(Dimuat Jawa Pos Radar Jember, 12 Nopember 2010)
Pada 1 November 2010, Pengadilan Negeri (PN) Jember memberi keadilan kepada Sjahrazad Masdar. Melalui putusan majelis hakim yang diketuai hakim R. Hendral dalam perkara dugaan korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jember, Sjahrazad dinyatakan bebas.
Perkara Sjahrazad bermula saat ia menjadi Pejabat Sementara (Pjs) Bupati Jember. Pada Juli 2005, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jember periode 2004-2009, HM. Madini Farouq, mengajukan dana bantuan hukum (bankum) kepada Pjs Bupati Sjahrazad Masdar terkait perkara korupsi yang dihadapi anggota dewan. Uang bankum tersebut akan digunakan membayar jasa advokat.
Sjahrazad menjabat bupati Jember hingga 11 Agustus 2005. Uang bankum itu baru cair setelah Sjahrazad tidak lagi menjabat Pjs Bupati Jember dan prosesnya diajukan secara normatif melalui pembahasan Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) DPRD Jember, sesuai pengajuan tim anggaran, yang selanjutnya disahkan melalui APBD Jember.
Singkat cerita, Sjahrazad ketika menjadi Bupati Lumajang, ia diajukan ke PN Jember. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Sjahrazad Masdar melanggar pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Tuntutan JPU itu kandas di tangan PN Jember. Kini, JPU mengajukan kasasi.
***
Sjahrazad menyatakan, "Kesalahan saya adalah administrasi saja, yakni mendisposisi surat pimpinan DPRD Jember tentang permohonan dana bantuan hukum kepada Sekretaris Kabupaten Jember Djoewito. Itu saja.” (Antara.com, 3/11/2010).
Memang, Sjahrazad bersalah. Jika dana APBD boleh untuk membayar jasa advokat guna membela anggota dewan yang menjadi tersangka dan terdakwa korupsi, nanti para anggota dewan tersangka dan terdakwa perampokan dan pemerkosaan juga akan minta dana APBD untuk membayar jasa pengacara komersil. Kalau para pejabat dibenarkan menggunakan aji nunut uang negara dalam urusan pribadi, jadilah pemerintahan sesat. Prinsip pengelolaan keuangan daerah menurut PP Nomor 58 Tahun 2005 hanya akan menjadi peraturan memble.
UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 hanya mengenal personal crime (kejahatan pribadi) dan corporate crime (kejahatan korporasi), tidak mengenal institutional crime. Pejabat yang terlibat kasus korupsi itu urusan pribadinya, malah menjadi lawan negara, bukan malah dibiayai uang negara. Logika hukumnya kacau.
Secara faktual, dalam perkara-perkara korupsi bukan cuma norma hukum yang dibuat loyo. Norma agama juga digunakan untuk menjustifikasi kejahatan korupsi. Nama Allah SWT disebut gemuruh, bukan untuk melawan kejahatan korupsi, tapi membela korupsi dengan mengatasnamakan “kebenaran”.
Buya Syafi’i Maarif pernah melontarkan sindiran kenyataan perilaku para politisi yang “merasa benar di jalan yang sesat.” Dikiranya sedang lewat shirotal mustaqiim, tapi ternyata menuju neraka. Seperti halnya dalam Hadits Qudsi dikisahkan ada muslim taat ibadah yang mengira dirinya masuk surga, tapi ternyata dilemparkan ke neraka, karena dosa-dosa sosialnya.
Para ahli hukum kampus pun dikerahkan untuk membebaskan dakwaan korupsi. Apa perlu saksi ahli hukum, wong para hakim itu sendiri adalah para ahli hukum? Jika ada hakim bodoh hukum, hakim itu akan masuk neraka. Apalagi jika hakim dzalim, mengetahui kebenaran tapi tidak menghukum dengan benar, juga akan masuk neraka. Begitu Sabda Rasulullah SAW dalam Bulughul Maraam (1991: 746).
Hariyono Mintaroem pakar hukum Universitas Airlangga (UA) dan Adami Chazawi pakar hukum Universitas Brawijaya (UB), selaku saksi ahli perkara Sjahrazad, menerangkan bahwa surat keputusan (SK) dan nota dinas yang sudah ditandatangani oleh Sjahrazad pada saat yang bersangkutan menjadi Pjs. Bupati Jember merupakan perbuatan “percobaan pidana korupsi.” Keterangan saksi ahli hukum UA lainnya, Immanuel Sujatmoko menerangkan bahwa Sjahrazad tidak bertanggung jawab atas pencairan dana bankum tersebut.
Percobaan pidana menurut pasal 53 ayat (1) KUHP harus mengandung unsur “tidak selesainya pelaksanaan tindak pidana.” Padahal dana bankum benar-benar keluar yang prosesnya berawal dari SK dan nota dinas Sjahrazad (yang tak pernah dibatalkan), lalu penyusunan PAK, dan penganggaran di APBD. Niat, proses, dan akibat yang ditimbulkan sudah jelas. Tapi fakta-fakta rangkaian perbuatan korupsi itu dikaburkan dengan pendapat para ahli hukum yang berprofesi sebagai ahli bersaksi di mana-mana.
Lucunya, para ahli hukum itu membuat “ajaran sesat” di muka hakim dengan menyatakan bahwa “bukan perbuatan pidana jika tidak dilakukan berulang-ulang dan tindak pidana tidak dapat diwakilkan.” Jika begitu, kalau ada orang mencuri satu kali, tidak boleh dihukum? Kalau ada orang menyuruh orang lain mencuri, si penyuruh tidak dapat dihukum?
Jika begitu, silahkan mencuri, merampok, memperkosa, menggelapkan uang negara, asal dilakukan sekali, tidak berulang-ulang! Nanti kalau ternyata dihukum, tanyakan kepada para ahli hukum yang membuat teori itu! Jelas, teori itu hanya dipakai di pengadilan demi membela “klien” para ahli hukum itu. Bayangkan jika teori itu diajarkan di kampus, maka berapa banyak mahasiswa dan sarjana hukum yang tersesat!
Apa bisa memberantas korupsi di negara ini dengan berbagai cara pengkhianatan intelektual? Apa mungkin ada penegakan hukum yang serius dan bermoral? Apa bisa jika para pejabat publik yang ditugasi memberantas korupsi juga ikut korupsi? Pun kaum intelektual ikut-ikutan “dagang” hukum? Yah, tanya lagi, tanya lagi…..
Barangkali Gusti Allah SWT perlu turun tangan sendiri. Karena para ulama juga santai-santai, pandangannya mulai kabur, para mahasiswa pun banyak tidur. Ya, untuk sementara ini, dalam waktu yang cukup panjang, mari terus bermimpi bahwa negara ini akan terbebas dari korupsi!