan Pemprov Papua).
Apakah ada korupsi dalam divestasi?
Kalau soal kecurigaan bahwa
dalam proses divestasi saham ada orang-orang “berjasa” yang memperoleh
gratifikasi, itu tidak usah dipikirkan. Jadi orang tidak boleh buruk sangka.
Jika ada dan tidak ketahuan, ya namanya juga tidak ketahuan. Mau apa? Di dunia
ini tidak semua kejahatan dibuka oleh Tuhan. Jadi, tidak usah mikir itu!
Sekarang apakah dalam proses
divestasi saham PTFI itu ada unsur korupsi yang terkait perekonomian negara,
yakni ada perbuatan melawan hukum, memperkaya diri-sendiri atau orang lain dan
merugikan negara?
Perbuatan melawan hukum meskipun
telah diinterpretasi sebagai perbuatan hukum dalam arti formil oleh Mahkamah
Konstitusi (MK), tapi Mahkamah Agung (MA) dengan pemikirannya sendiri tetap
berpegang teguh pada makna perbuatan hukum formil dan materiil. Dengan interpretasi
MA seperti itu maka perbuatan melawan hukum dalam proses divestasi saham PTFI
tidak harus selalu dikaitkan apakah melanggar peraturan perundang-undangan atau
tidak. Misalnya begini: Lha kalau pada tahun 2021 seharusnya Kontrak Karya PTFI
dengan Pemerintah Indonesia berakhir, mengapa kok Pemerintah membeli saham
PTFI? Padahal ada banyak alasan rasional untuk tidak memperpanjang Kontrak
Karya itu.
Lha mengapa kok Pemerintah
Indonesia tidak meminta tanggung jawab PTFI untuk menyelesaikan kerugian
lingkungan hidup Rp 185 T, tapi malah membeli sahamnya 51% sehingga kewajiban
pemulihan lingkungan itu harus membebani negara selaku pemegang saham 51% saham
PTFI? Nah, artinya, perbuatan melawan hukum itu dapat dinilai dari apakah
proses-proses yang demikian itu wajar atau sesuai dengan kepatutan atau tidak.
Jelasnya unsur memperkaya PTFI dan Freeport McMoran dapat dilihat dari
pengurangan beban kewajiban untuk membiayai pemulihan lingkungan atau tidak
membayar penuh kerugian lingkungan hidup karena 51% sahamnya dijual kepada BUMN
sehingga sekitar separoh beban PTFI beralih ke BUMN (Inalum dan PTII) selaku
pemegang saham yang baru. Dengan demikian maka secara
otomatis negara dirugikan.
Untuk menghitung kerugian negara
ini menurut MK tidak harus dengan hitungan versi BPK atau BPKP, tetapi para ahlinya
dapat memberikan penilaian. Dalam hal itu sudah ada hasil Pemeriksaan BPK yang
tinggal dikuatkan dan ditambah dengan keterangan para ahli yang telah melakukan
pemeriksaan kepada PTFI.
Nah, demikian pendapat saya.
Pendapat ini tentu tidak karena saya mendapatkan pendapatan loh ya. Saya bukan
advokat berdasi yang menerima bayaran supermahal seperti Hotman Paris atau
Luhut M Pangaribuan dan yang selevel mereka. Pendapat advokat jalanan seperti
saya hanya bermaksud menyumbangkan pemikiran alias urun rembug kepada yang mau
disumbang.