Borjukrasi kita telah mengalami dua kali lelucon.
Lelucon pertama adalah ketika Jokowi menjadi calon presiden. Agama pun
dimain-mainken. Ada anggota tim sukes mengaku-ngaku muslim berkampanye
di media sosial, bilang saya pilih si anu si itu. Kalau dirinya muslim, mengapa harus
pamer kemuslimannya? Kalau dia Kristen, mengapa harus mengaku muslim? Ini
terjadi pula dalam lelucon kedua ketika Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menbakalkan
diri sebagai bakal calon Gubernur DKI Jakarta. Ada orang memproklamirkan
dirinya sebagai muslim yang mendukung Ahok.
Mengapa agama Islam menjadi diikut-ikutkan?
Karena memang mayoritas penduduk Indonesia dan Jakarta berpenduduk
muslim/muslimah. Kampanye lelucon yang prematur alias belum waktunya bin
kebelet demikian terjadi karena ada kelompok warga muslim yang tidak mau
memihak Ahok dengan alasan agama pula. Konon orang Islam dilarang memilih
pemimpin nonmuslim. Saya tak mau ikut-ikutan berpolemik. Tafsir ajaran agama
itu selalu mengandung khilafiyah alias margin
of error , nggak beda dengan teori-teori sosial. Bahkan teori-teori fisika pun
tidak absolute alias relatif. Loh, kalau ada muslim tidak mau memilih pemimpin
nonmuslim, memang mau diapakan? Mau dipaksa, atau dituduh bodoh? Sebaliknya
kalau ada orang Kristen atau Hindu yang tidak mau memilih muslim sebagai
pemimpin mereka, emangnya mau diapakan? Mau dituduh sebagai orang bodoh juga?
Semoga tuduhan-tuduhan yang bersifat kampret wal kuntet itu tidak berlanjut.
Katanya dalam demokrasi itu orang bebas memilih. Orang mau memilih pemimpin
berdasarkan preferensi intelektualitas, etnik, agama atau apapun kan ya
bebas-bebas saja? Hendaknya jangan menjadi kecebong dalam dispenser! Jadinya sumpek
dan bisa mateng, hehehe….
Gara-gara euforia Ahok ini maka muncullah istilah
deparpolisasi. Lha memang perjalanan politik Ahok itu tanpa kuda tunggangan
parpol apa? Dia juga pernah di PIB, Golkar dan Gerindra. Siapa yang dijadikan
kuda tunggangan Ahok untuk bisa menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta? Gerindra
dan PDIP.
Tahun 2004, ketika berlaku UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah, di mana Pasal 56 mengharuskan pasangan calon
kepala daerah diajukan oleh partai politik, memang Ahok waktu itu di mana kok
sekarang tiba-tiba dipahlawankan menjadi pahlawan deparpolisasi? Waktu itu dia
menjadi Ketua DPC parpol bernama PIB di Belitung Timur. Tahun 2007 ada seorang
anggota DPRD Kabupaten Lombok Tengah bernama Lalu Ranggalawe yang berjuang, mengajukan uji materiil
terhadap ketentuan Pasal 56 UU No. 32 Tahun 2004 tersebut sehingga keluarlah
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-V/2007 tanggal 23 Juli 2007 yang menjadi
dasar bagi bakal calon perseorangan untuk berkesempatan mencalonkan diri
menjadi calon kepala daerah. Lalu Ranggalawe itulah pahlawan deparpolisasi
bakal calon kepala daerah, bukan Ahok.
Lelucon borjukrasi ini tampak adanya
sikut-sikutan, saling olok, saling membodohkan, membawa-bawa nama Tuhan. Lha
wong cuma borjukrasi saja kok. Itu kan cuma peristiwa-peristiwa politik
borjukrasi, yakni pemerintahan yang dijalankan oleh para borjuis.
Pembangunan
di Jakarta yang diarahkan ke singapuraisasi kelihatan hanya untuk kepentingan kaum
borjuis. Janji politik Jokowi saat kampanye yang akan melakukan kebijakan
penataan dengan tidak melakukan penggusuran kepada kaum miskin hanyalah isapan
kelingking. Kampung dianggap sebagai pemandangan yang membuat mata pedih, harus
dihabisi dan para penghuninya harus mau dipindah ke rumah susun (rusun). Lalu
para penganut borjuisme bertepuk tangan menganggap itu sebagai kebijakan
manusiawi.
Reklamasi teluk Jakarta adalah bukti paling
orisinil bagaimana borjukrasi bekerja. Saya pun tidak melihat Ahok bermusuhan
dengan DPRD DKI Jakarta seperti yang ditonjol-tonjolkan untuk meninggikan pamor
Ahok. Meskipun izin reklamasi teluk Jakarta melawan hukum, DPRD DKI Jakarta
juga adem-adem, tidak menjadikannya sebagai alasan untuk melengserkan Ahok.
Mana pula kasus dana siluman APBD DKI Jakarta yang katanya di situ ada
perlawanan Ahok kepada para anggota DPRD yang dicap oleh warga media sosial sebagai
para koruptor? Sudah dilupaken, dan diselesaikan secara adat. Mengapa? Mbuh…..Pikiren dhewe!
Memang pulau-pulau hasil buatan dari proyek reklamasi
yang konon diperkirakan menelan dana sekitar Rp 500 T itu nanti untuk siapa?
Apa para buruh yang berupah Rp 3 sampai Rp 5 juta per bulan mampu membeli tanah
dan rumah di pulau-pulau buatan itu nanti? Ini borjukrasi men!
Okelah, yang mau pilih Ahok menjadi gubernur
DKI Jakarta, ya silahkan. Ahok memang hebat. Ahok cocok untuk borjukrasi, bisa
membuat Jakarta menjadi semakin mengkilat, rapi dan nyaman bagi mereka yang bahagia
dengan jalan-jalan di tempat-tempat mentereng sambil menghabiskan duit recehnya
sekian puluh atau ratus juta rupiah untuk membeli BH, kalung, celana dalam,
arloji, dan benda-benda kesukaan mereka.
Coba kita lihat orang lain selain Ahok yang
kaya, yang juga diproyeksikan sebagai bakal calon Gubernur DKI Jakarta. Dia
juga orang kaya bernama Ahmad Dhani. Ini juga lucu idenya, diantaranya usul
agar calon kepala daerah perseorangan (diistilahkan independen) dilarang. Kalau
ada yang mau memilih Ahmad Dhani, ya nggak apa-apa, boleh-boleh saja. Siapa
tahu pendatang dari Surabaya itu menjadi gubernur DKI Jakarta dengan idenya
yang akan menjadikan penduduk Jakarta zero
growth, pendatang dilarang jadi warga Jakarta. Wah, kalau ada cowok Jakarta
menikah dengan cewek Jogja, si cowok harus ngalah keluar Jakarta atau hidup
secara LDR dong? Hehehe…..bisa rindu setengah mati dong. Hanya saja sepertinya
Ahmad Dhani lebih terhormat menjadi legenda musik Indonesia.
Apalagi Prof. Yusril Ihza Mahendra yang sudah
tua itu, lebih baik ngadek hamandhita,
menjadi penasihat para orang muda yang mengatur negara. Ia lebih terhormat
menjadi seorang guru besar daripada menjadi gubernur.
Dari berbagai bakal calon yang dimunculkan
tersebut, tidak ada dari mereka yang berasal dari “orang miskin” atau “orang
pas-pasan”. Tiket untuk menjadi kepala daerah, apalagi di ibukota, mungkin
memang tidak bisa dengan tiket kelas ekonomi, tapi harus tiket kelas eksekutif.
Mengapa? Sebab pemegang kepentingan terbesar dalam demokrasi adalah mereka yang
mempunyai kekuasaan kekayaan, yang akhirnya demokrasi sebenarnya hanya hayalan,
dan yang sebenarnya berjalan hanyalah borjukrasi. Uang para borjuis bisa saja
mengalir ke grup-grup politik, entah itu parpol ataupun nonparpol, agar mereka
mempunyai andil dan tanaman yang akan mereka panen di kemudian hari, tak peduli
siapapun yang menjadi kepala daerah maka mereka ini adalah para buruh tani di lahan
para borjuis. Untuk menyulap dan menghipnotis opini dan kesan sosial, Anda
butuh uang banyak. Buktinya, orang sudah pada lupa kepada Lalu Ranggalawe yang
menjebol dominasi parpol dalam rezim hukum pemilihan kepala daerah, dan
mengelu-elukan “idola” deparpolisasi yang baru muncul.
Selamat menikmati masa depan Jakarta yang
gemerlap dan rapi!