Dia meninggal
pada hari Minggu Pon dalam ukuran kalender orang Jawa. Dia ibuku bernama Sarmi, meninggal pada hari
Sabtu saat adzan maghrib tanggal 22 April 2017 atau tanggal 25 Rojab 1438
Hijriyah atau tanggal 26 Rejeb 1950 Jawa. Menurut perhitungan kalender orang
Jawa, jika matahari telah senja maka hari itu sudah masuk perhitungan hari
berikutnya, sehingga Sabtu sore dihitung masuk hari Minggu. Orang Jawa tidak
mau tunduk kepada perhitungan sistem kalender manapun, tetapi sistem kalender luar
ditundukkan kepada sistem perhitungan Jawa. Kalau dalam perhitungan kalender
Masehi, hari dimulai dari setelah jam 24.00 (00.00) tengah malam. Orang Jawa
dalam menggunakan sistem kalender Jawa yang dicampur nama-nama hari Masehi atau
Hijriyah, tetap berpedoman kepada sistem perhitungan Jawa.
Ibuku meninggal
di usia yang menurutku 92 tahun, berdasarkan catatan umurnya di Buku Nikah saat
dia menikah dengan bapakku. Tapi menurut kakakku tertua (Gus Sampir), ibuku
mencapai usia 97 tahun. Bisa jadi Gus Sampir yang lebih benar, sebab catatan
umur dalam buku nikah itu mungkin berdasarkan perkiraan. Semua berdasarkan
perkiraan, karena hampir semua orang miskin dan buta huruf tidak mencatat
tanggal lahir anak-anak mereka.
Saya sengaja mencatat
waktu kematian ibuku dalam tulisan ini. Tak seperti waktu kelahirannya yang tak
tercatat, sama halnya tanggal kelahiranku yang tak tercatat. Ketiadaan
pencatatan hari kelahiran adalah salah satu ciri orang miskin yang tidak
berpendidikan formal.
Ibuku pernah
bercerita kepadaku, yang dalam ceritanya itu dia seolah-olah membanggakan
kakeknya yang bernama Ronomito, seorang Kepala Desa di jaman penjajahan
Belanda. Katanya, Mbah Ronomito itu membangkang kepada pemerintah kolonial Belanda,
tidak mau menarik pajak kepada warganya, sehingga rumahnya dibakar oleh tentara
Belanda. Perjuangan dengan cara membangkang membayar pajak itu mengingatkan
pada cara perjuangan yang dilakukan oleh Samin Surosentiko dan para pengikutnya
di Jawa.
Salah satu anak
Mbah Ronomito adalah seorang perempuan bernama Kuning. Mbah Kuning menikah
dengan Mbah Roso. Ibuku merupakan salah satu anak dari pasangan bernama Mbah
Kuning dan Mbah Roso itu.
Ibuku terlahir
sebagai anak keluarga miskin, meskipun kakeknya seorang Kepala Desa. Dia pernah
bercerita kepadaku, dahulu dia pernah mendaftar sekolah, tetapi dia hanya masuk
sekolah beberapa hari saja. Dia malu diolok-olok oleh teman-temannya karena
bajunya yang paling jelek. Karena memang dia anak orang miskin. Akhirnya dia
tidak mau bersekolah lagi karena malu.
Tapi saya tidak
tahu dan tidak bertanya lebih detil, sekolah yang dimaksudkan saat itu berada di
mana. Saya sendiri di tahun 1977-an saja sekolah SD di sekolahan yang jauh dari
rumah, di dusun lain. Di dusun kami (Dusun Banggle, Lengkong, Nganjuk)) di
tahun itu tidak ada sekolahan.
Di umur sekitar
16 tahun ibuku menikah. Dari pernikahan itu ibuku mempunyai 4 orang anak: 2
anak laki-laki dan 2 anak perempuan. Suaminya meninggal dunia, lalu ibuku
menikah lagi dan mempunyai seorang anak perempuan. Tetapi suaminya yang kedua itu
pergi meninggalkan ibuku dalam peristiwa 1965, sehingga ibuku mengurus
perceraian, sebab sudah lama ditinggalkan oleh suaminya itu.
Sekitar tahun 1969
- 1970 ibuku bertemu dengan bapakku, dan mereka menikah. Bapakku saat itu
adalah duda mempunyai seorang anak, dan ibuku adalah janda dengan 5 orang anak.
Dari pernikahan dengan bapakku itulah ibuku melahirkan aku sebagai anaknya yang
ke-6 atau yang terakhir.
Sejak muda ibuku
sudah biasa bekerja keras, bangun sebelum subuh pergi ke pasar menjual
sayur-sayuran hasil taninya. Di pasar itu ibuku mengulak barang-barang
kebutuhan rumah tangga, lalu ibuku berkeliling menjual barang dagangannya yang
digendong di punggungnya, berjalan kaki berkilo-kilo meter, terkadang ke
dusun-dusun lain di tengah hutan.
Saya juga masih
ingat saat saya masih kecil (belum usia sekolah), ibu dan bapakku sering mengajakku
ke tegalan (ladang) di tengah hutan jati, ibuku membantu bapakku mencangkul di
ladang di tengah hutan itu. Para perempuan desa mengerjakan pekerjaan yang
berat-berat, seperti mencangkul tanah pertanian dan mencari kayu bakar di
hutan.
Saat saya masih
berumur sekitar 5 tahun, ibuku bercerai dengan bapakku. Itu bukan perceraian
orang yang berantem, tapi perceraian akibat kebodohan orang yang kekurangan
ilmu. Jadi, setelah janin ibuku (calon adikku) keguguran, ibuku sering sakit.
Karena pada jaman itu kami jauh dari ahli kesehatan, dan kami merupakan kaum
abangan, maka ibu dan bapakku berkonsultasi kepada seorang paranormal. Atas
saran paranormal itu maka ibu dan bapakku bercerai. Katanya, kalau mereka tidak
bercerai maka ibuku bisa meninggal dunia karena sebenarnya antara ibuku dengan
bapakku itu tidak berjodoh.
Setelah saya
dewasa saya baru tahu ternyata penyakit ibuku itu adalah infeksi kandungan,
kata dokter yang memeriksanya. Pada jaman janin ibuku keguguran itu memang
tidak ada yang namanya kuret. Kasus seperti itu ditangani sendiri, meskipun
berdarah-darah. Tak ada paramedis. Rakyat desa hidup tanpa negara. Ibuku
berkata, dia tidak mati saat mengalami pendarahan hebat itu karena mungkin
Tuhan memberinya nyawa rangkap, guna menggambarkan bahwa mestinya secara akal
sehat dia sudah mati kehabisan darah saat itu.
Setelah ibuku
bercerai dengan bapakku, ibuku tinggal di rumahnya sendiri sebagai rumah bagian
hasil gono-gininya, sendiri. Waktu itu aku tinggal bersama nenekku (Mbah
Sukirah alias Mbah Ndung). Tak seperti orang kota yang rumit, saya melihat
cara-cara orang dusun kami pada umumnya dalam membagi harta gono-gini dilakukan
tanpa perselisihan. Ibu dan bapakku mempunyai 3 rumah sederhana berbahan kayu
jati. Saat mereka bercerai, satu rumah diberikan kepada ibuku, satu rumah untuk
bapakku dan satu rumah dijual supaya uangnya bisa dibagikan ke anak-anak ibuku
dari suaminya terdahulu dan aku termasuk mendapatkan bagian Rp 100 ribu saat
itu, bisa kubelikan seekor anak sapi.
Ketika itu,
sebagai seorang janda ibuku bekerja mencari nafkah sendiri dengan cara
berladang dan berdagang keliling kebutuhan dapur, seperti biasanya. Lama
kelamaan saya menjadi ikut tinggal di rumah ibuku atas desakan dan rayuan ibuku
yang tinggal sendiri di rumahnya. Anak-anaknya yang lain saat itu sudah berumah
tangga sendiri-sendiri.
Pada waktu itu
saya tahu bagaimana ibuku sebagai seorang janda sering digoda oleh para pria.
Sampai suatu saat pernah ada seorang lelaki datang ke rumah ibuku, saya
menyaksikan sendiri ibuku hendak diperkosa oleh lelaki yang sudah mempunyai
isteri itu. Tetapi usaha pemerkosaan itu gagal karena ibuku secara fisik
sangatlah kuat. Lelaki yang berusaha memperkosa ibuku itu kalah dalam
perkelaian fisik melawan ibuku. Lalu lelaki itu keluar rumah ibuku dengan
senyum-senyum sebagai pecundang. Orang Jawa mengistilahkan ingah-ingih, yakni senyuman salah tingkah orang kalah atau yang tak
punya kehormatan. Kasus di hari buruk itu masih membekas dalam ingatanku hingga
sekarang, dan saya betul-betul ingat wajah lelaki itu. Tetapi saya merahasiakan
itu dari keluarga lelaki brengsek itu hingga sekarang. Ibuku dan aku tak mau
melibatkan keluarganya yang tak bersalah apa-apa.
Setelah saya
berumur 6 tahun, saya mendaftar sekolah SD. Saat itu saya biasanya bangun pagi
dalam keadaan ibuku sudah tak ada di rumah karena sudah bangun lebih dulu dan pergi
ke pasar menjual dagangannya, sayur-sayuran dan kentang hasil taninya. Saya
biasa bangun sendiri, mandi, lalu melihat di meja sudah ada hidangan sarapan
berupa nasi dan sambal terasi atau terkadang singkong liwet. Setelah itu saya
berangkat ke sekolah berjalan kaki bersama teman-temanku. Pulang sekolah siang
hari biasanya ibuku sudah ada di rumah. Lalu sekitar jam 02 siang ibuku pergi
ke ladangnya hingga sore. Saya sering diajak ke ladangnya yang berada di tengah
hutan jati. Ladang itu bukan miliknya sendiri, tapi tanah hutan yang dikelola Perhutani.
Dalam penanaman hutan kembali, Perhutani biasa melibatkan warga sekitar hutan
untuk membuka ladang dan menanami ladang itu dengan bibit kayu jati sambil
menanami sekitar tanaman bibit jati itu dengan polowijo. Setelah bibit jati
tumbuh agak tinggi maka warga pengelola ladang dilarang menanam agar tanaman
jati yang tumbuh lebih tinggi tidak terganggu.
Ketika aku
tinggal bersama ibuku yang sudah menjadi janda itu, biasanya aku tidur bersama
ibuku. Dia selalu mendongengiku dengan dongeng-dongeng Panji dan banyak dongeng
lainnya. Suatu saat di malam menjelang tidur itu ibuku berkata kepadaku, “Kamu
kalau sudah besar nanti jadi pangon (buruh gembala), sehingga kamu mendapatkan
upah sapi. Terus nanti sapi upahmu itu kamu berikan ke siapa, untuk aku atau bapakmu?”
Tentu saja aku menjawab, “Aku berikan ke Biyung.” Sebagai orang miskin desa,
aku memanggil ibuku dengan panggilan Yung atau Biyung, seperti keluarga miskin
umumnya. Kalau, panggilan untuk ibu dari keluarga pegawai atau yang kaya
biasanya Bu atau Ibu.
Itulah
cita-cita ibuku untukku. Cita-cita orang miskin: Aku kelak menjadi buruh
penggembala sapi alias pangon, agar mendapatkan upah berupa sapi. Ketika
seseorang sudah mempunyai sapi, dia akan berternak sapi dan mengembangkannya,
lalu sebagian dari sapi yang telah beranak-pinak itu dijual untuk membeli sawah
dan rumah. Ibuku pernah memberikan wawasan seperti itu kepadaku, meraih masa
depan dengan mengawali hidup menjadi pangon.
Lalu ibuku saat
itu diajak menikah oleh seorang duda yang mempunyai 7 orang anak. Pria yang
mengajak ibuku menikah itu bernama Warijo alias Ronokromo, orang yang sangat
bersabar yang turut mendidikku sejak aku berumur sekitar 6 tahun. Dia orang
yang dihormati di dusun kami karena ilmu spiritualnya dan kesabarannya. Dia
terlatih kesabarannya karena dia mempunyai ilmu kanuragan yang hebat. Dia tak
pernah memukul orang, sebab orang yang dipukulnya bisa mati karena dia
mempunyai ajian atau ilmu kanuragan yang melekat. Itulah mengapa dia sangat
sabar.
Akhirnya saya
dan ibuku tinggal bersama dengan bapak tiriku yang bernama Warijo alias
Ronokromo itu. Bapak tiriku itu pernah bercerita guyonan denganku. Katanya dia
ogah menggunakan nama Ronokromo itu karena bisa diartikan rono-rono kromo atau
ke mana-mana kawin. Lalu dia mengganti nama Ronokromo itu dengan nama lain,
tapi saya lupa apa nama penggantinya.
Ibuku dan bapak
tiriku itu dua sosok yang bertolak belakang secara karakter. Ibuku orang yang
sangat tegas, galak dan banyak bicara. Tapi Pak Warijo alias Ronokromo adalah
orang yang kalem, pendiam dan sangat sabar. Tapi mereka sama-sama sebagai orang
abangan yang kaya dengan ilmu-ilmu mantera Jawa.
Salah satu
kehebatan ibuku memang di soal mantera Jawa itu. Ibuku mendapatkan ilmu mantera
yang banyak dengan cara “mencuri”, bukan dari berguru kepada para guru
spiritual Jawa. Setiap ada orang tua yang mengucap mantera dengan cara agak
keras, ibuku mendengarkan dengan seksama dan langsung bisa menghafalkannya.
Daya ingat ibuku luar biasa, di atas rata-rata. Mungkin daya ingat ibuku
seperti orang-orang Arab di masa lalu di mana daya hafal terhadap segala
sesuatu dinilai sebagai kehormatan. Di Arab jaman dahulu, orang-orang yang
belajar membaca dan menulis dianggap tidak mempunyai kehormatan sebagai
penghafal yang kuat. Di masa tuanya, ibuku yang abangan itu belajar shalat dan
menghafal beberapa ayat Al-Quran. Salah satu cucunya (keponakanku) bernama
Yuliati berkata kepadaku, “Dia orang yang paling hebat diantara para temannya,
begitu cepatnya dia bisa menghafal bacaan dan doa shalat serta ayat-ayat
Al-Quran.”
Ibuku mempunyai
mantera awet hidup, matera penyembuh sakit perut, mantera penenang bayi yang
resah atau yang step, mantera penangkal petir, mantera ketika masuk ke rumah
jenazah, dan banyak lagi yang lainnya. Salah satu mantera yang telah terbukti
untuk dirinya sendiri adalah mantera awet urip (umur panjang).
Umur ibuku
hingga hampir 100 tahun. Itupun karena ibuku merasa menyesal dengan mengamalkan
mantera itu sehingga dia yang menginginkan segera mati, ternyata tidak segera
mati. Tapi umur memang urusan Tuhan. Tiga bulan sebelum kematiannya ibuku sudah
tak mau makan dengan harapan agar segera mati. Tapi aksi mogok makannya itu
baru dijawab oleh Tuhan pada malam Minggu Pon lalu itu. Adzan Maghrib mengiringi
kepergiannya, kematian yang telah lama dinantikannya. Sakaratul mautnya sangat
tenang, kata Gus Pir yang menungguinya.
Setelah ibuku
menikah dan hidup bersama dengan Pak Warijo alias Ronokromo maka ibuku merawat
dan mendidik anak-anak tirinya (anak Pak Warijo) yang masih remaja dan
anak-anak, yakni Supadi, Winarsih dan Sarto yang telah ditinggal mati ibunya. Anak-anak
Pak Warijo yang sudah dewasa, yakni Yu Sri, Yu Tun dan Gus Tik sudah berumah
tangga dan tinggal di dusun lain. Sedangkan anak Pak Warijo yang masih bayi sudah
dirawat dan diambil anak oleh Mbok Si sebelum Pak Warijo menikahi ibuku.
Ibuku
memperlakukan aku sama dengan dia memperlakukan anak-anak tirinya seperti
Supadi, Winarsih dan Sarto. Bahkan ibuku menjadi sangat tegas kepadaku. Ibuku
pernah berkata, “Kamu sekarang tinggal bersama bapak tirimu. Kamu sebagai
anakku tidak boleh membuat malu ibu! Kamu harus bekerja membantu keluarga ini!
Sepulang sekolah tidak boleh tidur, tapi harus bekerja, entah mencari kayu di
hutan atau mencari rumput pakan sapi!” Ibuku mendidikku sangat keras yang dalam
banyak hal saya sering tidak nyaman dengan kerasnya cara mendidikku.
Tapi sayapun
tidak selalu menjadi penurut. Ketika di hari Minggu seharusnya saya menggembala
kambing dan sapi milik kami. Dia juga meminta aku bekerja di ladang kami. Tapi
terkadang sebelum ibuku bangun, di hari Minggu itu saya pergi membawa pancing
masuk ke dalam hutan mencari sungai untuk memancing ikan. Saya ingin juga
beristirahat dan sedikit bersenang-senang sebagai anak-anak. Ketika saya sore
hari pulang membawa ikan hasil mincing itu, ibuku memarahiku dengan keras. Saya
dibilang anak pemalas. “Apa yang kamu dapatkan dari hidup menjadi orang mancing
yang pemalas itu? Kamu itu anak orang miskin! Kamu tidak sama dengan anak-anak
orang lainnya yang bisa hidup leha-leha! Kamu jangan bikin malu ibumu! Kamu itu
ikut bapak tiri, bukan bapakmu sendiri!” Bapak tiriku sendiri malah tak pernah
menyuruhku ini itu. Sangat sabar.
Setelah memarahiku,
ibuku menyuruhku mandi. Ibuku lalu memasak ikan hasil mancingku itu. Setelah
aku selesai mandi, dia menyuruhku makan dengan lauk ikan hasil mancingku yang
telah dimasaknya itu. Dia adalah ibuku. Dia ibuku… Dia sedang mendidikku untuk
menjadi orang yang bertanggung jawab dan tahu diri agar mampu menyadari siapa
diri saya.
Aku sering
berkelahi dengan teman-temanku SD. Ketika saya pulang sekolah sampai di rumah
ibuku marah-marah dan mencubit pahaku berkali-kali sampai kadang aku menangis
karena tak tahan sakitnya. Suatu saat ada seorang nenek yang komplain kepada
ibuku karena aku berkelahi dengan cucunya dan membuat mulut cucunya berdarah. Ibuku
bilang kepada nenek itu, “Jangan kuatir Yu, aku akan menghajarnya! Bocah nakal
ini memang kurang ajar jika tidak dihajar!” Lalu ibuku benar-benar menghajarku.
Dia memberikan keadilan kepada orang yang menjadi korbanku. Dia adalah ibuku….
Dia ibuku yang sedang mendidikku tentang bagaimana mengorbankan diri dan
perasaannya sendiri untuk memberikan perasaan keadilan kepada orang lain.
Aku pun lulus
SD. Kebetulan menjadi lulusan teladan, hal yang sama sekali tak pernah saya
bayangkan, sebab prestasi sekolahku biasa-biasa saja. Di antara teman-temanku,
masih ada yang lebih pintar dariku. Itu namanya nasib baik sedang berpihak
kepadaku, meski cuma sekadar stempel “lulusan teladan.” Ibuku dan bapak tiriku
yang buta huruf itu tidak berani datang ke sekolah untuk menghadiri undangan
acara perpisahan. Tak seperti para orang tua teman-temanku SD yang percaya
diri, hadir di acara perpisahan itu. Saat pembawa acara memanggil orang tuaku
ke depan untuk mendampingiku sebagai lulusan teladan, tentu saja orang tuaku
tidak tahu, sebab mungkin mereka sedang bekerja di sawah atau hutan. Aku maju
ke depan sendiri, dan aku hampir menangis karena tidak percaya dalam hidupku
yang miskin, rendah dan keras itu bisa disebut sebagai “lulusan teladan.”
Setelah aku dewasa aku berpikir, itu karena ibuku yang telah mendidikku, meskipun cita-cita ibuku sangat sederhana, agar aku menjadi seorang pangon sapi, karena mungkin ibuku tak sanggup dan malu untuk menatap bintang di atas langit.
Setelah aku dewasa aku berpikir, itu karena ibuku yang telah mendidikku, meskipun cita-cita ibuku sangat sederhana, agar aku menjadi seorang pangon sapi, karena mungkin ibuku tak sanggup dan malu untuk menatap bintang di atas langit.
Ibuku tak setuju saat aku mau melanjutkan sekolah ke SMP. “Kita orang miskin. Ibu tak punya uang untuk membiayai sekolahmu. Kamu ikut bapak tiri. Aku tak mau kamu jadi beban bapak tirimu,” kata ibuku. Tentu saja jawaban ibuku itu membuatku bersedih. Pada saat itu aku punya keinginan agar bisa melanjutkan sekolah. Saat itu pikiranku sederhana saja: sekolah bisa menjadi hiburanku, membuat aku bisa jeda dari hidup yang keras dan selalu harus bekerja keras di hutan dan sawah.
Aku pun bersitegang
dengan ibuku. Aku mulai berani memberontak. Aku mengatakan bahwa aku ingin
sekolah SMP. Para tetanggaku mendengarkan pembicaraanku yang keras dengan
ibuku. Ada Yu Supi dan Yu Suminem. Mereka datang dan berkata kepada ibuku, “Mbah
Mi, lha mbok ya biar saja Bagyo melanjutkan ke SMP. Dia itu sekolahnya pinter
Mbah Mi!” Ibuku diam. Aku pun berkata, “Aku akan mencari biaya sekolah sendiri
dengan berjualan kayu bakar.” Akhirnya ibuku setuju aku melanjutkan ke SMP.
Akupun harus
bekerja lebih keras lagi. Setiap pulang sekolah, setelah makan dan shalat
dzuhur aku pergi ke hutan mencari ranting-ranting kayu-kayu jati yang kering
untuk saya jual ke pasar. Jam 03 pagi saya bangun memikul kayu bakar ke pasar
yang jaraknya mungkin sekitar 5 KM dari rumahku. Tak bisa setiap hari aku bisa
menjual kayu bakar, sebab saya pun harus menyediakan hari-hari untuk bekerja
membantu keluarga, entah itu mencari kayu bakar di hutan atau membantu bekerja di
ladang dan sawah ataupun mencari pakan sapi milik kami.
Saya pun bisa
menyelesaikan SMP meski dengan terseok-seok. Setelah lulus SMP, pikiranku
hampa, karena rasanya tak mungkin saya melanjutkan ke SMA. Padahal saya ingin
terus sekolah. Saat itu saya barulah membenarkan cita-cita sederhana ibuku:
saya menjadi buruh gembala (pangon) sapi, mendapatkan upah sapi sehingga saya
mempunyai kehidupan yang lebih baik. Tapi setelah lulus SMP, semua sudah
terlanjur dan berlalu. Saya pasti malu menjadi lulusan SMP yang bekerja menjadi
pangon. Biasanya pangon itu adalah anak-anak atau remaja yang tidak sekolah
atau paling banter lulus SD.
Setelah itu
ibuku menjadi lebih memahami kehendakku untuk bisa terus bersekolah. Tetapi
sayangnya kami miskin sehingga ibuku pun tak bisa menyekolahkan aku. Akupun
mencari jalan yang berputar-putar berliku-liku untuk menempuh keinginan agar
bisa bersekolah, sesuatu hal yang di kemudian hari baru saya sadari bahwa
sekolah lanjutan bukanlah sesuatu yang menjadi satu-satunya alternatif usaha
untuk membuat hidup lebih baik.
Dia adalah
ibuku. Ketika pernah aku berselisih paham dengannya sehingga aku minggat pergi
ke Surabaya menjadi gelandangan saat aku remaja, ibuku tetap mencariku dan
dengan cara apapun dia ternyata bisa menemukanku dan mengajakku untuk pulang ke
rumahnya. Sejak perisitiwa tahun 1988 saat saya minggat dan menggelandang di
Surabaya itu maka ibuku menjadi lebih lunak kepadaku. Setelah itu aku berhasil
menyelesaikan SMA selama 5 tahun sebab harus berkali-kali gagal sekolah karena
ketidakmampuan ekonomi. Bisa sekolah SMA karena mengabdi kepada keluarga orang
lain yang jauh yang bersedia menyekolahkanku. Akupun mulai menjadi jarang
bertemu ibuku, hingga aku lulus SMA.
Ibuku tak berhasil
membuatku untuk memenuhi cita-citanya agar aku menjadi seorang pangon yang
kelak bisa mempunyai sapi yang beranak-pinak. Dalam perjalanan selanjutnya setelah
aku lulus SMA. aku malah memilih menjadi seorang buruh pabrik untuk mencari
uang demi bisa kuliah dan menjadi sarjana. Tetapi menjadi seorang sarjana
ternyata tidak menjadi apa-apa dan siapa-siapa. Seorang sarjana tak lebih
berharga dan bahagia dibandingkan dengan seorang mantan pangon sapi yang telah
mempunyai sapi-sapi, sawah dan keluarganya di desa yang tentram.
Ada banyak
cerita yang sangat panjang tentang ibuku. Hal yang membuatku senang adalah
ketika menjelang akhir hidupnya saya berkesempatan untuk merawatnya meskipun
jauh dari kata cukup. Dalam keadaan sakit saya menungguinya, dia berkata
kepadaku, “Aku wis seneng, kowe wis
nyembulih aku. Aku wis seneng.” (Aku senang, kamu sudah nyembulih aku. Aku
senang).
Nyembulih adalah istilah
Jawa yang tak mudah diterjemahkan. Nyembulih mempunyai makna semacam “balas
budi”, tapi mengandung arti bercampur dengan hal yang materiil. Maksud ibuku,
mungkin, aku dianggap sudah memberikan sesuatu yang membuatnya senang. Dia
pernah bertanya kepadaku dalam pelukannya menjelang tidur malam saat aku masih
kecil, “Kalau kamu nanti mendapatkan upah sapi, kamu akan memberikan sapi itu
kepadaku atau kepada bapakmu?” Jika aku memberikan upah sapi itu kepada ibuku,
berarti aku telah nyembulih ibuku.
Tapi bentuk
sembulihanku yang dikatakan ibuku menjelang akhir hayatnya itu tentu bukanlah seekor
atau beberapa sapi. Mungkin hanya berupa rasa menang atas penghinaan yang
pernah ia terima dari seseorang terpelajar pegawai pemerintah yang merasa
kesulitan membiayai kuliah anaknya sehingga orang itu datang kepada ibuku dan berkata,
“Kok Bagyo katanya kuliah ya Yu? Apa bisa dia meneruskan kuliahnya? Saya saja
yang punya gaji ternyata tak cukup untuk biaya kuliah anakku di kota. Harus
jual ini itu. Kok eman kalau dia buang-buang duit tapi akhirnya kuliahnya akan
terhenti di tengah jalan. Uang dari mana dia bisa membiayai kuliahnya?” Ibuku
pernah bercerita itu kepadaku sambil menangis dan berkata, “Apakah kamu akan
membuat ibumu ini malu karena akhirnya kamu tak bisa meneruskan kuliah karena
kamu ini tak mungkin bisa membiayainya? Kamu tahu kita ini orang miskin, jadi
ya nggak usah macam-macam, nggak usah punya keinginan yang terlalu tinggi!” Ibuku
bahkan malu dan segan untuk memandangi bintang di atas langit. Aku
menghiburnya, “Aku punya gaji sebagai buruh untuk bisa cukup membiayai
kuliahku. Aku juga mendapatkan beasiswa.” Ibuku pun bisa tenang, meski mungkin
tetap cemas di sepanjang aku belum menyelesaikan kuliahku. Setelah aku berumah
tangga, aku masih berusaha bisa nyembulih
ibuku dengan cara yang mungkin kurang dari cukup.
Tapi dia adalah
ibuku. Dia selalu mengkhawatirkan aku, dengan sering bertanya apakah
penghasilanku cukup untuk menghidupi anak-anak dan istriku. Dia selalu
mencemaskanku sebagai satu-satunya anak yang belum membelikan rumah untuk
anak-anak dan isteriku. Tak seperti anak-anaknya yang lain yang sudah hidup normal
mempunyai rumah, sawah dan perangkat hidup normal sebagai para keluarga.
Cita-cita ibuku
yang sederhana itu telah terlaksana bagi semua anak-anaknya, yakni hidup cukup
dengan mempunyai sarana hidup yang cukup sandang, pangan dan papan. Ibuku juga
sebenarnya telah merancangku agar menjadi pangon sapi agar di masa depanku aku
mempunyai cukup sandang, pangan dan papan. Tetapi aku sebagai satu-satunya
anaknya yang membangkang atau memberontak dari cita-cita ibuku, karena saat itu
tak aku pahami cara pikirnya yang berbeda denganku. Aku merasa seperti seorang
yang kualat dan tersungkur karena pembangkanganku terhadap cita-cita ibuku itu.
Tapi dia adalah
ibuku. Dia ibuku…… Ibu yang berusaha membuat aku tenang sehingga menjelang
akhir hayatnya dia berkata, “Aku wis
seneng, kowe wis nyembulih aku.” Mungkin satu-satunya yang bisa kupersembahkan
kepada ibuku sebelum dia meninggalkan dunia ini adalah hayalan kosong tentang
kebanggaannya bahwa dia seorang perempuan yang buta huruf dan miskin, yang
bahkan malu untuk melihat bintang-bintang, bisa mempunyai anak seorang sarjana,
padahal kesarjanaan itu tidak ada nilainya apa-apa. Setidaknya aku bisa
menggagalkan penghinaan kepada ibuku itu, bahwa aku bisa menyelesaikan kuliahku
meskipun kami orang miskin. Sebelum ibuku meninggal dunia aku bercerita
kepadanya bahwa aku tak hanya seorang sarjana, tapi aku juga telah berhasil
menjadi seorang magister hukum. Tapi dia tidak paham itu, dan dia kembali pada
kecemasannya tentang nasibku, istriku dan anak-anakku. Mungkin sama seperti aku
yang berusaha menghiburnya dengan kesombonganku dengan predikat-predikatku yang
semu itu, maka menjelang akhir hayatnya dia menghiburku dengan kalimat, “Aku wis seneng, kowe wis nyembulih aku.”
Ada sebuah
mimpi yang ibuku belum menemukan kenyataannya terhadap diriku. Ibuku pernah
berkata, bahwa waktu aku kecil aku bercerita kepadanya tentang mimpiku, katanya
aku pernah bermimpi menaikkan dan mengibarkan bendera merah-putih di saat mendung
gelap dan hujan deras. “Mestinya kamu akan menjadi seperti apa yang pernah kamu
mimpikan saat itu,” katanya, saat aku masih remaja dahulu.
Sekarang
tugasku adalah terus berdoa untuknya. Kehidupan dunia ini adalah sebuah fase
yang telah melewati fase-fase sebelumnya dan akan terus menempuh fase-fase
berikutnya hingga manusia kembali kepada dari mana mereka berasal. Kelak
mungkin saya akan meyadari, bahwa ada sekian banyak pikiran dan pamahamanku
yang tidak benar.
Ibuku yang tak
pernah membaca huruf-huruf dan kalimat, tapi bagiku dia lebih hebat dari para profesor
yang menuliskan karya-karyanya yang besar, yang mungkin mereka akan kesulitan dan
gagal untuk menjadi seseorang yang menjalani takdir seperti ibuku itu. Itu
sekaligus menjadi pelajaran, bahwa manusia tak mampu memilih nasibnya sendiri
untuk dilahirkan oleh perempuan atau ibu yang mana. Seorang anak manapun di dunia ini tak akan pernah mampu nyembulih jasa-jasa dan pengorbanan ibunya, meski ibunya harus terpaksa memberikan anaknya kepada ibu yang lain. Sebab darah yang tertumpah dan rasa sakit ibu saat melahirkan tak akan cukup ditebus dengan bumi dan isinya.
Surabaya, 24-4-2017