Ini bukan sebuah ulasan filsafat. Ini hanya obrolan di warung Bu Kasbun. Adalah Anas
Urbaningrum yang menantang pengadilan untuk bersumpah bermubahalah. Ia divonis
penjara 8 tahun dan harus membayar uang ganti rugi kepada Negara sebesar Rp 57.590.330.580,- dan 5.261.070,- dollar AS. Para hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang menghukumnya
menolak tantangan Anas tersebut.
Apa itu sumpah muhabalah? Sumpah mubahalah adalah
sumpah kutukan guna mengakhiri perselisihan. Sejarah sumpah muhabalah terjadi
pada saat Nabi Muhammad bertemu dengan utusan Nasrani Najran yang membantah
kisah tentang Nabi Isa AS yang diterangkan oleh Nabi Muhammad.
Tentu saja bahwa karena kebenaran tentang hal tersebut
diliputi oleh keyakinan, maka tidak dapat diselesaikan dengan kesepakatan
apapun, dan tetap menjadi perbedaan opini. Akhirnya turunlah ayat 61 surat Ali
Imron yang menyatakan, “Siapa
yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu),
maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak
kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu;
kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la'nat
Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.”
Akhirnya para utusan
Nasrani Najran tersebut tidak berani mengadakan sumpah muhabalah tersebut,
sehingga perselisihan diakhiri dengan cara itu, tanpa perlu ada caci maki dan
kebencian. Apakah para utusan Nsarani Najran yang menolak sumpah muhabalah
tersebut berarti ragu-ragu dengan kebenaran yang mereka yakini? Belum tentu.
Bisa jadi mereka tidak mau ada di antara yang bersumpah mubahalah tersebut ada
yang celaka akibat sumpah itu. Namun, dalam kebenaran yang diyakini Islam,
penolakan sumpah mubahalalah oleh para utusan Nasrani Najran tersebut
dipergunakan sebagai bukti bahwa mereka tidak yakin terhadap kebenaran yang
mereka yakini.
Lalu, apakah
para hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang menolak tantangan sumpah mubahalah
Anas tersebut ragu dengan vonisnya? Kubu Anas bisa saja menafsirkan begitu,
tapi para hakim itu bisa jadi dalam hati mereka mengandung sikap, “Buat apa
ngurusi tantangan orang iseng!”
Kebenaran tentu
didasarkan pada ukuran-ukuran. Orang membunuh orang lain dinilai melanggar
kebenaran atau tidak benar, dengan ukuran moral dan hukum. Logika juga harus mendasarinya.
Tetapi perbuatan membunuh orang lain dibenarkan dalam perang, dengan
persyaratan hukum tertentu. Ukurannya adalah hukum. Hukum itu terutama karena
menjadi kesepakatan bersama. Lalu bagaimana jika hukum yang dilaksanakan belum
menjadi tolok ukur yang disepakati?
Sekitar 70 juta
orang Indonesia memilih Joko Widodo sebagai presiden, karena berdasarkan
pertimbangan kebenaran yang diyakini mereka. Sekitar 62 juta orang Indonesia
memilih Prabowo sebagai presiden, juga berdasarkan kebenaran yang mereka
yakini. Apa tolok ukur kebenaran yang mereka yakini? Sejarah, jejak rekam, keyakinan,
karakter orang yang dipilih, estimasi masa depan, dan timbangan-timbangan
lainnya.
Selanjutnya
perlu dipertanyakan, apakah tolok ukur yang dipakai sebagai dasar menentukan
kebenaran itu sudah benar, ataukah ada yang tidak benar? Lalu menggunakan
timbangan apa untuk menjawan pertanyaan tersebut?
Ternyata kebenaran
manusia tidak bersifat absolut. Manusia tidak dapat menentukan bahwa apa yang
diyakini sebagai kebenaran itu adalah telah benar-benar telah benar. Oleh sebab
itulah, terdapat alasan bahwa fanatik terhadap kebenaran yang diyakininya saat
ini, tanpa terus berusaha menggali kebenaran itu sendiri, adalah sikap dan sifat yang tidak manusiawi. Manusia
yang fanatik dengan kebenaran yang diyakininya sendiri sedang berusaha
menjadikan dirinya sebagai pencipta kebenaran, yang artinya sedang berusaha
memakai pakaian Tuhan.
Tetapi ada
banyak manusia yang tidak pernah bertanya kepada dirinya sendiri, “Mengapa aku
hadir di dunia, dan dengan maksud apa? Mengapa kehadiranku di dunia harus terjadi
dan tak ada yang mampu menolaknya? Lalu bagaimana keadaan dunia setelah aku
meninggalkannya? Ke mana perasaan hidupku setelah aku mati jasad, sebagaimana
aku di setiap tidurku tidak memiliki perasaan hidup tapi ternyata aku masih
hidup? Mengapa aku dalam tidur pernah bermimpi mengalami sesuatu yang
seolah-olah sangat benar adanya, dan ternyata setelah aku sadar bangun dari
tidur ternyata mimpi itu bukan kenyataan? Mengapa yang terpilih menjadi
presiden Indonesia ke-7 adalah Jokowi, kok bukan Thukul atau Prabowo?”
Ada banyak
manusia yang tak berdaya menolak peristiwa yang menimpa pada dirinya sendiri
yang tidak mereka kehendaki. Ada banyak pula manusia yang tidak pernah
menyangka menerima sesuatu yang membahagiakan yang itu bukan hasil usahanya.
Dengan
membiarkan kebencian terhadap kebenaran menurut orang lain yang saat ini tidak
diyakini sebagai kebenaran versi kita, maka sesungguhnya kita telah meremehkan
masa depan.
Kamu boleh tidak
percaya Tuhan, tapi pasti tak dapat memastikan bahwa Tuhan benar-benar tak ada.
Kamu boleh memastikan Tuhan itu ada, tapi tak pernah bisa memastikan Tuhan
pasti ada. Lha wong perjalananmu tidak pernah mampu menembus tata surya
matahari yang hanya setitik noktah dari alam semesta ini, kan?