Dimuat di Jawa Pos, 29 Mei 2012
DALAM acara diskusi Skandal 6 Tahun Lumpur Lapindo di Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya (Pusham Ubaya) kemarin, ada seorang peserta diskusi yang membuat statemen, sebaiknya kasus lumpur Lapindo itu dianggap sejarah saja. Yang baik dilanjutkan, yang buruk dibuang.
Jika mau dianggap sejarah, kasus yang terjadi tepat enam tahun lalu itu memang pasti akan menjadi aib sejarah. Mempermalukan kita, sekarang dan masa depan. Siapa yang bisa mempercayai putusan-putusan pengadilan, keputusan kepolisian, kinerja kejaksaan, kebijakan-kebijakan pemerintah yang hingga kini tidak dapat tuntas mengurai kekeruhan itu?
Pihak Grup Bakrie sering membuat opini bahwa "Lapindo tidak bersalah" (dengan merujuk putusan pengadilan dan penghentian penyidikan oleh kepolisian). Jika Lapindo mau membayar jual-beli tanah para warga korban, itu semata-mata karena amanat almarhumah ibunda Aburizal Bakrie (Ical). Begitu, katanya.
Lalu, bagaimana kewajiban hukum Lapindo menurut pasal 15 Perpres No 14/2007? Bagaimana putusan MA No 14/P-HUM/2007 yang menolak permohonan uji materiil terhadap Perpres No 14 Tahun 2007 yang menegaskan: kewajiban Lapindo untuk membeli tanah warga korban lumpur dalam peta terdampak 22 Maret 2007 merupakan bentuk ganti rugi? Tetapi, mengapa pula putusan MA No 2710 K/Pdt/2008 (memperkuat putusan PT DKI No 136/Pdt/2008/PT.DKI) memutuskan Lapindo dkk tidak bersalah?
Kebingungan Hukum
Kasus tersebut unik. MA mengesahkan Perpres No 14/2007 dengan menafsir "jual-beli" tanah korban Lapindo sebagai bentuk "ganti-rugi". Tetapi, di sisi lain ternyata putusan MA No 2710 K/Pdt/2008 menyatakan Lapindo Brantas Inc. dan pemerintah tidak bersalah. Apakah atas dasar kebingungan hukum seperti itu Grup Bakrie merasa hanya tunduk pada amanat almarhumah ibunda Ical dan enggan tunduk pada Perpres No 14 Tahun 2007 jo putusan MA No 14 P/HUM/2007?
Yang jelas, kewajiban hukum Lapindo berdasar Perpres No 14/2007 yang diperkuat putusan MA itu tidak pernah dianulir oleh putusan hakim mana pun. Lapindo harus tunduk. Tetapi, selama ini Lapindo tidak tunduk, setidaknya mengulur waktu.
Dalam penegakan hukum administrasi negara, seharusnya presiden memberikan sanksi administratif kepada Lapindo, dapat menggunakan instrumen perizinan. Harus ada upaya paksa pemerintahan. Sekalipun tidak ada kewenangan yang pasti menurut undang-undang, presiden dapat membuat terobosan hukum (diskresi) untuk memerintahkan penyitaan aset-aset Grup Bakrie, atas izin pengadilan, guna melunasi kewajiban Lapindo kepada warga korban.
Putusan lainnya yang menyatakan Lapindo tidak bersalah dapat diinterpretasikan bahwa "kebenaran hukum" dalam kasus Lapindo belum tuntas. Sebab, masih bertentangan dengan putusan hukum lainnya. Selain faktor keterbatasan kemampuan penegak hukum dan paradigma hukum, terkadang korupsi dalam proses hukum membias dari kebenaran sejati.
Karena itu, Komnas HAM juga bekerja untuk menemukan sisi kebenaran yang lainnya dari perspektif HAM. Tim Ad Hoc Kasus Pelanggaran HAM yang Berat dalam kasus lumpur Lapindo telah menyimpulkan adanya kejahatan kemanusian yang termasuk pelanggaran HAM yang berat. Tim ini beranggota 13 orang dan diketuai Kabul Supriyadie dari Komnas HAM. Hasil kerja sejak 2009 disampaikan ke Komnas HAM pada 2011 dan direvisi awal 2012. Sikap resmi Komnas HAM sendiri belum ada. (Koreksi: anggota Tim Ad Hoc tersebut 18 orang).
Saya memberanikan diri menulis ini sebagai tanggung jawab saya sebagai anggota tim ad hoc (selaku penyelidik pembantu) dari unsur masyarakat. Masyarakat Indonesia harus mengetahui perkembangan proses yang terjadi meskipun tidak harus mengetahui seluruh hal yang bersifat teknis dan rahasia penanganan perkaranya.
Bukti BPK Diabaikan
Ketika lumpur baru menyembur, terbit Keppres No 13/2006 untuk pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo. Tiga tugas utamanya adalah penutupan semburan lumpur, penanganan luapan lumpur, dan penanganan masalah sosial. Biayanya dari anggaran Lapindo Brantas. Tetapi, dalam perkembangannya, kewajiban Lapindo tersebut dianulir dan dibatasi dengan pasal 15 Perpres No 14/2007.
Pada 2006, BPK melakukan pemeriksaan dan menerbitkan laporan resmi. Di sana liku-liku kesalahan teknis dalam pengeboran di Sumur Banjarpanji 1 Porong diuraikan secara jelas. Dokumen lembaga negara ini pernah dijadikan YLBHI dan Walhi sebagai salah satu alat bukti di pengadilan dalam menggugat Lapindo, pemerintah, dan pihak terkait. Tetapi, rupanya, hakim lebih memilih pendapat saksi ahli yang diajukan pihak tergugat (Lapindo dkk), padahal keterangan ahli tidak termasuk alat bukti berdasar pasal 164 HIR dan 1866 KUH Perdata.
Ditinjau dari standar pembuktian memanglah bahwa putusan PN Jakarta Selatan No 248/Pdt.G/2007/Jak.Sel., PT DKI Jakarta No. 383/Pdt/2008 yang diperkuat putusan MA No. 2710 K/Pdt/2008, serta putusan PT DKI Jakarta No. 136/Pdt/2008 adalah bermasalah atau tidak memenuhi standar degree of evidence.
Putusan PN Jakpus No. 384/Pdt.G/2006/PN.Jkt.Pst menyatakan Lapindo bersalah dalam melakukan pengeboran, tetapi tidak dianggap melakukan perbuatan melawan hukum karena ada upaya penyelesaian oleh pemerintah. Tetapi, putusan ini dianulir putusan PT DKI Jakarta No 136/Pdt/2008 tersebut.
Para hakim dalam kasus tersebut telah membuat "terobosan hukum", melanggar standar pembuktian dalam hukum acara perdata, dan menguntungkan Lapindo Brantas Inc. dan tergugat lainnya. Padahal, hasil pemeriksaan BPK tersebut menjadi alat bukti surat otentik, ditambah dengan keterangan ahli yang kompeten.
Komisi Yudisial (KY) sebenarnya dapat melakukan analisis terhadap seluruh putusan tersebut, guna menilai profesionalisme (kemampuan para hakimnya), berdasar kewenangannya menurut pasal 42 UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Yakni, apakah ada aspek kebenaran hukum yang dimanipulasi.
Menurut saya, memang ada "kebenaran hukum" yang digali dengan cara yang tidak fair, dengan pertanyaan: Mengapa para hakim memilih keterangan ahli yang diajukan Lapindo dkk sebagai alat bukti, sedangkan alat bukti dokumen negara dan keterangan ahli yang diajukan para penggugat (YLBHI dan Walhi) dikalahkan dengan cara menabrak standar pembuktian berdasar pasal 164 HIR dan 1866 KUH Perdata?
Kini tiap tahun negara harus menganggarkan triliunan rupiah untuk penyelesaian kasus tersebut. Banyak problem yang dihadapi korban: masalah kesehatan, pendidikan, psikologi, ekonomi, dan lain-lain yang telantar. Tetapi, para warga korban terus berusaha untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri.
Kasus tersebut menunjukkan dominasi korporasi atas negara. Etos kepemimpinan tegas dibutuhkan di negeri yang berbudaya hukum parokial dan subjektif ini. Jika tidak, mau berapa tahun lagi kasus Lapindo yang telah seusia anak kelas I SD itu akan terselesaikan?