Selasa, 11 November 2014

Kenanganmu, Kenanganku, Kenangannya, Kenangan Mereka.

Ketika sejoli, lelaki dan wanita bertemu dalam jiwa yang menyatu, barangkali enggan berpikir bahwa kelak akan mungkin berpisah. Saat bersama, apa yang sejoli itu raih bersama menjadi milik bersama. Bagi yang ditakdirkan bertahan hingga maut yang memisahkan cinta mereka, berakhir bersama-sama dengan kematian, atau dalam selisih waktu yang tak panjang berselang, alangkah indahnya takdir demikian.

Namun tak semua manusia mempunyai takdir seindah itu. Tanpa disangka hubungan menjadi buruk, lalu tidak dapat dipertahankan. Atau salah satunya pergi meninggalkan dunia, hingga mewariskan kepahitan dan kenangan. Berpisah dengan kekasih, dengan cara baik atau buruk, akan menghadirkan kenangan di sepanjang perjalanan hidup. Sekeras-kerasnya upaya membuang kenangan itu, tetap akan ada yang tersisa. Entah kenangan yang indah, atau memori yang menjengkelkan.

Bicara tentang kenangan, bukan cuma orang-orang yang berpisah dengan kekasihnya yang memiliki kenangan. Orang-orang yang mengarungi lautan kehidupan akan mempunyai pengalaman masing-masing yang menjadi kenangan. Setiap orang, waktu, tempat, benda, yang menimbulkan pengalaman tertentu, akan menjadi kenangan.

Saya menulis ini ketika ada kawan di FB, namanya Rere, yang membuat status di dinding akun FB-nya, menuliskan: “jarak antara kejengkelan terhadap komodifikasi dan kenangan yang gak habis-habis itu ternyata cuma selebar LINE.” (Dia lelaki, tapi bernama Rere. Nggak masalah. Ada kawan SD-ku lelaki bernama Wiwik. Dalam perseteruan politik antara kubu Prabowo dengan Jokowi juga digunakan istilah nama si Wowo dan si Wiwi. Padahal Joko Widodo itu pria, kok disebut Wiwi?)

Saya tidak tahu maksud kalimat Rere itu. Gara-gara itu, maka saya menulis ini. Rere menggunakan istilah “komodifikasi”. Istilah itu dipergunakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo, guru besar ilmu hukum itu. Komodifikasi hukum, artinya memperjual-belikan hukum. Hukum dianggap barang dagangan. Lalu, apakah kenangan juga dapat diperjual-belikan?

Lalu dalam pencarian saya di belantara internet, saya temukan informasi buku berjudul “Penjual Kenangan Ketika Harap Mencari Tepi” yang ditulis oleh Widyawati Oktavia. Tentu saja saya belum membaca buku itu. Saya juga temukan informasi buku terjemahan, “Kenangan Cinta” karya Anton Chekhov.

Lalu saya bertanya dalam hati, sekali lagi, adakah kenangan itu dapat dijual, kok ada penjual kenangan? Siapa pembelinya? Dalam salah satu kalimat deskripsi buku “Penjual Kenangan” itu dituliskan, "Semoga ada persimpangan di depan sana. Agar aku bisa menjual kenangan dan rindu yang menyisa," lirih hatinya, perih. Apa maksudnya? Apakah itu cuma kalimat yang menipu pembaca agar terbaca sok sastra? Entahlah. Sebelum selesai membaca buku itu tentu tak dapat tahu maknanya.

Kenangan itu merupakan benda yang tidak berwujud. Saya gunakan istilah hukum perdata dalam KUHPerdata. Seperti halnya hak sewa, hak pakai, hak garap atas tanah, semuanya itu adalah benda yang tidak berbentuk, tidak berwujud materi. Yang berwujud adalah obyek yang disewa, dipakai, digarap, contohnya tanah. Begitu pula dengan kenangan, ada obyek-obyek yang dapat menjadi kenangan. Contohnya, rumah kenangan, cincin kenangan, sapu tangan kenangan, mobil kenangan, itu semua benda yang berwujud.

Biasanya benda kenangan itu bernilai sangat penting bagi pemiliknya yang memiliki kenangan terhadap benda-benda itu, dan ada keinginan untuk mempertahankan sepanjang hidupnya. Dalam kehidupan bernegara, benda-benda kenangan sejarah budaya dilindungi dan dikonservasi dengan menggunakan undang-undang (sekarang UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya). Siapa yang merusak atau menghilangkannya akan dipidana. Bahkan orang yang menemukan benda cagar budaya tapi tidak melaporkan kepada pemerintah, juga dapat dipidana paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500 juta.

Namun manusia adalah manusia. Manusia terkadang berada dalam situasi yang sulit, terpaksa memilih untuk menjual benda kenangan. Menjual benda kenangan bukan berarti menjual kenangan.  Dengan dijualnya benda kenangan itu, kenangan tetap akan ada dan tak beralih ke mana-mana. Dalam hukum jual-beli, terjadilah peralihan benda yang diperjual-belikan. Apakah kenangan seseorang dapat beralih ke memori orang lain? Tidak bisa. Yang beralih hanya benda kenangan itu. Beralihnya benda kenangan karena dijual itu mungkin akan diiringi dengan perasaan sedih. Kenangan itu sendiri akan berakhir saat kematian tiba, tapi mungkin tak akan terbawa mati. Seperti kata Mbak Pipik, “Kenangan tak akan dibawa mati.”

Mbak Pipik, istri mendiang Ustadz Uje, menurut berita, punya rencana menjual rumah kenangannya. Rumah kenangan hidupnya bersama Ustadz Uje.  Begitu pula, Robert Pattinson memutuskan untuk menjual rumah mewahnya di Los Feliz. Rumah itu merupakan rumah kenangannya bersama kekasihnya Kristen Stewart. Lain halnya dengan Julia Perez yang terpaksa menjual rumah kenangan perjuangan hidupnya untuk biaya pengobatan kankir rahim yang dideritanya.

Dalam hidup berbangsa ini ada yang punya kenangan dengan para pemimpin bangsa ini. Kenangan dengan Bung Karno, Hatta, Suharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY. Ada yang mengenang baik, ada yang mengenang buruk. Dalam perbedaan kenangan itu sampai ada yang saling serang opini. Kalimat ungkapan. “Sik kepenak jamanku to?” dari para pengenang kebaikan Suharto dianggap keliru oleh para pemilik kenangan buruk terhadap Suharto. Ternyata kenangan juga dapat menjadi bahan perdebatan, bahkan permusuhan sosial dan politik.

Tapi mungkinkah memang ada kenangan yang bisa dijual? Misalnya nih, kenangan terhadap kejahatan kemanusiaan kasus Talangsari, kasus Trisakti – Semanggi, kasus penghilangan orang secara paksa, kasus terbunuhnya Munir, kasus kejahatan teror dan pembunuhan pengamanan konsesi Freeport di Papua, Exxon di Aceh, Newmont di Buyat Sulawesi Utara? Apakah kasus-kasus itu akan tinggal kenangan tanpa pertanggungjawaban atau penyelesaian karena kenangan itu sudah terjual?

Manusia juga mempunyai kenangan sejarah dengan bangsanya dari masa lalu, meskipun cuma dapat menghayalkan kenangan itu, misalnya tentang kebasaran Majapahit yang diimajinasikan penuh kebaikan. Bagaimana dengan pemersatuan daerah-daerah kekuasaan dengan cara serangan paksa dan intimidasi yang dilakukan Gajah Mada yang dikenang kegagahannya itu? Manusia yang hidup di jaman sekarang ini tak ada yang punya kenangan langsung dengan Gajah Mada, kecuali kenangan itu diperoleh melalui informasi sejarah yang belum pernah final kebenarannya.

Kembali pada soal menjual benda kenangan. Kita tentu berharap, “benda” yang bernama Indonesia ini diharapkan jangan sampai menjadi “benda kenangan” yang dijual. Jika memperjual-belikan benda cagar budaya Indonesia dilarang, apalagi menjual manusia Indonesia dan Indonesia? Makanya, jika ada presiden Indonesia yang jadi sales harga negaranya, bagaimana itu akan dikenang?


2 komentar:

Anonim mengatakan...

Dalam kasus mini-drama AADC yang dibuat oleh LINE (aplikasi percakapan via telepon pintar), banyak orang yang merasa "dikibuli" oleh kenangan mereka terhadap film ini (keluar tahun 2002) karena akhirnya cuman jadi iklan produk LINE.
tentu saja tiap orang punya kenangannya masing-masing terhadap sebuah film, tapi menjadi teringat sebuah kenangan hanya gegara sebuah iklan itu cukup njengahi

Anonim mengatakan...

Memang. Tapi LINE itu apa, saya kok blum tertarik menggunakannya. Cukup sudah WA atau BBM.