Rabu, 24 September 2014

Kebenaran

Ini bukan sebuah ulasan filsafat. Ini hanya obrolan di warung Bu Kasbun. Adalah Anas Urbaningrum yang menantang pengadilan untuk bersumpah bermubahalah. Ia divonis penjara 8 tahun dan harus membayar uang ganti rugi kepada Negara sebesar Rp  57.590.330.580,- dan 5.261.070,- dollar AS. Para hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang menghukumnya menolak tantangan Anas tersebut.

Apa itu sumpah muhabalah? Sumpah mubahalah adalah sumpah kutukan guna mengakhiri perselisihan. Sejarah sumpah muhabalah terjadi pada saat Nabi Muhammad bertemu dengan utusan Nasrani Najran yang membantah kisah tentang Nabi Isa AS yang diterangkan oleh Nabi Muhammad.
Tentu saja bahwa karena kebenaran tentang hal tersebut diliputi oleh keyakinan, maka tidak dapat diselesaikan dengan kesepakatan apapun, dan tetap menjadi perbedaan opini. Akhirnya turunlah ayat 61 surat Ali Imron yang menyatakan, “Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la'nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.”

Akhirnya para utusan Nasrani Najran tersebut tidak berani mengadakan sumpah muhabalah tersebut, sehingga perselisihan diakhiri dengan cara itu, tanpa perlu ada caci maki dan kebencian. Apakah para utusan Nsarani Najran yang menolak sumpah muhabalah tersebut berarti ragu-ragu dengan kebenaran yang mereka yakini? Belum tentu. Bisa jadi mereka tidak mau ada di antara yang bersumpah mubahalah tersebut ada yang celaka akibat sumpah itu. Namun, dalam kebenaran yang diyakini Islam, penolakan sumpah mubahalalah oleh para utusan Nasrani Najran tersebut dipergunakan sebagai bukti bahwa mereka tidak yakin terhadap kebenaran yang mereka yakini.

Lalu, apakah para hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang menolak tantangan sumpah mubahalah Anas tersebut ragu dengan vonisnya? Kubu Anas bisa saja menafsirkan begitu, tapi para hakim itu bisa jadi dalam hati mereka mengandung sikap, “Buat apa ngurusi tantangan orang iseng!”

Kebenaran tentu didasarkan pada ukuran-ukuran. Orang membunuh orang lain dinilai melanggar kebenaran atau tidak benar, dengan ukuran moral dan hukum. Logika juga harus mendasarinya. Tetapi perbuatan membunuh orang lain dibenarkan dalam perang, dengan persyaratan hukum tertentu. Ukurannya adalah hukum. Hukum itu terutama karena menjadi kesepakatan bersama. Lalu bagaimana jika hukum yang dilaksanakan belum menjadi tolok ukur yang disepakati?

Sekitar 70 juta orang Indonesia memilih Joko Widodo sebagai presiden, karena berdasarkan pertimbangan kebenaran yang diyakini mereka. Sekitar 62 juta orang Indonesia memilih Prabowo sebagai presiden, juga berdasarkan kebenaran yang mereka yakini. Apa tolok ukur kebenaran yang mereka yakini? Sejarah, jejak rekam, keyakinan, karakter orang yang dipilih, estimasi masa depan, dan timbangan-timbangan lainnya.

Selanjutnya perlu dipertanyakan, apakah tolok ukur yang dipakai sebagai dasar menentukan kebenaran itu sudah benar, ataukah ada yang tidak benar? Lalu menggunakan timbangan apa untuk menjawan pertanyaan tersebut?

Ternyata kebenaran manusia tidak bersifat absolut. Manusia tidak dapat menentukan bahwa apa yang diyakini sebagai kebenaran itu adalah telah benar-benar telah benar. Oleh sebab itulah, terdapat alasan bahwa fanatik terhadap kebenaran yang diyakininya saat ini, tanpa terus berusaha menggali kebenaran itu sendiri, adalah  sikap dan sifat yang tidak manusiawi. Manusia yang fanatik dengan kebenaran yang diyakininya sendiri sedang berusaha menjadikan dirinya sebagai pencipta kebenaran, yang artinya sedang berusaha memakai pakaian Tuhan.

Tetapi ada banyak manusia yang tidak pernah bertanya kepada dirinya sendiri, “Mengapa aku hadir di dunia, dan dengan maksud apa? Mengapa kehadiranku di dunia harus terjadi dan tak ada yang mampu menolaknya? Lalu bagaimana keadaan dunia setelah aku meninggalkannya? Ke mana perasaan hidupku setelah aku mati jasad, sebagaimana aku di setiap tidurku tidak memiliki perasaan hidup tapi ternyata aku masih hidup? Mengapa aku dalam tidur pernah bermimpi mengalami sesuatu yang seolah-olah sangat benar adanya, dan ternyata setelah aku sadar bangun dari tidur ternyata mimpi itu bukan kenyataan? Mengapa yang terpilih menjadi presiden Indonesia ke-7 adalah Jokowi, kok bukan Thukul atau Prabowo?”

Ada banyak manusia yang tak berdaya menolak peristiwa yang menimpa pada dirinya sendiri yang tidak mereka kehendaki. Ada banyak pula manusia yang tidak pernah menyangka menerima sesuatu yang membahagiakan yang itu bukan hasil usahanya.

Dengan membiarkan kebencian terhadap kebenaran menurut orang lain yang saat ini tidak diyakini sebagai kebenaran versi kita, maka sesungguhnya kita telah meremehkan masa depan.
Kamu boleh tidak percaya Tuhan, tapi pasti tak dapat memastikan bahwa Tuhan benar-benar tak ada. Kamu boleh memastikan Tuhan itu ada, tapi tak pernah bisa memastikan Tuhan pasti ada. Lha wong perjalananmu tidak pernah mampu menembus tata surya matahari yang hanya setitik noktah dari alam semesta ini, kan?

Bagaimana kamu dapat menembus banyaknya kebenaran-kebenaran yang berada di kantong super raksasa semesta yang tak terhingga batasnya ini?