Selasa, 29 Desember 2015

Misteri Hukum dan Watak Manusia

Para terdidik modern mengatakan bahwa Amerika Serikat (AS) itu negara demokratis dan China komunis itu otoriter. Tetapi Lewis Stanley tahun 2011 mengabarkan bahwa lebih dari 2,2 juta orang menjadi tahanan AS, dari sekitar 300 juta penduduknya. Diperkirakan 5 persen dari 2,2 juta tahanan itu adalah orang-orang tak bersalah. Tetapi di China hanya beberapa ratus ribu orang yang menjadi tahanan, padahal jumlah penduduk China sekitar Rp 1,3 miliar manusia. Bagaimana penilaian Anda tentang hal itu? Hukum China jelas berbeda dengan hukum Amerika.

Pesan Peter de Cruz yang ahli perbandingan hukum, jangan sesekali menggunakan ukuran “hukum Barat” (yang sekuler) untuk mengukur kebaikan hukum di negara-negara lain di dunia ini. Di Asia dan Afrika terdapat sistem hukum yang bersumber dari keyakinan masyarakatnya, dari hukum agama mereka.

Bagi Patrick Glenn, sebagaimana dikutip oleh Prof. Werner Mensky, Barat yang sekuler telah melakukan globalisasi (segala bidang) secara resmi di permukaan, tapi Islam juga melakukan globalisasi (Islamisasi) di bawah permukaan. Jika kedua kekuatan itu sulit untuk saling memahami maka terjadilah benturan peradaban sebagaimana diramal oleh Huntington. Di sisi lain ada kekuatan besar yang tak dapat diremehkan, yaitu China.

Itulah makanya Mensky melakukan studi perbandingan hukum global, mempelajari sistem hukum Barat, Hindu, Islam, Afrika dan China. Seluruh sistem hukum tersebut berinteraksi. Orang yang menilai hukum adat dan hukum agama lebih buruk dibandingkan hukum sekuler, ibaratnya adalah seperti orang yang melihat lautan dari permukaannya, belum tahu kedalamannya, apalagi dasarnya. Sama halnya mereka melihat hukum sekuler hanya dari perilaku para polisi, advokat dan hakim. Apakah kebaikan hukum dapat dilihat dari sumbernya?

Sebenarnya filsafat hukum tidak akan pernah tuntas dalam membahas dan menjawab pertanyaan: “Dari mana asal-usul atau sumber hukum itu?” Selama ini filsafat hukum menjawab bahwa ada dua sumber atau asal-usul hukum, yakni dari Tuhan dan dari pemikiran manusia itu sendiri.

Tentu saja, orang-orang yang berkeyakinan tentang Tuhan yang mengatur kehidupan ini, akan merasa benar dengan pendapatnya bahwa sumber hukum adalah hukum Tuhan. Sebaliknya, kelompok pemikiran yang lain, mereka yakin dengan kebenaran bahwa hukum itu dibuat oleh manusia, sehingga sumber hukum adalah pemikiran manusia itu sendiri.

Mereka yang percaya bahwa sumber hukum adalah Tuhan, terbagi dalam pendapat yang berbeda pula. Terbukti bahwa terdapat bermacam-macam agama yang dalam hal tertentu punya aturan hukum yang sama, tapi juga banyak berbeda dalam aturan yang lainnya. Aturan agama juga membutuhkan penafsiran. Dalam penafsiran tersebut rentan dengan relativitas kebenaran atau kekeliruan. Jika Tuhannya sama, mengapa orang-orang Kristen bebas makan daging babi, tapi umat Islam diharamkan makan daging babi? Masak Tuhan kok diskriminatif dalam hal yang sama?

Itulah misteri manusia. Misteri yang tak akan dapat terpecahkan di sepanjang jaman. Manusia sudah melalui jaman nabi Nuh, nabi Ibrahim, nabi Musa, nabi Daud, Ramayana dan Mahabarata, Alexander Agung, Yesus (nabi Isa a.s.), nabi Muhammad s.a.w., perang dunia I dan perang dunia II, hingga sekarang.

Kan’an, putera Nuh itu telah berselisih menetang keyakinan hukum ayahnya, hingga perselisihan itu berakhir dengan kematian Kan’an yang tenggelam. Kan’an menganggap aturan Nuh, ayahnya itu irasional. Bagaimana masuk akal wong orang hidup di daratan kok harus menyiapkan bahtera alias kapal besar? Rezim Firaun Ramses II menerapkan hukum yang ditentang Musa, juga berakhir dengan konflik dan kematian. Hukum Bibel / Injil Isa (Yesus) bertentangan dengan hukum rezim Romawi dan tafsir hukum Taurat para pemuka agama Yahudi. Para Kurawa berselisih dengan Pandawa dalam hukum Hindu memunculkan kisah Mahabarata yang bernuansa “terbunuh atau membunuh”.

Peristiwa persekongkolan hukum gereja dengan kaum ningrat di Eropa abad kegelapan memunculkan ketidakpercayaan atas hukum agama, menghinggapi pemikiran manusia-manusia modern membuat mereka mengusahakan gagasan baru yang kerap disebut sebagai sekulerisme. Hukum harus muncul dari kesepakatan warga seperti yang dikemukakan Rousseau dalam Teori Kontrak Sosial yang dibuatnya. Sampai-sampai Marx menyindir, agama adalah candu sosial. Maksudnya: Mengapa perilaku para pemuka gereja waktu itu malah membuat kacau masyarakat?

Tapi rupanya teori hukum sebagai Kontrak Sosial itupun juga hanya gagasan utopis. Hingga saat ini yang masih tetap terjadi adalah bahwa hukum itu ditetapkan oleh para penguasa, meskipun mungkin mereka dalam beberapa hal mendengarkan aspirasi-aspirasi. Namun, aspirasi yang ditampung juga tidak mungkin utuh, sebab masyarakat sendiri juga berbeda dan bahkan bertentangan aspirasi mereka.

Di jaman modern yang konon berdiri di atas sendi-sendi demokrasi ini ternyata memunculkan kekuasaan tirani baru yang disebut tirani korporasi yang sanggup menguasai dan membunuh jutaan manusia dengan cara-cara yang sistematik yang bahkan tak dirasakan para korbannya. Tirani korporasi itulah yang mendikte kepada negara-negara di dunia harus menyusun hukum yang bagaimana. Tirani korporasi juga mengerahkan kekuatan orang-orang terdidik guna mendukung doktrin-doktrin hukum modern yang menguntungkan mereka. Lalu apakah hukum sekuler itu lebih bagus dan lebih adil bagi manusia di dunia dibandingkan dengan hukum agama (yang juga ditafsirkan secara sekuler / oleh manusia di muka bumi)?

Kita dapat melihat sejarah yang telah digelar dari jaman kuno dahulu hingga sekarang, ternyata misteri karakter manusia mempunyai kecenderungan yang sama, yakni terdapat karakter jahat yang bertarung melawan karakter benar. Tapi pihak mana yang jahat dan pihak mana yang benar, itu juga tergantung sudut pandang orang-orang yang melihatnya. Pengarang kisah Mahabarata mungkin mengarahkan pandangan kita bahwa Kurawa itu jahat dan Pandawa itu mulia. Tapi apakah keliru jika orang-orang lain mempunyai cara pikir yang berbeda dalam menilai kisah tersebut, bahwa ternyata Kurawa dan Pandawa itu dinilai sama-sama jahatnya? Namun, apakah kejahatan mereka dapat diselesaikan dengan cara-cara hukum yang damai? Bagaimana jika karakter jahat mereka tidak dapat dilenyapkan padahal masyarakat membutuhkan kedamaian segera dengan tanpa ada mereka?

Ada kejahatan yang memang dipandang secara universal sebagai kejahatan. Membunuh orang, itu kejahatan. Berbisnis narkotika, itu kejahatan. Meneror manusia, itu juga kejahatan. Merusak ekologi juga kejahatan. Pertanyaannya, apakah para pelaku kejahatan tersebut mempunyai kecenderungan yang sama bahwa mereka memang para penjahat yang tak dapat dientaskan dari watak jahatnya? Jika memang ada penjahat yang dapat dientaskan dari watak jahatnya, ada berada persen angkanya? Ini juga misteri.

Orang-orang modern mulai memunculkan gagasan penghapusan terhadap bentuk hukuman mati, sebab nyawa itu hak Tuhan. Hukuman mati itu melanggar hak asasi manusia (HAM), sebab hak hidup tak dapat dikurangi, bahkan oleh hukum itu sendiri. Begitu pula hukuman cambuk juga dikritik sebagai hukuman yang tidak manusiawi.

Bagi mereka yang mempertahankan bentuk hukuman mati berargumen, pertama,  bahwa hukuman mati itu dikenal dalam Kitab-kitab Suci agama sehingga Tuhan sendirilah yang menetapkan adanya hukuman mati itu. Manusia tinggal menyalin dalam Kitab Undang-Undang yang mereka buat. Kedua, hukuman mati itu sudah dirumuskan dalam undang-undanga. Maka orang yang melanggarnya sama saja dengan membunuh dirinya sendiri. Sudah tahu ada rambu dilarang masuk jurang kok tetap masuk jurang, ya akhirnya masuk jurang.

Konon, konsep baru dalam hukum pidana adalah mengubah cara pandang kepada para penjahat. Hukum pidana tak lagi memidana para penjahat, tapi membinanya. Makanya lembaganya disebut Lembaga Pemasyarakatan. Mungkin suatu saat nanti Hukum Pidana akan diganti namanya dengan Hukum Pembina. Para penjahat yang telah dinyatakan bersalah oleh Hakim tidak lagi disebut sebagai terpidana, tapi menjadi Terbina. Itu memang menjadi menarik. Apakah usaha-usaha sekulerisasi hukum itu kelak akan membuahkan hasil yang lebih baik? Kelak sejarah akan menyimpulkan itu.

Namun ada fakta-fakta sosial yang agaknya menarik diamati. Di negara Bhutan konon hukum agama Budha dipatuhi sedemikian rupa hingga para kecoakpun hidup aman dan damai sebab warga Bhutan pantang membunuh binatang, apalagi manusia, kecuali manusia yang berbuat kejahatan berat. Tapi di Myanmar ada kasus Rohingnya yang sangat kasar di mana terjadi pembantaian kepada umat muslim. Dahulu di Bali, meski banyak orang mabuk arak, tapi tidak ada orang Bali yang berbuat kejahatan mencuri, apalagi membunuh. Pencuri yang tertangkap kebanyakan dari luar Bali. Itu karena warga Bali taat dengan hukum adat mereka. Hukum adat Bali merupakan hukum agama di Bali, yakni Hindu. Hukum agama yang menjadi substansi hukum adat, ditegakkan oleh sistem adat. Tapi sekarang orang Bali yang menjadi pejabat di luar Bali ya mulai ada yang dihukum karena korupsi.

Ada teori yang terkenal dalam ilmu hukum, yakni bahwa hukum resmi negara itu dibutuhkan masyarakat karena norma-norma selain hukum, yakni norma kesusilaan dan agama sudah tak lagi efektif. Seandainya norma kesusilaan dan norma agama serta norma adat tersebut efektif, dipatuhi masyarakat, maka tidak diperlukan hukum negara, sebab masyarakat sudah tertib dan damai dengan sendirinya. Tapi bukanlah itu juga hanya hayalan, sebab semakin manusia modern semakin sekuler dan merasa bahwa mereka harus menciptakan sendiri hukum demokratis yang rupanya juga hanya menjadi utopia?

Selamat menempuh jalan misterius dunia yang dalam perkembangan hukum sekulernya telah memodifikasi perlawanan kepada kejahatan menjadi solidaritas dan kebaikan kepada “para terbina.” Pertanyaannya adalah: solidaritas itu sebagai nilai kemanusiaan ataukah sebagai solidaritas terhadap sesama penjahat? Sebab, kadang “mengawani” kejahatan dapat menghentikan atau mengubahnya, atau sebaliknya dapat pula dianggap sebagai bagian dari kejahatan itu. Karena tak ada satupun manusia yang dapat memprediksi, apakah para penjahat dapat diakhiri kejahatannya dengan kebaikan dan solidaritas.

Para ahli hukum yang bijaksana selalu menekankan nasihat, biarkan masyarakat yang menentukan hukum mereka sendiri, apakah memilih hukum sekuler ataukah hukum agama. Jika terdapat perselisihan pendapat ya biar diselesaikan dengan cara yang arif oleh masyarakat itu sendiri, jika perlu dengan pemungutan suara. Tak semua pihak dapat dipuaskan. Tapi pelaksanaan hukum yang adil bagi semua golongan akan menciptakan keadaan baik karena masyarakat pada umumnya puas dengan keadilan yang diberikan. Apakah yang diberlakukan hukum sekuler ataukah hukum agama atau hukum adat, baik buruknya akan ditentukan oleh bakat keadilan para penegak hukum dan penyelenggara negara. Tapi apakah itu bisa terwujud mengingat bahwa transformasi tirani negara ke tirani korporasi yang terus berlangsung secara lebih hebat? Kekuasaan apapun tak pernah membiarkan dirinya mudah dilucuti, yang dengan demikian demokrasi pun menjadi budak tirani itu sendiri.

Kini yang memprihatinkan adalah lenyapnya pelajaran Hukum Antar Golongan, sehingga pertarungan mazhab hukum sekuler dengan hukum alam menjadi semacam permusuhan. Padahal hukum agama dapat dilaksanakan oleh para pemeluk mereka sendiri yang menghendaki aspirasi tersebut, dengan diatur oleh Hukum Antar Golongan yang dipergunakan untuk menyelesaikan perselesihan berlakunya hukum yang berbeda. Ini menjadi penting, sebab usaha-usaha uniformisasi (penyeragaman) hukum yang berbaju pluralisme adalah hal yang justru menghina realitas pluralisme hukum itu sendiri.   

Jumat, 11 Desember 2015

KORUPKRASI

Mendiang Prof. Muchsin (dosen dan Hakim Agung) dalam sebuah kelas perkuliahan pernah berkata kepada kami, katanya jaman dahulu ia menjadi calon anggota DPR berkeliling kampanye ke daerah-daerah, tidak mengeluarkan uang untuk diberikan kepada warga. Sebaliknya ia malah diberi “sangu” oleh warga. Tapi jaman sekarang sudah terbalik, para calon anggota parlemen atau calon kepala daerah yang berkeliling kampanye dengan membagi-bagi uang atau barang. Kini ongkos demokrasi kian mahal.

Kini, partai politik (parpol) makin pintar berdagang. Jika ada kader luar parpol pengin menjadi calon kepala daerah, maka harus membayar “uang mahar.” Nggak peduli itu parpol berlabel nasionalis atau agamis, sama saja.

Saya pernah membela seorang calon kepala daerah yang gagal dalam pemilu kepala daerah (pemilukada) yang digugat oleh parpol pengusungnya dengan alasan bahwa ia masih mempunyai kewajiban membayar uang komitmen kepada parpol pengusungnya yang notabene parpol berasaskan Islam itu. Padahal si calon bupati gagal itu sudah merogoh kocek miliaran rupiah untuk biaya macam-macam termasuk biaya meminta rekomendasi kepada pengurus pusat parpol itu. Untungnya Hakim menolak gugatan parpol itu dengan alasan yang masuk nalar, yaitu: “Demokrasi berbiaya tinggi akan menjadikan kepala daerah terpilih tidak fokus mengurus tugas jabatannya karena akan berusaha mengembalikan modal politiknya.” Selain itu, tradisi demokrasi berbiaya tinggi akan menyingkirkan orang-orang yang potensial menjadi pemimpin atau wakil rakyat karena tidak punya uang.

Nah, problem demokrasi berbiaya tinggi itulah yang dijadikan alasan segenap parpol untuk mengajukan usulan di DPR agar disusun undang-undang yang memberikan landasan hukum agar ada anggaran negara yang disumbangkan ke parpol. Parpol-parpol dibiayai oleh negara. Masyarakat menentang itu. Apakah benar jika parpol-parpol dibiayai negara lalu itu akan mengurangi korupsi?

Belum tentu. Mengapa? Sebab ini bangsa serakah. Dalam teori yang normal, watak korup birokrasi dapat dikurangi dengan menambah gaji para birokrat atau pegawai negara/pemerintah. Cara itu sudah pernah ditempuh sejak era presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan SBY. Tapi kini korupsi tetap jalan, bahkan menggila. Suap-menyuap dalam penegakan hukum kian liar. KPK kewalahan. Bahkan KPK berkali-kali digedor-gedor hingga temboknya jebol, pondasinya dicoba dibongkar oleh mafia koruptor.

Larangan agama bukan lagi menjadi hal yang ditakuti. Tuhan dibayangkan sebagai sosok yang toleran dengan sogok-menyogok, gratifikasi, penggelapan, penipuan, asal pelakunya mencuci duitnya dengan umroh, naik haji, menyumbang masjid dan panti asuhan. Kegelapan dibayangkan oleh mereka itu sebagai keadaan yang dapat diterangi dengan cara menggunakan kegelapan itu sendiri untuk menjadi penyulut lampu penerang. Mana bisa? Tuhan dalam Quran pun melarang cara busuk itu dengan ayat “Janganlah kalian mencampur-aduk antara yang haq (kebenaran) dengan yang bathil (ketidakbenaran)….!” (Al-Baqoroh: 42).

Mungkin mereka – bagi yang muslim - menerjemahkan akidah Islam sebagai sesuatu perkara yang berdiri sendiri. Padahal misi tunggal Nabi Muhammad adalah “muliaisasi akhlak” alias mengusahakan agar akhlak umat manusia menjadi baik. “Aku tidak diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlak mulia.” Itu kalimat yang sudah jelas. Banyak orang menafsirkan Islam itu sebagai sekadar ikrar dan pengakuan, tanpa melihat apakah ada bukti secara akhlak. Maka dalam memilih pemimpin pun mereka cenderung pada pengakuan dan KTP yang memuat apa agamanya. Padahal pengakuan itu bisa palsu. Kepalsuannya dapat dilihat dari tingkah laku yang dominan pada diri orang itu. Meskipun mengaku sebagai muslim, shalatnya tampak tekun, tapi jika kelakuannya didominasi oleh sikap dan tindakan yang berlawanan dengan prinsip-prinsip moral Islam, maka pengakuannya itu palsu. Mana bisa disebut muslim jika berangkat naik haji dan umroh dari uang suap atau gratifikasi atau bentuk korupsi lainnya atau hasil menipu atau menggelapkan atau hasil kejahatan lainnya?

Saya tidaklah menentang pemilihan para kepala daerah secara langsung. Tetapi dalam konsidi pemerintahan yang korup (korupkrasi) seperti di Indonesia ini, pemilihan umum sebenarnya sama halnya berjudi. Kita mencari orang baik yang hanya sekitar 10 sampai 15 persen dari seluruh calon pemimpin yang ada. Sementara uang negara yang dikeluarkan untuk itu amatlah banyak jika ditinjau dari kemampuan anggaran negara yang ada yang masih terjerat dengan utang-utang yang kian menggunung.

Apakah kita tidak bertanya kepada rakyat secara langsung, agar tidak menjadi politik hukum yang cuma didominasi oleh ide kelas terdidik saja, apakah dalam kondisi seperti ini pemilukada tetap akan kita jalankan? Ada pula kecenderungan angka golput yang tinggi secara rata-rata sehingga hampir separoh kertas suara yang dibeli dengan uang negara itu dibuang sia-sia.

Coba tanyakan kepada rakyat di masing-masing daerah secara langsung. Jika mereka mayoritas menjawab bahwa pemilukada tidak perlu dilakukan, bagaimana jika para kepala daerah ditetapkan oleh MPR yang banyak nganggurnya itu? Atau dengan cara bagaimana baiknya? Tentu dengan amandemen UUD 1945 setelah meminta pendapat rakyat. Cara yang dipilih oleh rakyat itu juga jalan demokrasi.

Selama ini pun amandemen UUD 1945 dan penyusunan berbagai undang-undang yang menyangkut pemilu masih merupakan politik hukum yang elitis, memandang rendah pendapat rakyat pada umumnya, seolah-olah hanya kaum terdidik yang paling pintar. Ujung-ujungnya hanya menciptakan dasar hukum politik komersiil yang dijalankan oleh partai-partai politik. Apalagi tradisi demokrasi berbiaya tinggi juga melibatkan uang korporasi selaku donatur politik yang akhirnya ikut-ikutan mendikte pemerintahan terpilih. Setiap presiden Indonesia yang terpilih pun akhirnya juga punya agenda politik balas budi kepada tim sukses mereka yang didanai korporasi-korporasi atau para pengusaha.

Seharusnya jalannya demokrasi Indonesia itu berada dalam laboratorium besar yang mandiri, bukan sebuah laboratorium raksasa yang didanai oleh kekuasaan uang yang sering mendikte kehendak bangsa. Dalam laboratorium itulah berbagai eksperimen dengan niat positif dilakukan, hingga suatu saat menemukan formulanya sendiri yang cocok bagi bangsa ini. Bukan sekedar ikut-ikutan cara bangsa lain yang berarti kita ini tidak kreatif.