Minggu, 15 Februari 2009

MAHA BANDIT DAN MALING KECIL

Hari ini ribuan korban Lapindo akan mendatangi Gubernur Jawa Timur yang baru, Soekarwo. Saya tak yakin Soekarwo akan mau menggunakan wewenang paksaan pemerintahan berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997 (pasal 25) dan UU No. 32 Tahun 2004 (pasal 13 jika nggak salah), agar Lapindo bertanggung jawab. Sulit! Sebab dia bukan muncul dari gerakan perlawanan rakyat, melainkan pelaku cerita kekuasaan kepanjangan tangan dari kekuasaan lama. Kecuali jika ada revolusi pemikirannya yang menjadikannya keluar dari pengaruh lingkungan kultur kekuasaan lama yang korup. Bertobat.
***

.... Saya ingat, suatu hari meminta seorang pensiunan anggota MPR untuk menjadi saksi perkara yang saya tangani di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Dia Pak Nur (nama samaran), terkejut ketika tanpa sengaja melihat perkara lainnya, ada orang kecil diadili gara-gara mencuri sebuah jam tangan seharga Rp. 40 ribu-an. Hari itu orang itu didakwa, hari itu juga diputuskan menjadi terpidana, dihukum empat bulan penjara. Sama dengan hukuman yang biasa dijatuhkan kepada terpidana penipu yang merugikan ratusan juta rupiah.

Pak Nur mengatakan baru kali itu melihat proses peradilan secara langsung. “Mengadili orang kecil lebih mudah dibandingkan dengan para bandit besar. Hanya butuh waktu sehari,” kata Pak Nur.

Pak Nur heran, mengapa kasus pencurian sebuah jam tangan seharga Rp. 40 ribu begitu mudah masuk ke pengadilan. Tapi mengapa kasus-kasus besar, termasuk penyimpangan uang negara, perusakan lingkungan hidup, kok sangat sulit masuk ke pengadilan? Jika masuk ke pengadilan harus dengan proses panjang, berbelit, dan tak jarang penjahatnya dibebaskan oleh hakim?

Hukum yang menjadi pedang sakti adalah senjata. Ia tergantung pada siapa yang menguasainya. Jika pedang sakti jatuh ke tangan para bandit, maka korban akan bergelimpangan di mana-mana. Jika pedang sakti itu berada di kekuasaan para pendekar penegak kebenaran dan keadilan, maka akan tegaklah keadilan dan kebenaran.

Para bandit yang berkuasa, dengan dasinya yang mewah, atau dengan kekuasaan formalnya yang menentukan, telah menguasai segala lini kekuasaan sosial. Kampus, pers, LSM, aparatur pemerintahan, dan sudut manapun telah dijadikan antek-antek yang menyuarakan kebenaran dan keadilan palsu, dalam rangka memperkokoh kekuasaan sang maha bandit. Bahkan para bandit jalanan pun adalah alat lain yang dipergunakan untuk mengintimidasi dan menghabisi para penentangnya.

Praktik hukum di negara ini, seperti yang saya lihat sehari-hari dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, telah memberikan pelajaran berharga bagi masyarakat. “Jika ingin menjadi bandit, jadilah maha bandit! Jika ingin menjadi maling, jadilah maha maling! Sebab menjadi maling kecil akan mudah dihukum, sedangkan menjadi maling besar cenderung dapat memperalat hukum. Jika pun harus dihukum, hanya sekadarnya untuk membohongi pikiran dan perasaan sosial.”

Apakah Anda tahu bahwa para bandit kakap yang dipenjara oleh hukum sesungguhnya telah mengendalikan hukum dari balik jeruji besi penjara yang mewah? Andai saya tidak tahu, Anda mungkin tahu!

Rakyat korban Lapindo dan rakyat Indonesia yang urunan dalam APBN untuk menanggung kewajiban penguasa dari penguasa negara, adalah korban yang bergelimpangan....

Surabaya, 16 Pebruari 2009.