Cara
menghormati bulan Ramadhan ini hanya berlaku bagi umat Islam sendiri, dan
bukanlah diperuntukkan untuk mengharuskan umat nonmuslim untuk begini dan
begitu. Jika ada nonmuslim yang tidak menghormati bulan Ramadhan, ya memang
bukan kewajibannya. Jika ada nonmuslim menghormati bulan Ramadhan, berarti
orang itu telah bersikap dan bertindak luar biasa, melampaui kewajibannya.
Perintah puasa hanyalah kepada mereka yang percaya (beriman), tidak untuk
mereka yang tidak terikat dalam akidah Islam. Lagipula, dalil agama Islam yang mana
yang mengharuskan nonmuslim harus hormat kepada bulan Ramadhan?
Sebelum
saya bicara (eh, nulis ya) tentang cara menghormati bulan Ramadhan, saya mau
sedikit bercerita tentang model masyarakat di Desa Banggle, Kecamatan Lengkong,
Kabupaten Nganjuk. Maaf, desa itu belum masuk peta Google Map mungkin, jadi ya
sulit mencarinya, wong letaknya di tengah hutan. Mengapa saya pilih model di
Desa Banggle? Iya itu desa tempat saya dilahirken. Ya itu terserah saya, milih
model di mana, wong saya penulisnya.
Pada
waktu saya masih kecil, sekitar tahun 1978-an, sebagai anak orang abangan yang
miskin dan buta huruf, saya ikut-ikutan mengaji dan shalat di masjid kecil
(kami menyebutnya “langgar”) di Desa Banggle. Namanya juga ikut-ikutan, bukan diprogram
orang tua, ya begitulah. Orang tuaku sendiri nggak ngerti huruf Arab, dan
bahkan baca surat Al Fatihah saja nggak bisa. Mereka ini Islam KTP. Malah
ketika saya mahasiswa, saya nasihati bapakku agar mau mengerjakan shalat, lah tapi
saya malah dinasihati begini: “Kamu tahu apa nggak kalau orang shalat itu
menyembah kepada Gusti Allah? Kamu tahu artinya Gusti? Gusti itu artinya adalah
bagusnya hati (bagusing ati). Jika
hatimu sudah bagus, kamu baik kepada semua orang, gak neko-neko, maka kamu sudah menyembah Gusti Allah. Tapi jika
kamu masih gak bener hidupmu, suka bohong, suka nipu, menyakiti hati orang
lain, lha ya percuma saja kamu shalat jengkang-jengking.”
Alamak jang…. Maksud hati mau ngajak doi shalat, malah kena ceramah filsafat
ndesonya. Ya sudahlah.
Kembali
ke Banggle di masa kecilku. Ketika saya sudah ngaji, mulai kelas 2 SD, saat itu
sudah tertanam akidah di dalam hatiku. Meski mungkin ya baru sak nil. Pada
waktu itu jumlah santri di Desa Banggle masih sedikit, minoritas. Mayoritasnya
ya orang abangan Islam KTP. Istri dari Kang Abdul Haji - bernama Mbak Indayati -
mengistilahkannya ISLAM SUWINTI, yakni menjadi kelihatan Islam hanya pada saat
SUnat (khitan), kaWIN dan maTI. Khitan berarti menjalankan sunah agama, kawin
membaca syahadat, dan mati dishalati serta ditahlili. Itulah orang Islam
Suwinti. Makanya kalau punya anak jangan dinamai Siti Suwinti!
Dalam
kesehariannya tidak semua orang abangan alias muslim KTP itu bersikap baik.
Kadang ada kata-kata yang memerahkan telinga. Suatu saat saya dihina oleh orang
yang umurnya lebih tua dari saya. Nggak usah kusebut namanya ya. Dia bilang
begini: “Buat apa kamu shalat jengkang-jengking?” Saya jawab, “Shalat itu
menyembah Gusti Alloh.” Sungguh menyakitkan hati dia bilang, “Mana Gusti
Allohmu? Suruh Dia ke sini! Mau saya bakar!”
Siapa
yang nggak perih hatinya, Tuhannya dihina seperti itu? Tapi haruskah saya
tempeleng mukanya? Ya nggaklah, saya bisa kalah, wong dia lebih gedhe. Tapi
ketika hal begitu kami adukan ke guru ngaji kami, Kang Abdul Haji, dia hanya
bilang, “Astaghfirulloh! Masak sampai begitu? Ya sudahlah, semoga hatinya kelak
dibuka oleh Alloh!”
Saat
saya puasa di bulan Ramadhan sudah biasa di pagi dan siang hari melihat orang
makan di mana-mana, di warung, di sawah, dan bahkan orang di rumahku pun,
termasuk bapak ibuku yang abangan ya makan juga di rumah. Masak saya mau bilang
mereka, “Hormati bulan Ramadhan! Kalau mau makan, ngumpet saja!”
Hal
demikian itu kami anggap biasa saja. Bahkan seingat saya, di desa-desa lainnya
di Kecamatan Lengkong, ya hampir-hampir sama, mayoritas orang berkegiatan dan
makan di siang hari di bulan Ramadhan dengan bebas dilihat oleh mereka yang
berpuasa. Ya nggak ada yang ribut. Saya pun diledeki oleh orang abangan yang
biasa meledek para santri. Dia bilang, “Kamu dibohongi sama orang Arab! Lha
siang waktunya makan enak-enak kok disuruh puasa! Dapet apa kamu?” Nah, lha…….
Paling saya cuma cengar-cengir, dan berdasarkan teladan Kang Abdul Haji, guru
ngaji saya yang pernah berguru di Pesantren di daerah Nganjuk bagian Selatan
(aku lupa nama Pesantrennya) maka saya dalam hati hanya berdoa, “Semoga kamu
diberikan hidayah oleh Alloh!” Biarkan saja orang seperti itu. Jika Tuhan lalu
memberinya petunjuk ya alhamdulillah. Kalau Tuhan nggak ngasih petunjuk, ya
paling nanti mati-mati sendiri kalau sudah waktunya. Nggak usah dipikiri
mendalam. Dulu di internet ada grup-grup yang membenci Islam, menghina Nabi
Muhammad dari berbagai model hinaan. Toh akhirnya ya capek-capek sendiri. Koit
juga. Kalau kau percaya Tuhanmu itu benar-benar Tuhan, buat apa kau risau bahwa
Tuhan tak mampu menegakkan kehormatanNya sendiri? Meskipun seluruh isi alam
semesta menghina Tuhan, lha Tuhan sendiri lo santai-santai saja.
Mungkin
loh ya….mungkin….. orang-orang muslim yang dibesarkan di lingkungan heterogen
sejak kecil, apalagi menjadi minoritas, yang biasa menerima penghinaan secara
akidah sejak kecil, tidak akan mudah tersinggung. Seperti Nabi Muhamamad saat
mulai berdakwah terang-terangan di Mekkah menjadi minoritas malah menghadapi
tekanan, dihina-hina dan mendapatkan ancaman-ancaman pembunuhan. Tapi saat
Islam menjadi besar dan berkuasa dari pusatnya di Madinah, beliau tidak
membalas dendam kepada penduduk Mekkah yang memusuhinya saat penduduk Mekkah
menyatakan berdamai dengan beliau. Saat Nabi Muhammad di Madinah, setiap hari
dicaci-maki orang Yahudi yang buta – dalam kisah yang sudah terkenal itu – Nabi
dengan kesabaran beliau setiap hari menyuapi makan si Yahudi buta itu hingga
Nabi lebih dulu meninggal dunia. Akhirnya si Yahudi buta menyesal setelah tahu bahwa selama ini yang setiap hari dengan baik menyuapinya makan adalah Nabi Muhammad.
Orang
Islam yang sejak kecil hidup di lingkungan homogen relijius, yang tak
bersinggungan dengan dunia lintas akidah, dan tidak berbekal
pengalaman-pengalaman atau ajaran tentang dialektika dan kontra-iman, mungkin
akan kaget ketika suatu saat menerima semacam penghinaan atau suasana heterogen
yang tak seideal yang dibayangkannya. Bahkan mereka mendistorsi moral hanya
pada soal seksual, perkawinan, makanan, minuman, dan ibadah-ibadah ritual.
Mereka tak punya bayangan bahwa moral juga terkait cara manusia berelasi dengan
orang lain yang seiman dan tak seiman. Mereka menganggap bahwa menghargai bulan
Ramadhan itu boleh dengan memusuhi orang-orang kecil yang makan dan berdagang
makanan di siang hari di pinggir-pinggir jalan, dengan tuntutan agar
orang-orang itu menghormati bulan Ramadhan. Sejak kapan nilai penghormatan terhadap
bulan Ramadhan itu bisa diperoleh dengan jalan paksa, penindasan dan bukan atas
kesadaran yang dibangun dengan rendah hati dan kasih sayang?
Bahkan
sebenarnya cara berelasi dengan orang lain baik seagama dan tidak seagama
justru menjadi salah satu ukuran stabilitas akidah (imannya). “Barangsiapa yang
beriman kepada Alloh dan Hari Akhir maha hendaklah memuliakan tamu, menghormati
tetangga, berkata-kata yang baik!” Begitu kata Nabi Muhamamad. Kalau engkau tak
menghargai tamumu, tak menghargai tetanggamu – meski tetanggamu itu tidak puasa
–, perkataan-perkataanmu didominasi oleh ketidakbaikan, maka imanmu diragukan oleh
junjungan Baginda Nabi Muhamamad! Jangan-jangan imanmu palsu! (Saya juga kadang
masih memaki-maki; berarti akidahku juga mungkin kurang stabil).
Engkau
seorang muslim sedang berpuasa Ramadhan, punya tamu nonmuslim yang miskin gak
punya makanan, datang dari jauh, lalu apakah kau akan bilang, “Maaf kami tak
punya makanan sebab sedang berpuasa, dan untuk menghormati Ramadhan maka di
rumah kami tidak diadakan acara makan di siang hari. Jadi kami tak menyuguhi
Anda makan dan minum.” Berarti engkau lebih menghargai bulan Ramadhanmu
dibandingkan menghormati tamumu. Masalahnya, Nabi Muhammad tidak pernah
bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Alloh dan Hari Akhir, hendaklah ia
menghormati bulan Ramadhan.” Kalau misalnya ada yang menemukan hadits semacam
itu, tolong saya yang fakir ilmu ini diberitahu!
Jadi,
kalau hanya soal orang lain katakanlah pamer-pamer makanan di depan muslim yang
sedang berpuasa, emang itu masalah? Dari sudut mana kita menganggapnya sebagai
masalah? Itu mah soal kecil. Malah jika kau menilai bahwa orang-orang di
sekitar kita adalah para tetangga yang wajib kita hormati, maka hormatilah
mereka! Rugi besar, buang-buang waktu kalau muslim menyoal hal-hal yang tidak substantif
itu. Memang Alloh Tuhannya umat Islam mewajibkan nonmuslim untuk menghormati
Ramadhan? Percaya kepada agama Islam saja tidak, bagaimana disuruh patuh kepada
Alloh Tuhannya umat Islam?
Kalau
ada muslim sendiri yang mokong tidak
puasa dan dia pamer-pamer makan di depan orang berpuasa, ya anggaplah dia itu Abdul
Sun Go Kong yang diutus Tuhan untuk menggodamu. Santai saja! Wong Tuhan saja
diimani katanya menciptakan Iblis dan setan untuk menggoda manusia. Lalu apa
yang diperintahkan Alloh SWT dalam melawan Iblis dan setan? Apa kita disuruh
membunuh Iblis dan setan, atau bagaimana? Yang diajarkan Alloh adalah manajemen
pengelolaan pertahanan diri. Tuhan mengajarkan doa, “A’uudzubillaahi minasysyaithoonirrojiim!” Sudah harga mati bahwa
orang beriman tak akan pernah bisa membunuh setan dan iblis. Bahkan manusia
bisa menjadi setan bagi dirinya sendiri.
Jika
engkau ingin menyusun hukum sebagai sarana menghormati bulan Ramadhan, maka
susunlah hukum itu sebagai konsensus atau kesepakatan di antara warga, bukan
sebagai hukum yang menindas. Sebelum hukum itu ditetapkan, undanglah masyarakat
untuk berembug, berdiskusi, guna merumuskan kesepakatan tentang perbuatan apa
saja yang tidak boleh dilakukan dan yang harus dilakukan. Jika rumusan hukum
tersebut terdapat pihak-pihak yang paling dirugikan, lalu apa solusinya bagi
mereka yang dirugikan, misalnya kaum ekonomi lemah yang bisa kehilangan
penghasilan karena bisanya hanya berdagang di siang hari sehingga masyarakat muslim
yang mempunyai bulan Ramadhan mampu menghormati bulan Ramadhan dengan cara mencukupi
mereka yang kekurangan. Bukankah bulan Ramadhan juga bulan penggalangan zakat,
infaq dan shodaqoh untuk mereka yang kekurangan, dan mengapa harus dibalik
menjadi bulan yang memenggal leher akses ekonomi masyarakat yang kurang mampu?
Umat
Islam juga tidak perlu mencari padanan dengan Perda-Perda tentang masyarakat mayoritas
Kristen di Papua ataupun bagaimana Hukum Adat Nyepi yang cuma sehari di Bali.
Islam mempunyai ukuran sendiri dan tidak akan mencontoh model lain. Jika perlu
umat Islam seharusnya memberikan contoh yang lebih baik. Apalagi membandingkan aturan
tentang “larangan berkegiatan ekonomi sehari” dengan aturan “larangan
berkegiatan ekonomi sebulan” ya jelas tidak sepadan.
Menghormati
bulan Ramadhan sebenarnya adalah adanya usaha-usaha yang sungguh-sungguh kaum
muslim untuk mencapai tujuan puasa, yakni la’alakum
tattaqquun (agar kalian menjadi orang bertakwa). Maka, coba tengoklah
bagaimana ciri-ciri al-muttaqiin (orang bertakwa) itu? Cari sendiri –
setidaknya itu ada di awal surat Al-Baqoroh! Yang jelas diantara ciri orang
bertakwa itu tidak termasuk orang yang eksklusif secara relasi sosial, yakni termasuk
berambisi agar agamanya dihormati umat lain tapi dengan cara-cara yang ribut-ribut.
Kalau
kaum terpelajar muslim modern masih kalah sikap inklusifnya dengan guru ngaji
kami, Kang Abdul Haji, yang ada di tengah hutan jati, kok ya kebangetan.