Perjuangan terbentuknya negara hukum demokratis di
Eropa pada masa lalu ternyata tidak sekadar menumbangkan tirani monarki,
melainkan babak baru terbentuknya tirani pemilik kekayaan. Dominasi kekuasaan
negara oleh kaum ningrat (raja-raja) dan gereja, ditumbangkan oleh suatu upaya
yang disebut demokratisasi. Upaya tersebut dimulai dengan dilontarkannya
gagasan-gagasan tentang demokrasi dan negara hukum, harus dipisahkannya
kekuasaan dalam suatu negara, agar tidak menumpuk di satu tangan. Ajaran itu kemudian
dikenal dengan Trias Politica.
Namun, siapa yang mengira bahwa dalam gagasan Trias
Politica terdapat “pesanan” dari kaum kaya (yang bukan dari golongan ningrat
dan gereja) yang berusaha agar diberikan kedudukan dalam pemerintahan?
Upaya-upaya borjuis atau kelas menengah itu berhasil. Monarki dipaksa untuk
tunduk pada konstitusi yang dibuat pada masa revolusi, kekuasaannya dilucuti,
atas nama demokrasi. Tentu saja di dalamnya terdapat janji-janji surga untuk
menggerakkan rakyat agar mendukung gerakan yang mereka sebut sebagai gerakan
pembebasan (liberty).
Perubahan memang terjadi. Tidak ada lagi hukum
raja-raja yang tiran. Namun tanpa disadari – meski dalam Revolusi Perancis
kekuasaan monarki dihabisi tuntas, kecuali Monaco – terdapat kompromi politik
antara golongan ningrat, gereja dan borjuis. Kepentingan para borjuis
diakomodasi negara untuk mengakumulasi kekayaan mereka. Ternyata penindasan
kepada rakyat kecil hanya berpindah tangan dari penindasan oleh tirani monarki
ke tirani baru yang disebut sebagai tirani borjuis atau tirani modal.
Jika zaman dahulu raja dapat membunuh rakyat yang
menentangnya, dalam era tirani modal itu pembunuhan dilakukan dengan cara-cara
yang lebih lunak dan secara tidak langsung. Meracuni lingkungan hidup yang
berakibat pada penyakit-penyakit degeneratif merupakan salah satu cara baru
untuk membunuh secara massal. Menyewa para preman untuk membunuh dengan cara
menghilangkan jejak merupakan cara lama yang dimodifikasi lebih modern.
Ketika pemilik modal menghendaki tanah yang sulit
dibebaskan maka dibuatlah kekacauan yang membuat warga masyarakat pemilik tanah
tidak kerasan. Tak jarang aparatur negara – dengan alasan demi pembangunan
negara – digerakkan untuk melakukan pengusiran paksa kepada warga. Putusan para
birokrat dan para hakim merupakan alat baru untuk menindas kaum lemah, diberi
label “atas nama hukum dan keadilan.”
Dalam perkembangannya, demokrasi hanyalah sebuah pantai
indah yang hendak dituju, tetapi rakyat hidup dalam sebuah kapal di lautan
ketidakpastian yang selalu dihempas gelombang. Seolah-olah rakyat sedang menuju
ke pantai indah itu, sebagaimana para nahkoda dan calon nahkoda selalu
menjanjikan bahwa mereka bersama-sama akan menuju ke pantai yang dijanjikan. Namun
kenyataannya kapal itu dikendalikan sesuai dengan keinginan para pengendalinya
yang mempunyai tujuan tersendiri.
Di Indonesia
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi
Jimly Asshiddiqie menyatakan,
teori demokrasi pada
abad ke-20 mengenal Trias Politica.
Kekuasaan negara dibagi menjadi kekuasaan eksekutif,
yudikatif, dan legislatif, ditambah satu
pilar lainnya, yaitu media massa.
Saat ini, terdapat tiga cabang kekuasaan lainnya, yakni pemodal, masyarakat sipil, dan media massa.
Jimly mengatakan, ada kecenderungan empat cabang
kekuasaan akan bertumpuk di satu tangan
dan itu sangat membahayakan. Misalnya, pengusaha besar menguasai
industri media, lalu dia membuat partai dan kemudian jadi presiden. Itu sangat
mungkin terjadi, trennya sudah begitu, hanya sekarang belum berhasil. Jika terjadi presiden
memegang empat cabang kekuasaan, maka itu bukan demokrasi lagi. Jimly menyarankan
perlunya kebijakan untuk mencegah terjadinya hal tersebut, yakni perlunya undang-undang
tentang larangan konflik kepentingan.
Saya tidak sependapat dengan cara pikir Jimly yang
mencampur-aduk konsep Trias Politica dengan realitas kekuasaan nonnegara yang
menguasai negara itu. Sedari awal dalam sejarahnya telah terjadi upaya halusinasi
pemikiran demokrasi. Pemisahan kekuasaan negara dengan ajaran Trias Politica
adalah dalam rangka melucuti kekuasaan raja-raja dan ditujukan agar para raja
membagi kekuasaannya dengan kaum borjuis. Warga masyarakat diperalat untuk
menentang kekuasaan raja yang absolut itu. Sejak terbentuknya negara hukum
modern, pemilik modal telah menjadi penguasa baru dengan segala kepentingannya.
Kekuasaan negara mungkin tepat jika dibagi menjadi
beberapa urusan. Tetapi media massa bukanlah bagian pilar kekuasaan negara.
Bagaimana media massa yang dikuasai kaum borjuis pemodal itu dikatakan sebagai
termasuk kekuasaan negara? Konsep tentang media massa sebagai bagian kekuasaan
negara adalah konsep tirani kapital yang bermaksud meneguhkan kekuasaan pemilik
kapital itu sendiri.
Media massa dapat dipetakan, terdapat media yang
menjadi alat perjuangan masyarakat dan terdapat media massa yang menjadi alat
perjuangan penguasa modal, serta media massa yang menjadi alat pemerintah.
Independensi media adalah konsep yang salah, sebab saham media-media massa
bebas diperjual-belikan, diberikan badan hukum korporasi. Media massa adalah
entitas subyek hukum tersendiri. Media massa menjadi seperti manusia yang
berkepribadian robot yang dikendalikan oleh “pemberi hidupnya.”
Pada masa kini ternyata upaya kaum borjuis untuk
mendapatkan posisi dalam pemerintahan negara telah mengubah keadaan di mana
borjuis mampu menjadi satu-satunya kekuatan baru yang menguasai negara. Borjuis
menempatkan orang-orangnya di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, atau
sekurang-kurangnya menguasai ketiga lembaga tersebut dengan kekuatan
kekayaannya. Borjuis juga menjadi majikan media massa, juga menguasai otoritas
akademik. Lalu apa yang tersisa?
Hanya tekanan rakyat yang dapat membuahkan hukum
pembatasan kekuasaan itu agar tidak terjadi konflik kepentingan sebagaimana
disarankan Jimly itu. Tapi apakah hukum yang diciptakan dalam kendali borjuis
itu tidak akan menjadi kebohongan yang baru?
Misalnya saja seorang borjuis penguasa modal biasa
saja secara formal namanya tidak tercantum sebagai pemegang saham korporasi dan
bukan pengurus suatu badan usaha, namun dalam kenyataannya ia merupakan
pengendali suatu konglomerasi perusahaan. Karena tak ada bukti bahwa ia merupakan
pengurus dan pemegang saham suatu korporasi besar maka ia diperbolehkan
menduduki jabatan penting pemerintahan. Kiranya itu dibutuhkan pemikiran yang
lebih dalam.
Sebenarnya para pendiri negara ini cukup cerdas.
Mereka membuat konstruksi ketatanegaraan dengan membuat MPR sebagai lembaga
tertinggi negara. MPR ini sebagai “rumah rakyat” di dalamnya terdapat anggota
dari golongan partai politik, utusan daerah dan utusan golongan. Utusan
golongan tersebut tinggal dikembangkan dari berbagai golongan profesi, adat,
buruh, petani, nelayan, dan lain-lain. MPR dapat disusun dengan menghindari
dominasi partai politik yang biasanya didirikan dan dibiayai kaum borjuis.
Dalam susunan seperti itu presiden dari kalangan
borjuis akan lebih sulit untuk menjadi kekuasaan yang menguasai legislatif,
eksekutif dan yudikatif, sebab presiden diawasi dan dikendalikan oleh MPR yang lebih
dapat menjadi representasi semua golongan rakyat. Barangkali tatacara pemilihan
para wakil semua golongan di MPR itu dapat dihindarkan dari kemudahan campur
tangan para pemilik kapital. Misalnya dengan sistem pemilihan berjenjang dari
masing-masing daerah sampai ke pusat dengan pemilihan-pemilihan swadaya masyarakat.
Prof. Jimly dan kawan-kawan kini kebingungan dengan
akibat sistem yang telah dibangunnya, yang telah berakibat pada perubahan
fundamental struktur ketatanegaraan Indonesia yang kian liberal. Benar bahwa
masa jabatan presiden harus dibatasi, tapi bukan dengan cara menjatuhkan daulat
rakyat melalui MPR. Coba misalnya MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang
disempurnakan bangunannya, Presiden tak perlu pusing bikin tim independen untuk
memutuskan hal-hal yang menurutnya rumit. Cukup minta fatwa MPR.
Para pendiri negara Indonesia telah memberikan
konstruksi ketatanegaraan sementara yang baik yang seharusnya disempurnakan,
bukan dirusak dengan dibongkar secara fundamental meniru-niru bangunan negara
orang lain yang memang bangunan kemenangan kaum borjuis.