Konon,
ketika masih belum ada listrik, dalam malam gelap yang hanya diterangi lampu
minyak temaram, lahirlah bayi dari rahim ibu yang sedang ditinggal suaminya.
Suaminya sedang berada di dalam penjara karena tertangkap mencuri kayu di hutan
untuk menyambung hidup yang miskin. Lalu ibu tersebut memberi nama bayi itu:
Subagyo. Itulah aku.
Aku
lahir dari orang tua yang tidak pernah sekolah, di lingkungan masyarakat miskin
abangan, di desa di tengah hutan jati. Namanya Desa Banggle, dalam wilayah
kabupaten Nganjuk. Oleh sebab itulah nama pemberian ibuku adalah Subagyo.
Itupun masih beruntung, karena bapakku bilang, “Andaikan aku yang memberi nama,
akan saya beri nama Sarmin, sebab ibumu bernama Sarmi.” Dengan berkelakar dalam
hati aku mikir, “Untung saat aku lahir kok bapakku di dalam penjara. Jika ada
bapakku maka kini namaku Sarmin. Wah, masih lebih bagusan nama Subagyo.
Hehehe.....”
Subagyo
itu nama Jawa. Katanya, Su artinya baik. Bagyo itu
bahagia. Saat aku masih anak SD, Pak Parlim, tetanggaku yang pegawai Perhutani
itu bilang, “Kamu akan menjadi bahagia karena kebaikanmu.” Aamiin. Andaikan
saja aku dilahirkan dari orang tua muslim yang mendapatkan pendidikan agama
Islam, mungkin saja namaku bukan Subagyo, tapi Abdullah atau Muhammad.
Meski
di masa kecilku nakal, suka berkelahi, tetapi kata ibuku, sejak aku remaja
digolongkan “anak yang manut, tidak punya tingkah.” Hanya, karena cita-citaku
berseberangan dengan kehendak ibuku, akhirnya aku minggat keluar dari desaku.
Ibuku
merasa jadi orang miskin yang tidak mampu membiayai sekolahku. Bahkan untuk bisa
sekolah SMP saja aku harus bekerja berjualan kayu bakar. Aku ngotot pengin
sekolah. Setelah lulus SMP, keinginanku untuk meneruskan ke SMA tak terbendung
siapapun. Tuhan menolong aku dengan adanya orang-orang yang bersedia menerimaku
untuk disekolahkan. Kisahnya panjang dan tidak mudah. Untuk bisa lulus SMA saja
butuh waktu 5 tahun, karena keluar masuk sekolah, berpindah-pindah. Saya selalu
menyalahkan diri-sendiri, anak muda miskin yang suka memberontak, tidak punya
mental lebih sabar menjalani hidup.
Saya
belajar agama lebih banyak secara otodidak. Namun untuk bisa membaca Al-Quran
saya sudah mampu sejak masih SD, diajari oleh guru ngaji di desaku bernama Pak
Abdul Haji. Guru ngaji di desaku itu benar-benar ibadah, tanpa upah. Beliau itu
petani yang menjadi pemuka agama di desaku, menggantikan ayahnya yang sudah
meninggal.
Setelah
SMA saya banyak membaca buku agama milik orang tua asuhku. Selain itu juga
dipinjami buku-buku agama Islam oleh kepala sekolah SMA-ku yang notabene beliau
itu beragama Katholik. Jadi, kalau Anda mencurigai orang Kristen melakukan
kristenisasi, saya justru punya pengalaman ada orang tua Katholik yang
menginginkanku lebih bisa memahami agama Islam dengan meminjami aku buku-buku
Islam. Namanya Pak John Deru Moy. Buku yang dipinjamkan ke aku salah satunya
adalah buku karya Bey Arifin berjudul “Hidup Sesudah Mati” yang juga mengupas
teori para filsuf kuno, termasuk Ariestoteles.
Belajar
agama Islam dari berbagai macam buku, termasuk memahami sejarah perkembangan
Islam, mengapa muncul firqoh-firqoh atau aliran Sunni, Syiah, Ahmadiyah, membuat
saya tidak bisa lagi mengidentifikasi apakah saya ini muslim Sunni atau Syiah.
Saya memutuskan bahwa saya adalah muslim tanpa aliran, sebab Islam-nya Nabi
Muhammad adalah Islam yang tidak Sunni atau Syiah atau Ahmadiyah atau apapun.
Saya
juga “mengaji” Kitab Injil milik keluarga Victor Sibarani, orang tua asuh saya
di Surabaya. Pada waktu SMA saya juga dianggap keluarga oleh keluarga
Protestan, keluarga dari teman karib saya Sanry Baralay yang sudah saya anggap
saudara. Saya punya pengalaman khusus, bahwa para keluarga Kristen itu tidak
pernah menyentuh iman saya agar saya memeluk Kristen. Bahkan mereka sangat
menghormati saya sebagai muslim. Makanya jika ada orang yang curiga begini
begitu tentang kristenisasi, saya bertanya, “Sampai seberapa jauh kekuatan
akidahmu hingga mencurigai orang lain akan mampu mempengaruhimu?”
Bertahun-tahun saya diasuh oleh keluarga Kristen, dan mereka sangat menghargai
akidah saya. Itu pengalaman pribadiku.
Ada
satu hal “kebengalan saya” dalam bersikap terhadap keluarga-keluarga Kristen
itu, yakni: saya tidak pernah mau mengucapkan “Selamat Natal” kepada mereka.
Saya jelaskan kepada mereka, “Iman Islam dengan iman Kristen dalam memahami
Yesus atau Isa itu berbeda. Kami tidak menganggap beliau sebagai Tuhan. Jika
saya memberi ucapan selamat Natal maka saya sama halnya mengakui kelahiran
Tuhan, padahal menurut saya Isa itu Rasulullah, bukan Tuhan.” Ternyata,
subhanallah, mereka para keluarga Kristen itu memahami sikap dan pendirianku
itu. Hubungan kami tetap baik.
Tapi,
akhir-akhir ini setelah makin tua, saya berubah pikiran. Apa salahnya saya
sekadar basa-basi untuk menjalin hubungan baik. Toh iman itu ada di dalam hati.
Niat saya mengucap Selamat Natal bukan untuk mengakui Isa sebagai Tuhan, tapi
untuk memberi selamat perayaannya saja. Maka saya modifikasi bukan Selamat
Natal, melainkan Selamat Merayakan Natal. Bagi mereka, kedua istilah itu tidak
ada masalah.
Dalam
pergaulan masa muda dengan para teman-teman Kristen terkadang juga terjadi
perdebatan akidah yang seru. Tetapi ujungnya akan sama, bahwa kita sama-sama
belum pernah bertemu dan bicara dengan Tuhan secara langsung. Oleh sebab itulah
bahwa akidah itu tidak usah diperdebatkan, sebab itu berada dalam wilayah “keyakinan”
dan bukan ilmu pengetahuan dunia. Perkara bahwa Kitab Al-Quran memuat
dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi maka dalam muatan akidah (keimanan)
tidak layak dibenturkan dengan akidah agama lainnya. Jelas tak akan ada
ujungnya sampai matipun.
Dengan
menyandang nama “Subagyo”, nama Jawa abangan ini, ketika menulis artikel (di blog Kompasiana) yang
bernada kritik terhadap pragmatisme dan kedangkalan pikir kelompok-kelompok
Islam di Indonesia dalam gerakan mereka, (seperti contohnya kasus petinggi PKS
yang terbelit korupsi kuota impor daging sapi, maupun korupsi petinggi PPP,
juga mengritik bagaimana gerakan Islam hanya mengurusi soal-soal permukaan
seperti cara berpakaian, ajang Miss World), ada yang menilai
kritik saya itu sebagai memihak Kristen, memihak PDIP, turut mengerdilkan
Islam, turut mendukung pelacuran. Artikel-artikel saya dinilai tendensius.
Apakah
mungkin akan beda jika sekiranya nama saya itu Abdullah atau Muhammad? Mungkin menurut
mereka, nama-nama yang tidak “Arab” itu tidak islami? Sehingga kelihatan
memusuhi Islam? Dikiranya muslim gadungan? Ya ya ya.... Mungkin saya memang
harus belajar untuk MEMAHAMI TUDUHAN-TUDUHAN ITU.
Sekaligus
saya semakin meyakini bahwa apabila slogan agama dijadikan alat politik maka
semakin besar kerusakan dalam beragama, terjadi kesesatan yang makin jauh,
sebab kecenderungan penyimpangan politik itu menjadi realitas tak terbantahkan.
Bagaimana tidak, lha wong sudah
jelas-jelas patronnya korupsi masih saja dibela dengan membuat tuduhan ngalor-ngidul yang makin membuat mereka
tampak kehilangan pegangan?