Ibu dan bapak sekalian…. Beberapa waktu lalu
saya mendampingi anak saya yang masih SMP kelas satu belajar matematika. Kami
berdiskusi tentang himpunan dan Diagram Venn. Ada himpunan semesta, himpunan bagian dan
himpunan irisan atau irisan dari himpunan-himpunan bagian.
Pelajaran matematika tentang himpunan itu dapat
dijadikan alat untuk menggambarkan kehidupan manusia di muka bumi ini. Seluruh
manusia di muka bumi itu merupakan himpunan semesta. Di dalam himpunan semesta
itu ternyata terdapat himpunan-himpunan bagian alias kelompok-kelompok atau
golongan yang terdiri dari kelompok negara, suku, kebangsaan, agama, profesi,
warna kulit, politik, ekonomi, dan lain-lain. Dari berbagai kelompok tersebut
ada yang mempunyai kesamaan kepentingan sehingga mereka bisa membuahkan
himpunan-himpunan atau kelompok irisan yang dapat digambarkan dalam Diagram
Venn.
Ibu dan bapak, dan
lain-lainnya… Saya kadang bertanya seperti ini: Apakah setiap kelompok tersebut
tidak boleh memperjuangkan kepentingan masing-masing kelompok itu? Kan sudah
biasa misalnya sebuah kelompok politik yang bernama partai politik menyeru
kepada masyarakat agar warga masyarakat memilih calon anggota parlemen atau
calon presiden atau calon kepala daerah yang berasal dari golongan partai
politik tersebut. Orang-orang modern menilai itu sebagai sebuah kewajaran dan
benar alias tidak salah.
Tetapi yang sungguh mengherankan saya adalah:
mengapa seruan seorang umat beragama menyeru kepada sesama umat beragama yang
sama, agar umat agama yang sama tersebut memilih pemimpin dari golongan agama
sendiri, kok dituduh dan dicurigai sebagai seruan kebodohan, intoleransi dan
stempel-stempel negatif lainnya? Ini yang bodoh si penyeru atau si penuduh
bodoh?
Baiklah…. Mungkin pertanyaanku itu akan
dijawab begini: “Wor…..camkan! Boleh dong politisi PDIP menyeru agar masyarakat
memilih pemimpin dari orang PDIP! Kan PDIP itu partai politik di mana semua
golongan agama, etnis, dan profesi berkumpul di situ yang menunjukkan di situ sebagai
tempat kemajemukan. Kamu jangan bodoh Wor! Ngerti nggak kamu?”
Okelah…. Coba saya menjawabnya seperti ini: “Bro….yang
sabar! Bagaimana jika dibalik begini: agama juga bisa sebagai tempat berkumpul
semua golongan politik, ekonomi, etnis, profesi dan lain-lainnya. Apa bedanya?
Apakah berkelompok kepentingan dalam sebuah kelompok agama itu adalah najis dan
haram, sedangkan berkelompok kepentingan dalam sebuah kelompok partai politik
itu suci dan halal?”
Lalu si Mas atau Mbak Bro menanggapi: “Kamu
itu tolol! Agama itu bukanlah kelompok kepentingan politik! Agama itu adalah
urusan manusia dengan tuhannya! Kalau membawa-bawa agama untuk urusan politik
itu gak bener!”
Ya ya ya… Di sinilah saya
mungkin tidak akan melanjutkan perdebatan. Mengapa? Sebab cara pikir umat
sekuler murni dengan cara pikir orang Islam murni tentu berbeda. Kalau mau dipaksakan
ketemu ya sulit. Bagi orang Islam murni, ajaran agamanya juga mengurusi
kepentingan politik di mana itu menjadi bagian dari keyakinan dan ibadah. Bagi
orang Islam murni, memilih pemimpin termasuk bagian dari ibadah. Itu yang tidak
dipahami oleh orang sekuler murni.
Lalu bagaimana jika kepentingan politik
menyalahgunakan agama? Iya, itu bisa terjadi dan itu salah. Sama halnya
kepentingan politik juga bisa menjadikan partai politik sebagai kendaraan
kebohongan dan penipuan. Apakah dengan begitu maka kebohongan dan penipuan
berkendaraan partai politik dibenarkan dibandingkan dengan penyalahgunaan
agama? Apakah partai politik mau sengaja dijadikan entitas dan kendaraan yang
telanjang dari baju moral dan akhlak? Lantas apa gunanya hukum yang di dalamnya
mengandung muatan moral? Ingat bahwa Pancasila sebagai sumber segala sumber
hukum adalah philosophische grondslag atau
dasar filosofis (falsafah) negara Indonesia yang di dalamnya termuat substansi
moral dan akhlak bernegara. Padahal Pancasila menjadi landasan idiil bagi
seluruh partai politik.
Ibu dan bapak serta nenek kakek sekalian…. Ada
seorang moden yang membuat tuduhan bahwa umat Islam telah dibodohi pakai Surat
Al Maidah ayat 51, hanya gara-gara ada seruan orang Islam kepada umat Islam
agar memilih pemimpin mereka dari golongan orang Islam sendiri. Lalu yang lain
menimpali, katanya orang Islam yang menyeru demikian itu dan yang memidanakan
si penuduh itu adalah kaum intoleran. Padahal itu cuma soal politik. Di mana
bukti intolerannya? Bagaimana jika dibalik: apakah bukan perbuatan intoleran kalau
mengecam seorang muslim yang memilih pemimpin dari golongan orang Islam
sendiri?
Oleh sebab itulah maka meskipun hasil jajak
pendapat Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) menunjukkan bahwa 95,7
% pemilih yang beragama Kristen – Katholik di Jakarta memilih Ahok – Djarot dan
71,4 % pemilih yang beretnis Cina memilih Ahok – Djarot, maka tak ada olok-olok
bahwa data seperti itu adalah bentuk intoleransi dan kebodohan umat. Mengapa?
Sebab kepentingan dan kecenderungan perasaan kelompok (primordialisme) dalam
himpunan semesta manusia itu adalah realitas. Artinya, itu nggak apa-apa.
Kebodohan umat modern dalam berdemokrasi dan
berpolitik adalah berupa ketidaksadaran dirinya berlaku primordialis, (entah
karena faktor perasaan suka atau tak suka, karena keyakinan dan cara menerapkan
doktrin yang dimilikinya, atau karena faktor etnis atau agama) tetapi si primordialis
ini mengolok-olok primordialis lainnya yang tak sejalan dengan pilihan
politiknya. Atas ketidaksadaran itu maka kebodohan itu telah memecah-belah
perasaan umat. Padahal apapun faktor sebab perbedaan pilihan politik itu, entah
karena faktor agama, etnik atau pengidolaan, seharusnya cukuplah disikapi
dengan saling senyum. Syukur-syukur kalau dalam hatinya berkata, “Ah, kamu….dasar
bodoh! Sama bodohnya dengan aku…. Kamu tidak waras, sama dengan aku!” Jadinya enak, tak ada saling
caci-maki.
Kebodohan berikutnya adalah bahwa umat modern
itu mau-maunya terus-menerus ditipu dan dibohongi oleh demokrasi manipulatif
alias demokrasi palsu. Konon, ciri khas demokrasi itu adalah jika pemerintahan
itu dilakukan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tapi apa yang terjadi
dalam kenyataannya? Calon-calon pemimpin dipilih oleh partai politik. Apalagi
nggak ada sertifikasi akhlak dan keahlian. Sekian banyak regulasi disusun oleh
para politisi yang membayar para ahli. Jadinya rakyat cuma wah woh disuruh
menyetujui ini dan itu. Siapa yang ditentukan partai politik maka rakyat
disuruh memilihnya dalam pemilu. Aturan mana yang dibuat para elite maka rakyat
diminta mematuhinya.
Celakanya partai politik butuh biaya yang
besar untuk melaksanakan hajat kepentingan politiknya yang tak lain adalah
kepentingan golongan, bukan kepentingan umum negara. Lalu dari mana uang itu
hadirnya? Orang-orang terdidik dan pintar tentu tahu itulah, sehingga siapapun
yang terpilih menjadi pemimpin negara dan daerah tentu akan memberikan
konsesi-konsesi kepada para donor. Rakyat dibohongi dengan laporan keuangan
biaya politik yang seolah-olah segini segitu, tapi mana mungkin dilapori berapa
uang politik yang masuk dalam kantong-kantong partai politik dan para
pengurusnya.
Jadi, kalau bisa, saran saya: nggak usah
otot-ototan musuhan. Kalau ada muslim yang meyakini agamanya dalam ibadah
politik, ya biarkan, bertoleransilah… Sama halnya kalau ada orang Kristen atau
Katholik mau memilih calon pemimpin dari golongannya sendiri, ya
bertoleransilah…. Nggak usah ribut. Jangan
bikin provokasi macam-macam menuduh umat Islam kembali ke abad pertengahan atau
itu tanda-tanda bangkitnya kekuatan Islam radikal…. Ojo kakehan cangkem…. Hanya
akan menyulut perpecahan. Sesama kaum modern yang primordial ya yang
santai-santai saja. Tetap ngumpul bareng ngopi sambil saling tuduh “Kamu
goblok! Kamu goblok!” tapi sambil tertawa-tawa riang dalam perkawanan.