Tirani modern merupakan tirani kapital, di mana kebanyakan kekuasaan negara, termasuk militer dan polisi, serta otoritas agama, akademik dan kebudayaan, tunduk kepadanya.
Senin, 15 Februari 2010
Tawon Boy dan Hukum Cebol
Kisah bocah sembilan tahun dengan nama samaran Boy dari Surabaya yang diadili gara-gara menyengatkan tawon kepada teman sekolahnya, menambah bukti betapa hukum Indonesia hanyalah hukum cebol. Ia hanya berani menginjak kaum papa.
Hukum yang cebol tak sanggup menggapai yang tinggi-tinggi. Ia hanya berani melawan nyamuk dan mrutu, tapi akan lari tunggang-langgang ketika berhadapan dengan sapi, apalagi gajah. Dalam kasus entup tawon Boy itu, hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Sutriadi Yahya, merasa heran kasus sepele itu masuk ke meja hijau. Hal itu juga berkaitan dengan pendirian orangtua korban yang tidak mau berdamai. Orangtua korban berpangkat komisaris polisi (Kompol) di Polda Jatim, (Surya, 2/2/2010).
Kisah entup tawon Boy itu hanya salah satu representasi praktik hukum di negara ini. Masih ada banyak kasus lain yang tidak terliput media. Orang-orang kecil diadili atas dasar kecurigaan, lalu dipaksa mengakui perbuatan yang tak mereka lakukan. Bicara kasus entup tawon Boy ini, saya jadi ingat artikel tentang pengobatan apitherapy dengan menggunakan entup tawon yang konon bisa menyembuhkan penyakit stroke, tumor, jantung koroner, diabetes mellitus, asam urat, ketidaksuburan, dan lain-lain (Kompas, 18/11/2003).
Tetapi saya belum pernah mendengar ada terapi atau pengobatan raga atau jiwa dengan cara menenggelamkan tempat hidup ribuan orang seperti yang terjadi di Porong, Tanggulangin dan Jabon, Kabupaten Sidoarjo. Ada empat desa yang tenggelam, dan setidaknya sembilan desa rusak. Kasus itu malah menimbulkan kerusakan kesehatan jiwa-raga sosial. Hampir empat tahun ini malah belum tuntas.
Semula, penyidik Polda Jatim dalam perkara pidana kasus semburan lumpur Lapindo itu menetapkan 13 tersangka dan sangat yakin dengan alat bukti dan barang bukti yang ditemukannya. Penyidik menyita barang bukti berupa dokumen dan surat-surat berupa Production Sharing Contract, Work Program & Budget, Drilling Program, Daily Drilling Report, model prediktif pengeboran infill (IDPM), instruksi kerja, Real Time Chart, Survey Seismic dan perizinan Upaya Pengelolaan Lingkungan – Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL–UPL).
Selain itu juga Standard Operating Procedure (SOP), Surat Izin Layak Operasi (SILO), satu unit Rig serta seluruh komponennya, perjanjian kontrak kerja antara PT Lapindo Brantas Inc dengan PT Medici Citra Nusa beserta sub kontraktornya. Data Paparan Publik oleh Ditreskrim Polda Jatim (8/3/2007) menyebutkan, 13 tersangka perkara Lapindo dijadikan tujuh berkas perkara.
Berkas Perkara I atas nama tersangka Ir Edi Sutriono (Drilling Manager) dan Ir Nur Rochmat Sawolo, MESc (Vice President Share Services PT Energy Mega Persada Tbk). Berkas Perkara II atas nama tersangka Willem Hunilla (Company Man Lapindo Brantas Inc). Berkas Perkara III atas nama tersangka Ir Rahenod, Slamet BK dan Subie (Drilling Supervisor PT Medici Citra Nusa). Berkas Perkara IV atas nama tersangka Slamet Riyanto (Project Manager PT Medici Citra Nusa) dan Yenny Nawawi SE (Dirut PT Medici Citra Nusa). Berkas Perkara V atas nama tersangka Sulaiman Bin HM Ali (Rig Superintendent), Sardianto (Tool Pusher) dan Lilik Marsudi (Driller) PT Tiga Musim Mas Jaya.
Berkas Perkara VI atas nama tersangka Ir H Imam Pria Agustino (General Manager Lapindo Brantas Inc). Berkas Perkara VII atas nama Ir Aswan Pinayungan Siregar (mantan General Manager Lapindo Brantas Inc). Ketika Tim Investigasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta keterangan Polda Jatim mengenai kendala perkara tersebut, penyidik mengarahkan telunjuknya ke kejaksaan yang berkali-kali mengembalikan berkas perkara kepada penyidik dengan petunjuk (P-19) yang berubah-ubah dan irasional.
Selanjutnya, setelah Kapolda Jatim, Herman S Sumawireja digantikan Anton Bahrul Alam, Polda Jatim mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dengan konklusi bahwa perkara lumpur Lapindo tersebut bukan merupakan tindak pidana. SP3 itu termasuk mengacu pada putusan Mahkamah Agung (MA) No. 2710 K/Pdt/2008 yang memperkuat putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No 136/PDT/2008/PT DKI tanggal 13 Juni 2008, yang menyatakan semburan lumpur Lapindo tidak berkaitan dengan pemboran yang dilakukan Lapindo.
Putusan MA yang memperkuat putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat tersebut menggunakan keterangan ahli Dr Ir Agus Guntoro (Universitas Trisakti), Dr Dodi Nawang Sidi (ITB), Ir M Sofian Hadi (pekerja ahli di BPLS), Prof Dr Sukendar Asikin (ITB), sebagai alat bukti. Padahal berdasarkan pasal 1886 KUHPerdata jo Pasal 164 HIR, keterangan ahli bukanlah alat bukti dalan hukum acara perdata umum. Sebelumnya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusannya No 384/PDT.G/2006/PN.Jkt.Pst. menilai dalam pertimbangan hukumnya bahwa semburan Lumpur Lapindo dipicu kekuranghati-hatian Lapindo dalam melakukan pemboran.
Hal ini dibuktikan oleh adanya laporan Audit BPK 29 Mei 2007 tentang kinerja Lapindo dan pemerintah di Blok Brantas. Dokumen BPK sudah jelas merupakan alat bukti akta otentik menurut standar pembuktian hukum acara perdata, yang mempunyai kekuatan hukum yang sempurna (Pasal 1870 KUHPerdata). Dalam perkara lumpur Lapindo ini, hukum bukan dientup tawon yang bisa menyehatkan, tapi menjadi hukum cebol diinjak gajah besar sehingga ringsek tak berdaya. Teori, postulat dan asas-asas hukum yang diajarkan di kampus-kampus telah menjadi barang rongsokan di hadapan kapital besar. Omong kosong.
Perkara lumpur Lapindo seharusnya dilanjutkan, SP3 itu harus dicabut. Bukti baru semakin banyak, selain bocoran dokumen Medco dari TriTech Petroleum Consultants Limited dan Neal Adams Services, juga ada konklusi para ahli pemboran internasional di Cape Town, Afrika Selatan pada 28 Oktober 2008. Ini cuma soal kemauan dan keberanian saja!
(dimuat koran Surya, 4 Pebruari 2010)
Langganan:
Postingan (Atom)