Kita sudah mahfum, bahwa mayoritas rakyat Indonesia, sekitar lebih dari 95 persen dari 240 juta rakyat, hanya menguasai sekitar 25 - 30 persen tanah di negara ini. Sekitar 70 persen luas tanah di republik ini dikuasai minoritas (segelintir orang kaya) yang jumlahnya kurang dari 5 persen dari jumlah rakyat Indonesia. Kepemilikan hak atas tanah itupun banyak yang bersumber dari kapital asing yang membentuk badan hukum korporasi nasional. Hukum selalu bisa diakali dan dijadikan alat. Karena hukum yang dibentuk di Indonesia ini adalah termasuk hukum sebagai produk yang dikatakan oleh Roberto M. Unger sebagai “hukum kemenangan kaum borjuis.” Kita sudah tunduk pada sejarah itu.
Dari keadaan ini kita sudah mendapatkan gambaran bahwa status “negara republik” ini hanya label. Negara bukan lagi dimiliki dan dikawal oleh rakyat, tapi dimiliki oleh segelintir orang. Inilah Oligarkhi Indonesia, bukan lagi Republik Indonesia.
Tentu saja perampasan dan dominasi agraria oleh segelintir orang kaya itu menimbulkan konflik, sebab tak satupun orang yang mau haknya dirampas, termasuk perampasan dengan menggunakan hukum. Sejak tahun 2004 hingga 2015, ada sekitar 1.172 konflik agraria di seluas sekitar 6,9 juta hektar tanah. Demikian data yang diperoleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Hingga sekarang konflik agraria itu masih terus terjadi. Itupun data yang ditemukan. Tentu saja masih ada data-data konflik dan penindasan yang mungkin belum ditemukan.
Tahun 2014 lalu para petani di tiga desa, yakni Desa Wanasari, Wanakerta dan Cinta Langgeng, Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang, Jawa Barat kehilangan 350 hektar tanah mereka. Lawanya adalah Agung Podomoro melalui PT. Sumber Air Mas Pratama. Sebelumnya, tahun 2013 tanah itu dijual kepada AUA (Acquire Universal Advantage) Development pada November 2013 senilai Rp 1 triliun. Korporasi ini milik orang Taiwan.
Di Kecamatan Baras, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat terjadi konflik antara warga lima desa melawan PT. Unggul Widya Teknologi. Menurut pendamping warga, lahan yang diklaim perusahaan ini adalah 17.000 ha. Tapi warga berhasil merebut kembali seluas 1.050 Ha. Padahal menurut BPN, lahan HGU korporasi ini hanyalah 8.000 ha.
Baru-baru ini juga terjadi konflik tanah antara warga petani Desa Mekar Jaya Kecamatan Wampu Kabpaten. Langkat. Konflik ini melibatkan lahan seluas 554 ha yang diduga diserobot oleh PTPN II Kebun Gohor Lama, lalu dikelola oleh PT Langkat Nusantara Kepong, investasi dari Malaysia.
Konflik terbaru juga terjadi antara warga petani Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Majalengka, Jawa Barat. Sebanyak 1.478 KK warga dengan luas lahan yang dipertahankan lebih dari 500 hektar hendak dipakai sebagai Bandara Kertajati, melalui proses kekerasan. Penolakan warga bukan karena mereka menolak pembangunan, tapi karena prosesnya yang tidak adil dan sepihak. Banyak lagi konflik agraria di mana-mana.
Ciri khas dari konflik-konflik agraria itu adalah “rakyat pemilik tanah dihadapkan dengan pasukan polisi dan tentara.” Seringkali perusahaan juga menggunakan pasukan preman untuk mengintimidasi dan menyerang warga. Situasi ini persis dengan yang terjadi pada jaman Kerajaan Hindia Belanda yang bertuan kepada Kerajaan Belanda di Eropa. Warga masyarakat dipecah-belah, para preman dihimpun, antek-antek terpelajar dikumpulkan, dan segala cara ditempuh untuk menaklukkan warga yang melawan.
Pengadilan pada umumnya hanya menjadi alat legalisasi perampasan tanah-tanah rakyat. Kita akan sangat jarang mendengarkan putusan pengadilan seperti kasus warga Rembang melawan korporasi semen. Jarang sekali. Bahkan hampir tak terdengar. Dalam kekuasaan kehakiman yang telah menjadi sangat liberal akan sulit bagi rakyat kecil yang mayoritas ini untuk memperoleh keadilan. Para hakim pada umumnya sudah menjadi kaum yang memikirkan nasibnya sendiri-sendiri. Sama dengan para penegak hukum lainnya seperti polisi, jaksa dan advokat.
Lebih baik memang jika sertifikat atau piagam penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dibuang saja. Jika tak punya piagam penataran P4 itu, ya lebih maklum lagi kalau tidak menjiwai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Itu lebih baik, daripada mempunyai piagam penataran P4 tapi jiwanya kosong dari nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial, menyerahkan negara ini kepada kaum minoritas ekonomi sehingga negara ini kehilangan jiwa republiknya. Dari rakyat, oleh politishit, untuk borjuis.
Rakyat melalui pemilu menyerahkan kedaulatannya kepada para pemimpin terpilih. Lalu para pemimpin itu menyerahkan kedaulatan itu kepada segelintir investor yang menjadi dewa pembangunan dengan mitos “kesejahteraan rakyat.” Lalu rakyat yang telah memilih para pemimpin itu dipentungi kepalanya, diusir, tanahnya dirampas, ditangkap dan dipenjarakan serta banyak yang dibunuh.
Indonesia hendak menyejahterakan rakyat dengan cara bagaimana jika pemimpin dan para pengurus negara sudah berjiwa asing? Asing dari jiwanya sendiri. Dari awal pemimpin sudah berkata, “Siapa yang mengganggu investasi akan dibuldozer!” Andaikan jiwa pemimpin itu asli, bukan berjiwa asing, dia akan berkata sebaliknya, “Siapa yang akan mengganggu rakyat, akan kami buldozer!”
Saya tidak percaya jika para pemimpin itu tak pernah paham bahwa investasi partikelir sejak Orde Baru hingga sekarang hanya bersifat menghisap, bukan memberikan kemakmuran. Mana bukti kemakmuran itu? Apakah rakyat Madura yang pulaunya dikelilingi pertambangan migas itu makmur? Apakah rakyat Jawa Timur yang menjadi tempat konsesi sekitar 34 blok migas itu menjadi makmur? Apakah rakyat Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi yang hutan dan tanahnya dirampas untuk megaperkebunan kelapa sawit dan hancur untuk tambang itu juga menjadi makmur? Apakah rakyat Papua yang ibu Pertiwi-nya dirusak, gunung-gunungnya yang sakral digempur, sungai-sungainya yang dihormati dialiri limbah tailing, lalu mereka menjadi maju dan makmur? Doktrin tahayul yang bernama “investasi membawa kemakmuran” itu tidak pernah terbukti di negara ini.
Yang ada di negara ini adalah kejahatan para oligakhi. Mereka bersekongkol merusak hutan, merampas tanah rakyat, menguasa lautan, menyiksa dan memenjarakan rakyat yang lemah tak berdosa, menjadikan rakyat kecil hanya sebagai para gedibal. Para penguasa kapital membakar hutan, merampas tanah rakyat, membunuh orang dengan lubang-lubang tambang, menimbun laut dengan menggempur bukit-bukit dan merusak pulau alami, tapi mana yang ditangkap dan dipenjara? Mereka adalah minoritas ekonomi yang mempunyai kekebalan hukum. Sekali waktu mereka apes, tertangkap KPK saat menyuap, barulah dipenjara dengan ala kadarnya. Praktik suap korporasi kepada para birokrat dan penegak hukum sudah menjadi rahasia umum di negara ini. Kejahatan itu juga tak tersentuh. Mana kelanjutan kasus rekening gendut? Tak ada. Apakah kita mau mengatakan bahwa itulah ciri-ciri negara Pancasila? Penistaan terhadap ideologi Pancasila itu dibiarkan begitu saja.
Saya hanya berharap bahwa badan-badan dari para pengurus negara yang kehilangan jiwanya sendiri (Pancasila), yang kerasukan roh-roh neoliberalisme dan kapitalisme rakus-kasar itu, akan kembali menjadi normal dan sembuh dari delusi, bahwa kedunguan dan kerusakan tidak seharusnya dipikirkan sebagai kebaikan dan keindahan. Di mana letak masuk akalnya, jika aparatur negara dan hankam berdiri memperkuat barisan para perampas tanah rakyat dan perusak tanah Pertiwi, untuk melawan rakyat sendiri?
Jika keadaan itu terus memburuk, sejarah sudah membuktikan bahwa ketidakdilan sosial secara terus-menerus akan melahirkan ketidakpercayaan massal. Harmoni kehidupan bernegara tak bisa dibangun dengan kebohongan-kebohongan dan di banyak tempat juga dengan cara-cara yang kasar kepada rakyat. Ketidakadilan sosial juga selalu mudah untuk dijadikan api pemantik konflik ras.
Lebih baik tanah negara ini dimiliki oleh rakyatnya sendiri dengan proporsi yang adil, lingkungan hidupnya awet lestari, daripada mengejar pertumbuhan ekonomi tetapi angka pertumbuhannya hanya untuk menambah kekayaan segelintir orang. Ekonomi tak harus tumbuh pesat jika pertumbuhannya tidak adil dan menindas rakyat.
Kebahagiaan rakyat bukan karena tumbuhnya gedung-gedung yang bukan miliknya sendiri dan luasnya kebun di mana rakyat hanya menjadi gedibal, bukan sebagai pemiliknya. Padahal jika negara ini mau, kebun-kebun luas itu bisa menjadi milik negara atau milik rakyat sendiri yang hasilnya dinikmati rakyat secara lebih optimal.
Gedung-gedung tinggi besar dan kebun yang luas itu ternyata hanya alat penghibur rakyat kecil yang sekali waktu terkagum-kagum, melupakan derita hidupnya atas perampasan demi perampasan yang mereka derita selama ini. Kapitalisme dan neoliberalisme telah memberikan ilusi, menyerang alam bawah sadar manusia, menjadi morfin yang mengaburkan kesadaran para penguasa politik atas kesakitan dan derita sosial rakyat. Mungkinkah karena mereka juga menikmati hasil jerih payahnya memperkaya segelintir penguasa kekayaan itu?