Ketika sejoli, lelaki dan wanita bertemu dalam jiwa
yang menyatu, barangkali enggan berpikir bahwa kelak akan mungkin berpisah.
Saat bersama, apa yang sejoli itu raih bersama menjadi milik bersama. Bagi yang
ditakdirkan bertahan hingga maut yang memisahkan cinta mereka, berakhir bersama-sama
dengan kematian, atau dalam selisih waktu yang tak panjang berselang, alangkah
indahnya takdir demikian.
Namun tak semua manusia mempunyai takdir seindah itu.
Tanpa disangka hubungan menjadi buruk, lalu tidak dapat dipertahankan. Atau
salah satunya pergi meninggalkan dunia, hingga mewariskan kepahitan dan
kenangan. Berpisah dengan kekasih, dengan cara baik atau buruk, akan menghadirkan
kenangan di sepanjang perjalanan hidup. Sekeras-kerasnya upaya membuang
kenangan itu, tetap akan ada yang tersisa. Entah kenangan yang indah, atau
memori yang menjengkelkan.
Bicara tentang kenangan, bukan cuma orang-orang yang
berpisah dengan kekasihnya yang memiliki kenangan. Orang-orang yang mengarungi
lautan kehidupan akan mempunyai pengalaman masing-masing yang menjadi kenangan.
Setiap orang, waktu, tempat, benda, yang menimbulkan pengalaman tertentu, akan
menjadi kenangan.
Saya menulis ini ketika ada kawan di FB, namanya Rere,
yang membuat status di dinding akun FB-nya, menuliskan: “jarak antara
kejengkelan terhadap komodifikasi dan kenangan yang gak habis-habis itu
ternyata cuma selebar LINE.” (Dia
lelaki, tapi bernama Rere. Nggak masalah. Ada kawan SD-ku lelaki bernama Wiwik.
Dalam perseteruan politik antara kubu Prabowo dengan Jokowi juga digunakan
istilah nama si Wowo dan si Wiwi. Padahal Joko Widodo itu pria, kok disebut
Wiwi?)
Saya tidak tahu maksud kalimat Rere
itu. Gara-gara itu, maka saya menulis ini. Rere menggunakan istilah
“komodifikasi”. Istilah itu dipergunakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo, guru
besar ilmu hukum itu. Komodifikasi hukum, artinya memperjual-belikan hukum.
Hukum dianggap barang dagangan. Lalu, apakah kenangan juga dapat
diperjual-belikan?
Lalu dalam pencarian saya di
belantara internet, saya temukan informasi buku berjudul “Penjual Kenangan
Ketika Harap Mencari Tepi” yang ditulis oleh Widyawati Oktavia. Tentu saja saya
belum membaca buku itu. Saya juga temukan informasi buku terjemahan, “Kenangan
Cinta” karya Anton Chekhov.
Lalu saya bertanya dalam hati, sekali
lagi, adakah kenangan itu dapat dijual, kok ada penjual kenangan? Siapa
pembelinya? Dalam salah satu kalimat deskripsi buku “Penjual Kenangan” itu
dituliskan, "Semoga ada persimpangan di depan sana. Agar
aku bisa menjual kenangan dan rindu yang menyisa," lirih hatinya, perih. Apa maksudnya? Apakah itu cuma kalimat yang menipu pembaca agar
terbaca sok sastra? Entahlah. Sebelum selesai membaca buku itu tentu tak dapat
tahu maknanya.
Kenangan itu merupakan benda yang tidak berwujud. Saya
gunakan istilah hukum perdata dalam KUHPerdata. Seperti halnya hak sewa, hak
pakai, hak garap atas tanah, semuanya itu adalah benda yang tidak berbentuk,
tidak berwujud materi. Yang berwujud adalah obyek yang disewa, dipakai,
digarap, contohnya tanah. Begitu pula dengan kenangan, ada obyek-obyek yang
dapat menjadi kenangan. Contohnya, rumah kenangan, cincin kenangan, sapu tangan
kenangan, mobil kenangan, itu semua benda yang berwujud.
Biasanya benda kenangan itu bernilai sangat penting
bagi pemiliknya yang memiliki kenangan terhadap benda-benda itu, dan ada
keinginan untuk mempertahankan sepanjang hidupnya. Dalam kehidupan bernegara,
benda-benda kenangan sejarah budaya dilindungi dan dikonservasi dengan
menggunakan undang-undang (sekarang UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya).
Siapa yang merusak atau menghilangkannya akan dipidana. Bahkan orang yang
menemukan benda cagar budaya tapi tidak melaporkan kepada pemerintah, juga
dapat dipidana paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500
juta.
Namun manusia adalah manusia. Manusia terkadang berada
dalam situasi yang sulit, terpaksa memilih untuk menjual benda kenangan.
Menjual benda kenangan bukan berarti menjual kenangan. Dengan dijualnya benda kenangan itu, kenangan
tetap akan ada dan tak beralih ke mana-mana. Dalam hukum jual-beli, terjadilah
peralihan benda yang diperjual-belikan. Apakah kenangan seseorang dapat beralih
ke memori orang lain? Tidak bisa. Yang beralih hanya benda kenangan itu.
Beralihnya benda kenangan karena dijual itu mungkin akan diiringi dengan
perasaan sedih. Kenangan itu sendiri akan berakhir saat kematian tiba, tapi
mungkin tak akan terbawa mati. Seperti kata Mbak Pipik, “Kenangan tak akan
dibawa mati.”
Mbak Pipik, istri mendiang Ustadz Uje, menurut berita,
punya rencana menjual rumah kenangannya. Rumah kenangan hidupnya bersama Ustadz
Uje. Begitu pula, Robert
Pattinson memutuskan untuk menjual rumah mewahnya
di Los Feliz. Rumah itu merupakan rumah
kenangannya bersama kekasihnya Kristen Stewart. Lain halnya dengan Julia Perez yang terpaksa menjual
rumah kenangan perjuangan hidupnya untuk biaya pengobatan kankir rahim yang
dideritanya.
Dalam hidup berbangsa ini ada yang
punya kenangan dengan para pemimpin bangsa ini. Kenangan dengan Bung Karno,
Hatta, Suharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY. Ada yang mengenang baik, ada
yang mengenang buruk. Dalam perbedaan kenangan itu sampai ada yang saling
serang opini. Kalimat ungkapan. “Sik kepenak jamanku to?” dari para pengenang
kebaikan Suharto dianggap keliru oleh para pemilik kenangan buruk terhadap
Suharto. Ternyata kenangan juga dapat menjadi bahan perdebatan, bahkan
permusuhan sosial dan politik.
Tapi mungkinkah memang ada kenangan
yang bisa dijual? Misalnya nih, kenangan terhadap kejahatan kemanusiaan kasus
Talangsari, kasus Trisakti – Semanggi, kasus penghilangan orang secara paksa,
kasus terbunuhnya Munir, kasus kejahatan teror dan pembunuhan pengamanan
konsesi Freeport di Papua, Exxon di Aceh, Newmont di Buyat Sulawesi Utara? Apakah
kasus-kasus itu akan tinggal kenangan tanpa pertanggungjawaban atau
penyelesaian karena kenangan itu sudah terjual?
Manusia juga mempunyai kenangan sejarah
dengan bangsanya dari masa lalu, meskipun cuma dapat menghayalkan kenangan itu,
misalnya tentang kebasaran Majapahit yang diimajinasikan penuh kebaikan.
Bagaimana dengan pemersatuan daerah-daerah kekuasaan dengan cara serangan paksa
dan intimidasi yang dilakukan Gajah Mada yang dikenang kegagahannya itu?
Manusia yang hidup di jaman sekarang ini tak ada yang punya kenangan langsung
dengan Gajah Mada, kecuali kenangan itu diperoleh melalui informasi sejarah
yang belum pernah final kebenarannya.
Kembali pada soal menjual benda
kenangan. Kita tentu berharap, “benda” yang bernama Indonesia ini diharapkan
jangan sampai menjadi “benda kenangan” yang dijual. Jika memperjual-belikan
benda cagar budaya Indonesia dilarang, apalagi menjual manusia Indonesia dan Indonesia?
Makanya, jika ada presiden Indonesia yang jadi sales harga negaranya, bagaimana
itu akan dikenang?