Sumber foto: Indonesiachannel.com
“Lihat tuh! Belum sampai lima tahun jadi
presiden, Jokowi sudah sukses mendivestasi saham Freeport sebesar 51 %. Hebat
kan? Presiden sebelumnya tidak bisa sehebat Pak Jokowi. Ke mana saja SBY selama
10 tahun menjadi presiden kok tidak mampu melakukan seperti apa yang dilakukan
oleh Bapak Jokowi? Makanya jangan sibuk ngarang lagu saja!” Hehe…..
Hari ini ramai puja puji kepada Presiden
Jokowi. Katanya pemerintah berhasil mendivestasi saham Freeport sebesat 51 % senilai
3,85 M dollar AS yang akan diserahkan
kepada BUMN, Inalum. Untuk membeli 51 % saham Freeport itu maka pemerintah
harus memberikan duit kepada Freeport sekitar Rp 55 T. Menurut berita yang
tersebar, pemerintah (cq. Inalum) akan utang kepada bank-bank termasuk bank
asing.
Sebenarnya Kontrak Karya Ke-dua antara
pemerintah Indonesia dengan Freeport akan berakhir tahun 2021. Kontrak Karya Pertama
berlaku tahun 1967 – 1991.
Terjadilah perundingan antara Freeport dengan
pemerintahan Jokowi – Kalla. Tentu saja Freeport tidak akan membiarkan harta
kekayaan yang berada dalam genggamannya lepas dengan mudah. Hasil nego membuahkan hasil, pemerintah Jokowi
– Kalla menyepakati diberikannya Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), sebagai
pengganti dari Kontrak Karya (sebagai konsekuensi berlakunya UU No. 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara), 2 x 10 tahun, atau berakhir
hingga tahun 2041. Jadi, Kontrak Karya dengan Freeport yang sedianya berakhir
tahun 2021, oleh pemerintahan Jokowi – JK telah diperpanjang dengan menggunakan
IUPK sampai dengan tahun 2041.
Mengapa Tidak Diakhiri?
Para pendukung Jokowi mengucapkan selamat
kepada Presiden Jokowi yang katanya mampu “mengembalikan kekayaan emas Papua ke pangkuan
Ibu Pertiwi.” Namun ada sebuah pertanyaan yang terselip di benak saya: “Mengapa
rezim Jokowi – Kalla tidak membiarkan Kontrak Karya Freeport itu berakhir saja
tahun 2021? Mengapa diperpanjang dengan memberikan IUPK hingga tahun 2041?
Apakah jika tidak diberikan IUP hingga tahun
2041 maka pemerintah atau BUMN kita tidak punya uang untuk mengelolanya
sendiri? Bukankah dengan divestasi saham Freeport toh pemerintah / BUMN harus
mengeluarkan uang, membeli 51 % saham Freeport senilai sekitar Rp 55 T. Untuk
mendapatkan uang tersebut juga dengan cara utang meskipun mungkin tidak
seluruhnya?
Apakah uang Rp 55 T tersebut tidak cukup
untuk membeli peralatan dan biaya operasional tambang emas dan tembaga
tersebut? Apakah tidak bisa dengan cara mempekerjakan para kontraktor tambang
jika memang tidak mampu membeli peralatan sendiri? Itu merupakan
pertanyaan-pertanyaan saya sebagai awam teknik pertambangan dan ekonominya.
Tetapi saya jelas ingat bagaimana para penambang tradisional yang mampu untuk
mendapatkan emas dengan peralatan sederhana dan seadanya. Bahkan bos-bos mereka
bisa kaya karena tambang tradisional itu. Saya tidak terlalu percaya jika
negara sekelas Indonesia ini tidak mampu. Ingat bahwa Freeport itu memulai
tambang di Papua itu dengan teknologi kuno zaman dulu dan modal bantuan
kekuasaan Suharto. Apakah zaman sekarang Indonesia tidak mampu dengan teknologi
kuno jika tidak mampu dengan teknologi modern?
Freeport menguntungkan?
Apakah ada yang ingat soal ini? Badan
Pemeriksaan Keuangan pernah menyampaikan laporan hasil pemeriksaan terhadap
pelaksanaan Kontrak Karya tahun 2013 – 2015 yang menyebabkan timbulnya potensi
kerugian negara sebesar Rp 185 T. Pelanggaran yang dilakukan Freeport menurut
BPK, pertama adalah kerugian akibat pemakaian kawasan hutan lindung tanpa izin
pinjam pakai lahan di tahun 2008 – 2015 seluas 4.535, 93 hektar. Kedua,
kelebihan pencairan dana reklamasi kepada Freeport sebesar 1,43 dollar AS
berdasarkan kurs tengah BI tanggal 25 Mei 2016. Ketiga, Freeport melakukan
usaha tambang bawah tanah tanpa AMDAL dan tanpa Izin Lingkungan karena AMDAL
yang dimiliki Freeport sejak tahun 1997 tidak termasuk untuk kegiatan tambang
bawah tanah. Keempat, terjadinya kerusakan lingkungan akibat pembuangan limbah
operasional di sungai, muara dan laut. Kelima, Freeport belum menyetor
kewajiban dana pascatambang kepada pemerintah.
Mungkin ada yang bertanya, mengapa pemerintah
harus mencairkan dana reklamasi kepada Freeprot? Pada tahun 1996 diterbitkan
Keputusan Dirjen Pertambangan Umum (zaman Menteri Kuntoro Mangkusubroto) No.
336.K/271DDJP/1996 sebagai pelaksanaan Keputusan Menteri Pertambangan dan
Energi No. 1211.K/008/M.PE/1995 tanggal 17 Juli 1995 yang mewajibkan
perusahaan-perusahaan pertambangan untuk menyampaikan perhitungan biaya
reklamasi dan memberikan jaminan biaya reklamasi dalam bentuk deposito
berjangka atau accounting reserve di mana usulan itu harus disetujui
oleh Dirjen Pertambangan dan Energi. Kewajiban bagi korporasi tambang untuk melakukan
pemulihan lingkungan tersebut juga ditentukan dalam Pasal 96 huruf c UU No. 4 Tahun 2009 tersebut. Jadi, Freeport tentu mempunyai deposit uang jaminan
pemulihan lingkungan yang disetorkan dengan bentuk deposito yang dapat
dicairkan untuk kegiatan pemulihan lingkungan.
Nah, dalam soal itu pada umumnya masyarakat
tidak mengetahui tentang rencana biaya reklamasi
dan berapa besarnya serta bagaimana dengan penggunaannya. Masyarakat selaku
pihak yang terdampak sebenarnya berhak untuk mengetahui hal-hal seperti itu.
Selain masalah lingkungan hidup (ekologi), riwayat
operasional Freeport juga berlumuran darah. Rezim Sukarno yang dinilai sebagai
penghalang kebebasan korporasi asing dalam mengeruk kekayaan di negara ini
dijatuhkan di tahun 1967. Selanjutnya pemerintah Orde Baru menandatangani
Kontrak Kerja (KK) dengan Freeport. Kemudian Freeport melakukan eksplorasi
tambang di Erstberg yang dilanjutkan dengan tambang Grasberg tahun
1988. Operasi tambang Freeport diperkirakan memakan korban penduduk tewas
sekitar sebanyak 500 ribu orang dengan menggunakan kekerasan militer (Abigail
Abrash dalam Human Rights Abuses by
Freeport in Indonesia, 2002). Kasus tersebut seharusnya menjadi kasus
pelanggaran HAM yang berat yang harus dibawa ke Pengadilan HAM.
Jadi, apa hebatnya negara ini dalam
menghadapi Freeport? Menurut saya, kedamaian bangsa Papua lebih berharga
dibandingkan hasil penjualan emas yang merusak ekologi dan sosial masayarakat
Papua. Jika ingin Papua merasa nyaman sebagai bagian NKRI maka seharusnya
pemerintahan Indonesia tidak melanjutkan penganiayaan itu. Sudahi derita
masyarakat Papua yang dikalahkan oleh pertimbangan ekonomi yang sebenarnya
menginjak-injak harga diri bangsa ini. Tanpa perusahaan tambang emas itu, Papua
dan negara ini bisa mendapatkan kemudahan hidup lainnya dengan perekonomian
yang tidak perlu melakukan kerusakan separah itu, mengorbankan masyarakat
sekitarnya, meletakkan harga diri bangsa di bawah telapak kaki korporasi. Dengan ekonomi pertanian, perikanan dan kelautan serta pariwisata, jika dikelola dengan baik dan jujur, maka itu sudah cukup bagi bangsa ini. Masalahnya adalah otak kita telah dicetak menjadi hamba korporasi atas nama isu kesejahteraan yang sebenarnya secara riil hanya memperkaya sedikit orang.
Andaikan tanpa perundingan apapun yang
dilakukan oleh rezim Jokowi – Kalla dengan Freeport, maka derita bangsa Papua
akan berakhir tahun 2021 dan harga diri bangsa ini bisa lebih tegak.