29 Mei 2011 ini nanti ulang tahun ke-5 kasus lumpur Lapindo. Hingga kini masalah itu masih jauh dari selesai. Ini seperti dongeng, tentang kenyataan, di mana dalam sebuah negara hukum modern ada masyarakat korban kecelakaan tambang gas bumi yang selama lima tahun nasibnya menggantung. Ada sebagian yang sudah diselesaikan pembayaran kerugian (jual-beli) atas tanah mereka. Tapi tetap saja merasa kehilangan sesuatu penting dari hidup mereka. Kini mereka terpisah, tercerai-berai dari induk keluarga-keluarga besar masing-masing, dan harus menjalani perjuangan panjang yang melelahkan untuk menagih janji-janji Lapindo dan pemerintah.
Ini bukanlah kasus tentang selesai atau tidaknya transaksi (pembayaran), tapi tragedi sosial dan budaya, lenyapnya artefak sejarah dan kekayaan kebudayaan serta keharusan merakit kembali rencana masa depan yang sulit. Ini merupakan takdir akibat tangan manusia, seperti halnya takdir kematian akibat pembunuhan di mana Tuhan membebani kewajiban manusia untuk menegakkan keadilan. Bukan diserahkan kepada Tuhan begitu saja.
Seingatku, pada Oktober 2009, tiga tahun lebih setelah awal bencana lumpur Lapindo, aku bertemu Pak Rudi, salah seorang korban Lapindo di Kalisampurno Tanggulangin. Seperti biasa, setiap bertemu dengan korban Lapindo saya sering bertanya tentang kejadian semburan lumpur Lapindo yang telah menelan beberapa desa di tiga kecamatan (Tanggulangin, Porong dan Jabon) di Sidoarjo itu.
Pak Rudi, dengan mimik lelah, menceritakan awal kejadian mengerikan yang sebelumnya tak pernah dibayangkannya itu. Ia mengetahui dengan pasti, sebab saat itu ia bekerja di tempat yang berbatasan langsung dengan area pengeboran Lapindo itu. Pada tanggal 28 Mei 2006 dia melihat asap mengepul dari tempat pengeboran Lapindo. Bau gas menyengat. Tapi sore itu dia pulang. Paginya, 29 Mei 2006, Pak Rudi dilapori oleh para anak buahnya bahwa ada 4 orang anak buahnya yang pingsan di tempat kerjanya karena menghirup gas beracun yang berasal dari lokasi pengeboran itu. Menurut keterangan para pekerja pengeboran Lapindo, sebelum terjadi semburan lumpur katanya mata bor Lapindo putus sehingga pengeboran dihentikan.
“Saya sudah lama tidak kerja Mas. Sulit cari kerjaan,” kata Pak Rudi dengan datar. Ia juga bercerita, seperti halnya yang dialami para korban lainnya. Berkas tanah dan rumahnya milik tiga keluarga, dicicil Lapindo Rp 15 juta per bulan (berarti 1 keluarga mendapatkan Rp 5 Juta perbulan) yang akan baru lunas sekitar 9 tahun. “Kalau begitu caranya (dicicil-cicil) bagaimana kami bisa beli rumah? Uangnya ya untuk keperluan rumah tangga sehari-hari, berobat dan lain-lain,“ katanya. “Bagaimana Presiden sudah bikin Perpres tapi tidak ditaati Lapindo, Presiden diam saja. Kita ini orang kecil bertambah susah.”
Iya. Presiden SBY pada tahun 2007 mengeluarkan Perpres No. 14 Tahun 2007, mewajibkan Lapindo Brantas Inc untuk “membeli” tanah 4 desa yang tenggelam (Siring, Renokenongo, Jatirejo dan Kedungbendo). Harus lunas dua tahun. Tapi Lapindo malah membuat jadual pelunasan hingga tahun 2012. Tapi Lapindo selama ini seringkali ingkar dan mempersulit.
Perpres No. 14 Tahun 2007 itu telah diubah dengan Perpres No. 48 Tahun 2008 dan Perpres No. 40 Tahun 2009 yang membebani negara membeli tanah korban di luar empat desa tanggungan Lapindo tersebut.
Kisah Pak Rudi hampir mirip nasib Mulyadi. Sebelum kejadian semburan lumpur itu dia punya warung kecil-kecilan di rumahnya. Waktu itu dia juga bekerja di pabrik Maspion. Tetapi peristiwa lumpur itu membuatnya tidak berkonsentrasi dalam bekerja, jarang masuk kerja, sehingga pada akhirnya di PHKdua bulan setelah terkena lumpur Lapindo. “Saya sudah minta keringanan atas kondisi saya pada perusahaan tempat kerjaku, akan tetapi tidak bisa diterima. Akhirnya saya jadi pengangguran,” kata Mulyadi. Pria asal Jatirejo Porong yang desanya telah tenggelam itu bercerita bahwa tanah keluarganya kini dicicil Lapindo Rp 15 juta perbulan, padahal anggota keluarganya 10 orang.
Ada juga sekitar 1000 kepala keluarga yang hidup dalam pengungsian di sebelah Timur tanggul lumpur Lapindo, menghuni bekas jalan tol Surabaya-Malang yang telah putus, hidup di rumah-rumah plastik dan kardus bekas serta sesek bambu, selama dua tahun. Salah seorang ibu pengungsi di situ bernama Fikriah, tahun lalu pernah bercerita kepada saya, “Tanah dan rumah kami dihargai sekitar Rp 100 juta lebih sedikit. Uang muka 20 % kami belikan tanah di desa lain, tapi belum bisa untuk membangun rumah. Sedangkan sisanya yang Rp 80 juta jika cuma dicicil-cicil sudah pasti tidak bisa dipakai untuk membeli rumah. Ya terutama untuk membayar utang-utang biaya hidup selama di pengungsian,” katanya lesu. Sudah lama ibu-ibu ini menderita sesak nafas, tapi tidak ada pihak yang memperhatikan kesehatannya. “Mau berobat ke rumah sakit ya tak punya uang Mas,” katanya dengan lesu. Ia juga mengeluhkan adanya pungutan yang dilakukan aparat desa ketika mengurus surat-surat keperluan berkas tanah yang akan diserahkan ke pihak Lapindo melalui BPLS.
Bukan hanya Bu Fikriah yang mengeluh begitu. Hampir seluruh korban Lapindo yang bicara dengan saya mereka menceritakan hal serupa, dipungut biaya macam-macam oleh para koordinator mereka. Jika tidak mau dipungut biaya-biaya itu mereka diancam tidak akan diuruskan pembayaran tanah-rumahnya.
Ketika saya bertanya kepada beberapa kepala desa atau lurah, mereka tidak dapat menyebutkan berapa data konkrit korban Lapindo di wilayah masing-masing. Diperkirakan seluruhnya sekitar 75 ribu hingga 125 ribu termasuk anak-anak. Tapi makin lama bisa makin bertambah mengingat area terdampak kian meluas.
Bakrie berjasa?
Saya tak tahu dari mana kabar angin yang dihembuskan yang menyatakan, “Dengan menerima uang muka 20 persen maka korban Lapindo sudah makmur.” Ada juga kalimat yang intinya, “Aburizal Bakrie telah berjasa bagi korban Lapindo, sebab meskipun Lapindo tidak bersalah tapi mau menyantuni korban Lapindo.” Itu hanya berlaku bagi segelintir tuan tanah yang kaya, bukan korban pada umumnya.
Sampai-sampai ada acara yang bertajuk “Terima kasih Keluarga Bakrie” pada September 2009 yang dihadiri korban Lapindo yang menerima skema pembayaran “ganti tanah dan rumah” di Perumahan Kahuripan Nirwana Village (KNV) yang dibangun Bakrieland Development itu. Pada acara itu budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) memberikan pencerahan kepada korban Lapindo, “Sampai sekarang sudah Rp 6,2 triliun yang dikeluarkan oleh Bakrie untuk Anda semua. Apakah Bakrie salah dalam hal ini? Ini bukan persoalan hukum. Juga bukan persoalan politik. Bahkan Mahkamah Agung dan Polda Jatim menyatakan bahwa Lapindo Brantas tidak bersalah. Ini adalah masalah hati. Buktinya, Lapindo tidak bersalah, tapi Bakrie tetap bertanggung jawab kepada saudara-saudara.” (Republika, 9/9/2009).
Sebelumnya Cak Nun juga melontarkan pernyataan bahwa sebaiknya pemerintah mengajukan gugatan kepada Lapindo untuk menentukan apakah Lapindo bersalah atau tidak. Adalah tidak adil meminta Lapindo memberi ganti rugi kepada korban terhadap hal yang bukan menjadi tanggung jawabnya (The Jakarta Post, 18/7/2008).
Semula korban Lapindo bersatu dalam GKLL. Tapi juga ada kelompok lain yang memilih bertahan di pengungsian Pasar Porong Baru yang bernama Pagarekontrak yang sejak semula menuntut agar pembayaran tanah dan rumah mereka dilakukan dengan cara tunai, meski akhirnya mereka juga menyerah kepada Lapindo, bersedia dibayar dengan cara diangsur. Kelompok-kelompok lainnya diantaranya: Kelompok Paguyuban Warga Perumtas 1 (di Tanggulangin), Paguyuban Warga Pengontrak Perumtas 1, Paguyuban Warga Jatirejo yang tidak mau menjual aset mereka. Kelompok ini menuntut diberikan ganti tanah dan rumah permanen, termasuk pondok pesantren mereka yang tenggelam. Sedangkan di luar area terdampak yang bukan dibebankan kepada Lapindo terdapat kelompok-kelompok masing-masing desa sebab ada sekitar 16 desa yang terdampak.
Ada sebuah kisah menarik dan sekaligus pilu, ketika para pengurus kelompok GKLL, dampingan Emha Ainun Nadjib, membuat kesepakatan dengan Minarak Lapindo Jaya yang mengubah pola pembayaran tunai dengan ganti tanah dan rumah maka GKLL pecah menjadi GKLL dan Geppres. Kelompok Geppres ini menuntut tetap pada cara pembayaran menurut Perpres No. 14 Tahun 2007 yang diingkari Lapindo. Mereka akhirnya terpecah dan bermusuhan. Selanjutnya pengurus GKLL yang bernama Khoirul Huda diketahui menjadi salah satu calon wakil Bupati Sidoarjo berpasangan dengan Bambang Prasetyo Widodo yang merupakan direktur Minarak Lapindo Jaya. Jadi, memang ada “pengurus” korban Lapindo yang mesra dengan pihak Lapindo.
Saat itu ada beberapa orang pihak Lapindo yang mencalonkan menjadi bupati Sidoarjo, yaitu Yuniwati Teryana dan Bambang Prasetyo Widodo. Bambang yang berpasangan dengan Khoirul Huda didukung Partai Golkar, PDI Perjuangan, PKNU dan Hanura. Sedangkan Yuniwati berpasangan dengan Ketua DPD Partai Demokrat Sidoarjo, Sarto. Tapi mereka akhirnya gagal. Calon Bupati terpilih adalah Saiful Ilah dari PKB yang semula merupakan Wakil Bupati Sidoarjo.
Multiskandal
Korporasi memang bisa melakukan apa saja. Pada awalnya pembebasan tanah sawah masyarakat untuk lokasi pengeboran Lapindo itu diisukan untuk “peternakan” yang konon akan menyerap banyak tenaga kerja. Rata-rata masyarakat tidak banyak yang tahu rencana pengeboran oleh Lapindo di situ. Semula masyarakat Siring menolak tanah mereka dibeli, tapi kemudian Lapindo menggeser strategi dengan membebaskan tanah warga Desa Renokenongo melalui Kepala Desanya yang bernama Hj. Mahmudah yang merupakan warga NU dan PKB itu. Ketika saya bertenya kepada Bu Mahmudah tentang keterangan warga korban yang menyatakan adanya kebohongan informasi pembebasan tanah warga itu, dia menanggapi, “Itu fitnah dari orang-orang yang tidak suka kepada saya.” Tapi siapa yang menyebarkan informasi bohong itu? Ketidakjujuran itu telah membuahkan malapetaka yang bukan hanya merugikan masyarakat korban di Sidoarjo, tapi juga rakyat Indonesia menanggungnya lewat APBN.
Ada aroma skandal tercium dalam kasus ini. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang membawa tim dari berbagai keahlian telah melakukan pemeriksaan dan menemukan adanya pelanggaran hukum tata ruang, jarak lokasi pengeboran dengan lokasi pemukiman penduduk, bahkan menemukan fakta-fakta teknik yang tidak layak, yang memicu kecelakaan pengeboran tersebut (Laporan Pemeriksaan BPK, tanggal 29 Mei 2007).
Dalam laporannya tersebut BPK juga menyatakan: “Berdasarkan laporan pemboran harian (sejak 28 Mei 2006 jam 12.00 wib s.d. 30 Mei 2006 jam 18.00 wib), diketahui bahwa semburan lumpur baik di dalam lokasi (rig) maupun di luar lokasi (150-200 meter) berhubungan dengan sumur Banjarpanji-1. Bahkan pada 30 Mei 2006, PT Energi Mega Persada Tbk (pemilik LBI) mengeluarkan press release yang menyatakan bahwa “perusahaan telah bekerja sama dengan pejabat Pemerintah setempat sehingga tercapai situasi yang aman terkendali dan melaporkan bahwa tekanan semburan telah berkurang setelah dilakukan upaya pemompaan lumpur pemboran ke dalam sumur………..”.
BPK juga menemukan data Lapindo dan BP Migas berupa Berita Acara Penanggulangan Kejadian Semburan Lumpur di sekitar lokasi Sumur BJP-1 tanggal 8 Juni 2006 yang ditandatangani oleh LBI dan BP Migas. Dokumen tersebut menyebutkan BP Migas maupun LBI sepakat bahwa semburan tersebut sebagai akibat dari underground blowout. Sumber semburan diduga berasal dari 2 (dua) zona yang berbeda yaitu Formasi Shallow G-10 (overpressure zone) dan formasi Kujung (formasi batuan gamping) yang telah tertembus saat operasi pemboran berlangsung dan mengalir ke permukaan melalui zona patahan yang telah ada.
Tetapi ketika kasus itu masuk ke Pengadilan para hakim justru menggunakan alat bukti berupa “keterangan para ahli” yang diajukan para pengacara Lapindo.” Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Putusan No. 284/Pdt.G/2006/ PN.Jak.Sel.) menyimpulkan bahwa semburan lumpur Lapindo tersebut karena fenomena alam. Dalam pertimbangannya hakim PN Jakarta Selatan menjelaskan:
“Menimbang bahwa dari pertimbangan tersebut oleh karena pendapat seorang ahli dari Penggugat yaitu Dr. Ir. Rudi Rubiandini yang pendapatnya telah dipatahkan oleh pendapat saksi ahli dari Tergugat yaitu Dr. Ir. Agus Guntoro, Msi, Prof. Dr. H. Sukendar Asikin, Ir. Mochamad Sofian Hadi dan Dr. Ir. Dody Nawangsidi, dan pendapatnya tersebut tidak didukung pula oleh alat bukti surat dari Penggugat, sedangkan saksi ahli dari Tergugat pendapatnya sudah saling bersesuaian dengan alat bukti dari Tergugat maka Majelis Hakim berpendapat bahwa terjadinya semburan lumpur panas di Banjar Panji 1 karena fenomena alam bukan akibat kesalahan dari Tergugat I.”
Putusan ini atas gugatan WALHI, diperkuat dengan Pengadilan tingkat banding. Sayangnya WALHI tidak mengajukan upaya kasasi dan peninjauan kembali (PK). Ketika saya menanyakan hal itu, dijawab bagian hukum yang menerangkan bahwa WALHI punya masalah dengan biaya dan tidak mengajukan PK dengan alasan tidak mempunyai alat bukti baru yang menunjukkan keadaan baru (novum). Padahal kalau soal biaya bisa melakukan penggalangan dana. Untuk upaya PK juga tidak harus dengan adanya novum, bisa juga dengan alasan “kekeliruan atau kekhilafan hakim dalam memutus perkara.”
Semula Hakim PN Jakarta Pusat (putusan No. 384/Pdt.G/2006/ PN.Jkt.Pst. - atas gugatan YLBHI) menyimpulkan adanya fakta ‘kesalahan dalam pemboran’. Dalam pertimbangan hukumnya majelis hakim menyatakan: “Menimbang bahwa dalam hal ini Majelis sependapat dengan Penggugat dimana luapan lumpur karena kekuranghati-hatian pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo (Turut Tergugat) karena belum terpasang cassing/pelindung secara keseluruhan sehingga terjadi kick kemudian terjadi luapan lumpur.” Namun pertimbangan putusan tersebut dianulir oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Mahkamah Agung.
Para hakim, termasuk Mahkamah Agung jelas keliru dan khilaf. Pertama, hakim mengabaikan standard pembuktian menurut pasal 164 HIR dan pasal 1886 BW (KUHPerdata), di mana “keterangan ahli tidak termasuk alat bukti” dan Laporan Pemeriksaan BPK mestinya merupakan alat bukti akte/surat otentik (Subagyo, Kompas, 31/5/2010).
Pertanyaan besar lainnya dalam menerima keterangan para ahli itu juga adalah: “Mengapa para hakim mempercayai keterangan para ahli geologi dan pemboran migas yang diajukan Lapindo yang sifat kebenarannya spekulatif sebab mereka bukan ahli gempa (kegempaan)?” Padahal DR. Sri Widiantoro yang merupakan ahli gempa saja di muka pengadilan menyatakan “terlalu jauh menghubungkan gempa Jogja sebagai penyebab semburan lumpur Lapindo.”
Kebenaran tentang penyebab semburan lumpur Lapindo itu mulai semakin terkuak dengan bocornya dokumen-dokumen riset yang dilakukan para ahli yang diminta Medco, diantaranya Neal Adams Services (15/9/2006) dan TriTech Petroleum Consultants Limited (22/8/2006). Riset-riset ini dilakukan sebelum adanya perdebatan tentang salah atau tidaknya Lapindo dalam melakukan pengeboran. Terakhir para ahli geologi internasional dalam International Conference & Exhibition dilaksanakan di Cape Town International Conference Center, Afrika Selatan, tanggal 26-29 Oktober 2008 menyimpulkan bahwa pengeboran Lapindo merupakan penyebab semburan lumpur Lapindo (42 ahli) meski ada juga yang menyimpulkan adanya kombinasi penyebab antara faktor gempa dan kesalahan pengeboran (13 ahli). Hanya 3 ahli dari Indonesia dari pihak Lapindo yang menyimpulkan gempa Jogja sebagai penyebab.
Saat ini, Lapindo menjadualkan penyelesaian kewajibannya melunasi pembayaran kepada korban Lapindo hingga 2012. Itu jika tak ingkar janji seperti biasanya. Sementara itu korban di luar peta 22 Maret 2007 yang tersebar dalam sekitar 16 desa akan tergantung dari bagaimana pemerintah mengambil langkah lugas dalam kasus itu. Riset tentang bahaya kesehatan masyarakat telah dilakukan WALHI dan kelompoknya, tetapi belum memperoleh respon postif pemerintah untuk menindaklanjutinya. Tim ahli Pemerintah Provinsi Jawa Timur juga menemukan gas hidrokarbon kawasan penduduk sebelah Barat danau lumpur Lapindo telah mencapai 55.000 ppm. Padahal ambang batas maksimum untuk kesehatan adalah 0,24 ppm.
Lalu kenapa semburan lumpur itu tidak dihentikan? Temuan BPK (sama dengan keterangan DR Rudi Rubiandini) juga menyatakan bahwa ada faktor nonteknis sebagai penyebabnya, termasuk ketidaktersediaan peralatan yang diperlukan dalam teknik relief well. Mengapa sampai seperti itu? Mengapa masalah besar itu cuma dijawab dengan “peralatan tidak disediakan”? Apa maksud dan tujuannya?
Bagaimana pemerintah akan memberikan tindakan hukum kepada Lapindo jika mereka terlibat dalam kejahatan itu? Kita tahu bahwa dalam perizinan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi melibatkan wewenang daerah dan pusat. Kita dapat menilai adanya multiskandal dalam kasus itu, sejak proses perizinan, penanganan masalah hingga ketika kasus itu masuk ke pengadilan.
Ada banyak hal yang ingin saya tulis di sini. Tidak cukup itu. Tapi sayangnya ini bukan sebuah buku. Ini adalah satu kasus menyedihkan diantara banyak kasus di negara ini, baik yang diketahui oleh media atau tidak. Jika kita melakukan penelusuran ke daerah-daerah sekitar tambang dan industri, selalu saja ada sisi-sisi yang mengenaskan dari kehidupan rakyat negeri kaya sumber daya alam ini. Dan mereka hanyalah tumbal. Para ekonom kritis menyebutnya sebagai “penonton”. Sejatinya bukan sekadar penonton, melainkan tumbal. Siapa yang menyelamatkan mereka, jika bukan kekuatan mereka sendiri dan solidaritas kita?
Oh ya, ingatkan kita pada 22 Nopember 2006 malam hari terjadi ledakan pipa gas akibat pergerakan tanah tanggul lumpur Lapindo? 14 orang mati sia-sia. Pak Rudi bilang, itu yang dilaporkan. Ada banyak korban mati lainnya yang tidak dipublikasi, tidak didaftar. Itu juga menjadi kasus yang tak terselesaikan hukum. Meski sebelumnya sudah ada peringatan tentang bahaya pipa gas itu.
Di Indonesia, korporasi yang berhasil melibatkan para pejabat negara akan mempunyai kekebalan hukum yang lebih tinggi daripada seorang presiden. Korporasi dapat menggiring para politisi di parlemen, eksekutif negara dan pengadilan untuk menyimpulkan, “Semburan lumpur Lapindo disebabkan gempa Jogja!”