Sebelum saya menjelaskan ‘cara kaya tanpa modal’, lebih dulu kita menyimak gaya hidup ‘presiden’Madinah pasca Nabi Muhammad, yaitu: Abu Bakar. Sebelum menjadi khalifah (baca:pemimpin pemerintahan) di Madinah yang wilayahnya adalah Jazirah Arab, Abu Bakar adalah pedagang. Tapi karena menjadi khalifah maka beliau meninggalkan pekerjaan dagang agar konsentrasi mengurus rakyat dan negara. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari Abu Bakar selaku khalifah diberikan tunjangan dari Baitul Mal (sejenis Kas Negara).
Suatu saat isteri Abu Bakar (ibu negara) ingin makan manisan, tapi tidak punya uang, sehingga beliau usul kepada Abu Bakar untuk menghemat uang belanja. Usul itu di-acc oleh Abu Bakar. Setiap hari Ibu negara menabung sedikit-sedikit sehingga berhasil mengumpulkan uang. “Wah kalau begitu uang tunjangan kita melebihi keperluan kita,” kata Abu Bakar. Alih-alih untuk membeli manisan, sebab Abu Bakar meminta agar uang itu dikembalikan ke Baitul Mal. Selanjutnya, Abu Bakar mengurangi tunjangannya senilai uang yang dapat ditabung isterinya. Mungkin kalau kita bisa melihat kejadiannya, Ibu Abu Bakar bisa jadi klamet-klamet alias menelan ludah membayangkan manisnya manisan itu.
Gaya hidup seperti itu mencontoh keteladanan Nabi Muhammad yang mengangkat peradaban Arab menjadi adidaya - saingan Kekaisaran Persia dan Romawi - dengan cara menerapkan pola hidup sederhana bagi para pejabat, melakukan efesiensi keuangan negara untuk memperkuat investasi sosial. Hal itu juga dilakukan Umar bin Khatab, Usman bin Affan serta Ali bin Abi Thalib. Kekhalifahan Islam pernah jaya, kekuasannya hingga ke Spanyol, tapi akhirnya tumbang ketika para penguasanya meninggalkan kesederhanaan hidup dan cenderung hedon.
Pesta korupsi
Kita beralih ke Surabaya. Orang Jawa mempunyai prinsip bahwa jabatan adalah kamukten atau kemuliaan. Berbeda dengan prinsip agama yang mengajarkan bahwa jabatan itu amanat. Karena menganggap jabatan sebagai kamukten, maka para pejabat cenderung memanfaatkan jabatan itu sehabis-habisnya. Kalau diberi jatah anggaran maka akan berusaha untuk menghabiskannya, mumpung masih menjabat. Jalan-jalan ke luar negeri dan pesta ulang tahun daerah merupakan bagian dari kamukten yang mereka sukai. Dari mana rakyat memperoleh keadilan dan kesejahteraan jika para pejabat yang mempunyai kewajiban mengurus mereka hanya bermain-main dengan angka, setiap malam keluyuran di tempat-tempat hiburan mahal dan uang negara dijadikan santapan kenikmatan mereka? Jangankan manusia, setan mana yang mau dipimpin orang-orang seperti itu?
Menurut data Indonesian Corruption Watch (ICW), pada tahun 2007 untuk Jawa Timur, selain kasus korupsi bagi-bagi dana bantuan partai politik (banpol) di Surabaya, ada sekitar sembilan dugaan kasus pencaplokan uang negara. Bupati Malang diperiksa dalam kasus dana keagamaan senilai Rp. 1,1 miliar dari Rp. 2,3 miliar. Bupati Sidoarjo juga akan diperiksa dalam kasus dana proyek Pasar Induk Agrobis (PIA) Jemundo itu. Bupati Pasuruan juga diperiksa sebagai saksi kasus dana proyek peternakan (bekerjasama dengan Universitas Brawijaya dan pihak luar negeri) senilai Rp. 3,5 miliar. Bupati Pamekasan diminta keterangannya dalam kasus dana biaya tambahan senilai Rp. 3,5 miliar. Bupati Situbondo sudah menajdi tersangka kasus dana kas daerah sebesar Rp. 45,750 miliar.
Bupati Magetan menjadi tersangka kasus dana proyek pembangunan GOR dan gedung DPRD Magetan senilai Rp. 7,2 miliar. Bupati Madiun menjadi tersangka dugaan korupsi APBD 2001-2004 senilai Rp. 8,7 miliar. Walikota Madiun menjadi tersangka penghilangan aset TNI AD dan dana APBD 2002-2004 senilai Rp. 9,68 miliar. Walikota Kediri juga sedang diselidiki dalam kasus dugaan korupsi.
Itulah fenomena kekuasaan yang berpesta-pora korupsi di mana-mana. Ketika pemberantasan kejahatan korupsi mulai digelar maka para pejabat melakukan penyanderaan politik anggaran dengan cara mengendapkan dana APBD. Pantaslah jika Indonesia memperoleh prestasi juara dunia korupsi, dan mempunyai pemimpin yang juara maling sejagat. Apa jenis Tuhan orang Indonesia sehingga tak ditakuti lagi?
Sugih tanpa bandha
Orang Jawa sebenarnya juga mempunyai filosofi kultural: sugih tanpa bandha. Terjemahannya: ‘kaya tanpa harta.’ Filosofi tersebut mempunyai arti: orang kaya bukanlah orang yang hartanya banyak, tapi orang yang mempunyai jiwa sebagai orang kaya. Ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad bahwa yang dimaksudkan dengan kaya bukanlah kaya harta, tapi kaya hati. Orang yang tidak kaya tapi mempunyai hati lapang, selalu bersyukur, maka tak akan pernah merasa kekurangan. Sebaliknya orang yang mempunyai harta melimpah tapi selalu merasa kurang maka akan cenderung serakah dan tidak pernah merasa puas, sehingga hatinya miskin sebab merasa terus kekurangan. Tetapi sugih tanpa bandha bukan lantas menghilangkan kultur kerja keras sebab tanpa kerja keras manusia tak akan dapat membangun peradaban.
Jika filosofi sugih tanpa bandha tersebut diterapkan para pejabat negara ini maka korupsi tidak akan ada, sehingga kita tidak butuh UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kini juga masih ditegakkan dengan cara korup. Kalau misalnya ada polisi, jaksa, hakim atau advokat (pengacara) yang mau disuap maka akan menjawab, “Gak usah! Aku wis sugih tanpa bandha.”Hidup baik cukup dengan gaji atau penghasilan halal. Kalau ingin kaya harta ya menjadi pedagang, jangan menjadi pegawai negeri.
Tetapi saking ‘kreatifnya’ otak maling, para pejabat memodifikasi filosofi sugih tanpa bandhadiartikan sebagai ‘kaya tanpa modal’. Caranya? Ya korupsi. Orang berdagang mau menjadi kaya, harus punya modal. Penjudi togel maunya kaya, juga pakai uang. (Silahkan aja kalau tidak ingin diborgol polisi, yang juga inginnya kaya tanpa modal!). Tapi para pejabat negara ini maunya kaya tanpa modal. Mereka hanya menengadahkan tangan jabatannya atau merogoh uang yang ada di laci kekuasaannya. Perlu juga sih modal imateriil, yaitu: ‘berani dipenjara.’ Modal malu sudah habis! Mereka tak punya kemaluan, tapi hanya alat reproduksi. Cuma, hukuman penjara juga bisa dinego sehingga keluar penjara masih gagah dan kaya.
Dengan keadaan seperti itu, sebenarnya sudah waktunya Musa membebaskan Bani Israel dari penindasan Firaun, waktunya Isa (Yesus) menggiring domba-dombanya untuk menuju kebangkitan, waktunya Nabi Muhammad untuk membebaskan Jazirah Arab dan dunia dari gelapnya peradaban (kejahiliahan). Para ulama (semua agama) yang dipercaya mewarisi tongkat perjuangan pembebasan jangan hanya berkhotbah sebab para koruptor juga jago berkhotbah tentang agama dan ilmu. Perjuangan agama dan kultural itu harus digerakkan untuk mengawal gerakan hukum yang terseok-seok sebab hukum juga dikendalikan orang-orang korup. Tapi negara ini juga celaka jika seumpama wilayah agama dan kultural juga tertular virus korupsi.
Tulisan ini pernah dimuat Jawa Pos di Ruang Publik, 26 September 2007.
Sumber gambar dari Boston.com