Saya membaca artikel yang sebenarnya merupakan opini
di website Fiskal.co.id. Judulnya: “Jokowi
Sudah Benar Ketika Semua Orang Menyerangnya.”
Artikel yang diterbitkan 30 Maret 2015 itu rupanya karya redaksi media
online Fiskal.co.id itu. Tak ada nama penulisnya.Artikel tersebut dibuka dengan uraian tentang
perdebatan pemikiran kebudayaan. Katanya, menurut artikel itu, Nirwan Dewanto, Sutardjo C. Bahri, Goenawan Mohamad,
Seno Gumira Adjidarma mendebatkan tentang apa yang dinamakan budaya Indonesia.
Bersamaan dengan debat terbit pula buku edisi revisi dari Benedict Anderson
(1993) ikut mengubah arah debat. Perdebatan itu berkesimpulan bahwa
bangsa ini brengsek dan terkutuk oleh tumbuh kembangnya mental saling memakan,
saling menjepit, saling injak, dan saling korupsi satu sama lain demi kualitas
hidup semu. Kesimpulan
itulah yang dijadikan sebagai “dasar memihak” seolah Jokowi adalah presiden
yang menjadi “korban” yang diserang, dijepit. Ketika yang lain bertikai dan
korupsi, presiden Jokowi mencabut seluruh kenikmatan yang menurutnya memanjakan
rakyatnya. Jokowi telah melucuti kenikmatan rakyat berupa subsidi-subsidi, maka
ia diserang semua orang. Hah? Semua orang menyerang Jokowi?Dalam pandangan neoliberalisme,
memang subsidi adalah racun yang membuat rakyat lemah, tidak bisa mandiri. Penulis Fiskal itu menyatakan, saat subsidi membanjiri
masyarakat, yang muncul adalah zona nyaman. Masyarakat lalu jadi paranoid jadi
traumatis pada perubahan dan adaptasi zaman. Ia juga menyatakan, “Pertumbuhan (ekonomi, pen) 7 persen adalah target Jokowi, dan
pertumbuhan itu walau data makro merupakan pertumbuhan yang berkualitas, dan
bukan pertumbuhan dari sisi finansial saja sebagaimana di era SBY, melainkan
riilnya. Pertumbuhan yang nyata dirasakan orang banyak dalam bentuk fisik.
Sekali lagi jika Anda berharap perbedaan dari Jokowi seperti harga murah, semua
itu sudah di tangan Anda.” Harga
murah sudah di tangan Anda saat ini? Oh, iya, pajak-pajak malah hendak
diperluas dan ditingkatkan. Anda harus rela jadi patriot!
Lalu penulis menunjukkan
peningkatan kualitas dirinya yang mampu mandiri dengan menanam dan berternak
sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Seolah ia hendak menyatakan, “Saya
mampu mandiri gara-gara Jokowi mencabut subsidi untuk saya! Saya menjadi lebih
hebat karena Jokowi!”Ia menuliskan, “Inspirasi penulis adalah sang presiden baru
itu sendiri, yang berhasil mandiri dari kampung kumuh menjadi presiden. Penulis
tidak akan bisa mendapatkan inspirasi dari mereka yang jadi pemimpin karena
seorang Jenderal, seorang tokoh nasional, atau seorang anak orang berpengaruh." Antisubsidi,
Itu misi siapa? Sebelum saya membahas paradigma antisubsidi, ada
baiknya saya meluruskan pemikiran yang tidak tepat dengan adanya istilah “subsidi
harga BBM.” Jika pemerintah negara Anda membeli 100 persen BBM dari produsennya
dengan harga beli Rp 1.000,-/liter, lalu menjual kepada Anda dengan harga Rp
500,-/liter, berarti Anda disubsidi Rp 500,-/liter oleh negara. Tapi jika
negeri Anda punya kekayaan tambang BBM yang dikelola korporasi asing dan
pemerintah negeri Anda mendapatkan bagi hasilnya, lalu pemerintah Anda harus
membeli BBM dari si penambang itu dan menjualnya kepada Anda dengan harga yang
tidak disubsidi, maka pemerintah Anda adalah pedagang dan Anda adalah sebagai
pembeli alias konsumen.Jika negeri Anda punya kekayaan minyak bumi,
ditambang oleh korporasi asing dan partikelir, lalu hitung-hitungan biaya
tambangnya dibebankan pada bagi hasil bagian negara Anda dengan nilai biaya
yang melebihi rata-rata biaya pertambangan migas di dunia, dan atas bagi hasil
yang seadanya itu kelebihan harganya dibebankan kepada Anda sebagai rakyat,
maka Anda sedang jadi korban penipuan besar. Itu jika ukurannya adalah Pasal 33
UUD 1945.Apalagi jika harga BBM yang harus Anda
tanggung melebihi harga keekonomian yang senyatanya – karena ada mark up biaya pertambangan yang tak
pernah ditangani dan diselesaikan – maka Anda sebagai “rakyat pemberi
subsidi” kepada para
korporasi penambang melalui beleid
yang dibuat penguasa pemerintah Anda. Pemerintah Anda hanya menjadi makelar yang
baik atas kesuksesan akumulasi kapital para korporasi itu. Silahkan pikirkan
dan teliti itu! Tak peduli di zaman presiden siapa saja! Bahwa Anda selama ini tidak
menerima subsidi dari negara, tapi memberi subsidi kepada perusahaan kaya-kaya
itu!Soal subsidi, saya coba kutip berita
pernyataan Gita Wirjawan saat menjabat Menteri Perdagangan zaman presiden SBY.
Gita menyatakan kritiknya kepada negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat
(AS) yang memberikan subsidi besar kepada para petaninya, sehingga produk
pertanian yang dihasilkan mereka lebih berdaya saing, tetapi melemahkan produk
pertanian negara berkembang, termasuk Indonesia.
Oh, ternyata Uni Eropa
dan Amerika Serikat itu bukan kapitalis tulen, sebab menerapkan kebijakan
subsidi kepada rakyatnya. Apakah rakyat di negara-negara Uni Eropa dan Amerika
Serikat itu menjadi paranoid, traumatis pada perubahan dan adaptasi zaman
seperti yang diteorikan penulis Fiskal itu?Di bidang pertanian, melalui
mekanisme Agreement on Agriculture
(AoA) tahun 1994 di Uruguay, disepakati bahwa subsidi negara maju adalah
sebesar 5% dari total produksi pertanian, sedangkan negara berkembang 10%.
Namun AS dengan Farm Bill (yang disahkan Mei 2002) memberi subsidi dengan nilai
180 miliar dollar AS, sebagai tambahan subsidi sektor pertanian hingga 10 tahun
ke depan. Padahal, berdasarkan data pada akhir Putaran Uruguay (1994), AS masih
menyisakan subsidi ekspor 594 juta dollar AS, Uni Eropa sebesar 8.496 juta
dollar AS, Austria menyisakan dana 790 juta dollar AS, Polandia mencapai 493
juta dollar AS, dan Kanada sebesar 363 juta dollar AS (Detikfinance, 2/1/2013).Dari satu sisi data itu saja sudah tampak
adanya “perang ekonomi global” dengan cara export
dumping. Negara-negara maju terus berusaha mengarahkan agar negara-negara
di dunia memperkecil subsidi kepada rakyatnya dan tujuan akhirnya adalah
penghapusan subsidi. Untuk apa? Ini adalah soal siapa yang kuat dia yang
menang. Tetapi negara-negara maju itu secara nyata tak akan pernah menghapus subsidi
pertanian untuk rakyatnya jika pengin produk pertanian dan peternakan mereka
(termasuk susu sapi perah) berkualitas baik dengan harga yang lebih murah,
sehingga mampu menguasai pasar global.Sementara itu para intelektual di
negara-negara berkembang diberikan ilmu ekonomi dengan teori dan postulat yang
berasal dari luar, bukan dari kekuatan negaranya sendiri, dicuci otak mereka
bersih-bersih, sehingga ke mana-mana mengatakan kalimat saktinya bahwa “subsidi
itu haram, meracuni kekuatan masyarakat!” Apakah sadar mereka ini bahwa apa
yang mereka sebarkan kepada masyarakat itu adalah ilmu beracun. Misi siapa yang
mereka jalankan itu?Jika kita tengok sejarah negara-negara maju,
pada mulanya mereka memberikan subsidi kepada rakyatnya dalam rangka mengatasi
masalah kemiskinan dan kekurangan pangan. Dalam perkembangannya, subsidi itu
membuahkan kemakmuran pada umumnya, produksi pertanian tidak sekadar mencukupi
kebutuhan domestik tapi juga dieskpor.Kebijakan subsidi negara-negara maju di era
modern justru menjadi sarana mereka mengalahkan lawan-lawannya dalam
perdagangan global yang berakibat pada pemiskinan negara-negara yang berkembang
karena tidak mampu bersaing di pasar global. Contohnya, produk para petani
negara berkembang justru tidak laku karena negaranya dibanjiri produk-produk
pertanian dari luar yang lebih murah. Akhirnya banyak generasi penerus petani
yang memilih bekerja dalam bidang pekerjaan lainnya dan bahkan menjadi TKI di
luar negeri. Sementara itu daya beli masyarakat nagara berkembang menjadi
lemah, nilai mata uangnya melemah, yang selanjutnya menimbulkan apa yang
disebut “harga mahal.” Di negara ini, kaum taninya setiap tahun berkurang sekitar
500 ribu orang.Perjuangan yang sedang dilakukan
negara-negara berkembang saat ini bukanlah menghapuskan subsidi di negeri
sendiri, tetapi meminta agar negara-negara maju menghapuskan subsidi untuk
rakyat mereka sendiri, agar negara-negara berkembang tidak terus kian kalah. Sekarang
dapat dibayangkan, jika seluruh negara di dunia ini menghapus subsidi, dalam
keadaan rakyat negara-negara maju telah punya kapital kemampuan yang lebih
memadahi dari sudut duit dan peralatan kerja, sedangkan rakyat negara kita masih
dalam kondisi tertinggal, bagaimana masa depannya jika dilepas oleh pemerintah
dalam pertarungan global itu? Lalu apa gunanya ada negara dan pemerintahan yang
memungut segala pajak dan mengelola kekayaan sumber daya alam negara?Jadi, kalau ada orang yang kreatif menanam
kebutuhannya sendiri, itu bukan soal karena presiden Jokowi mencabuti subsidi
untuk rakyat Indonesia, tapi itu soal lain yang tak terkait. Sebelum Jokowi
jadi presiden usaha kreativitas begitu sudah dilakukan sejak zaman presiden Soekarno.
Kami dan kakek-nenek kami yang hidup miskin di desa sudah melakukan itu sejak
zaman kolonial Belanda. Itu nggak ada
hubungan dengan pencabutan subsidi oleh Jokowi. Jika penulis Fiskal itu baru
kreatif sekarang, telat deh……Kita tidak hidup sendiri yang tak terkait
dengan luar negara ini. Berapa banyak kekuatan rakyat ini akan terus dilucuti
dan ujungnya kelak semakin banyak kita mengimpor kebutuhan dari luar negeri?
Kita mau membangun sarana fisik apapun, tapi jika kekuatan rakyat makin
melemah, sementara itu rakyat negara-negara lainnya makin kuat, lalu apa
gunanya sarana dan prasarana fisik itu bagi rakyat? Paling-paling jalan-jalan
raya atau tol baru yang – andai jadi – dibangun itu nanti hanya untuk kemudahan
transportasi barang-barang impor di mana rakyat Indonesia menjadi pasar yang
luas bagi mereka.Jadi, seharusnya aksi protes terhadap
pemerintahan Jokowi – JK ini tidak ditafsiri sebagai serangan, tapi sebagai peringatan, “Hai Jokowi – JK, segera sadarlah
kalian itu! Kalian sedang memegang amanat rakyat! Rakyat yang tidak memilih
kalian pun telah tunduk kepada hukum untuk harus mengakuimu sebagai
presiden-wakil presiden! Buktinya mereka tidak memberontak! Jadi, jangan lucuti
kekuatan rakyat dengan mencabuti kewajiban negara itu!”Lagian ada jutaan rakyat miskin negara ini yang sudah biasa bersabar, tak pernah protes. Tapi derita mereka adalah tanggung jawab pengurus negara.