Sabtu, 07 September 2013

ANDAIKAN NAMAKU ABDULLAH ATAU MUHAMMAD

Konon, ketika masih belum ada listrik, dalam malam gelap yang hanya diterangi lampu minyak temaram, lahirlah bayi dari rahim ibu yang sedang ditinggal suaminya. Suaminya sedang berada di dalam penjara karena tertangkap mencuri kayu di hutan untuk menyambung hidup yang miskin. Lalu ibu tersebut memberi nama bayi itu: Subagyo. Itulah aku. 

Aku lahir dari orang tua yang tidak pernah sekolah, di lingkungan masyarakat miskin abangan, di desa di tengah hutan jati. Namanya Desa Banggle, dalam wilayah kabupaten Nganjuk. Oleh sebab itulah nama pemberian ibuku adalah Subagyo. Itupun masih beruntung, karena bapakku bilang, “Andaikan aku yang memberi nama, akan saya beri nama Sarmin, sebab ibumu bernama Sarmi.” Dengan berkelakar dalam hati aku mikir, “Untung saat aku lahir kok bapakku di dalam penjara. Jika ada bapakku maka kini namaku Sarmin. Wah, masih lebih bagusan nama Subagyo. Hehehe.....”

Subagyo itu nama Jawa. Katanya, Su artinya baik. Bagyo itu bahagia. Saat aku masih anak SD, Pak Parlim, tetanggaku yang pegawai Perhutani itu bilang, “Kamu akan menjadi bahagia karena kebaikanmu.” Aamiin. Andaikan saja aku dilahirkan dari orang tua muslim yang mendapatkan pendidikan agama Islam, mungkin saja namaku bukan Subagyo, tapi Abdullah atau Muhammad.

Meski di masa kecilku nakal, suka berkelahi, tetapi kata ibuku, sejak aku remaja digolongkan “anak yang manut, tidak punya tingkah.” Hanya, karena cita-citaku berseberangan dengan kehendak ibuku, akhirnya aku minggat keluar dari desaku.

Ibuku merasa jadi orang miskin yang tidak mampu membiayai sekolahku. Bahkan untuk bisa sekolah SMP saja aku harus bekerja berjualan kayu bakar. Aku ngotot pengin sekolah. Setelah lulus SMP, keinginanku untuk meneruskan ke SMA tak terbendung siapapun. Tuhan menolong aku dengan adanya orang-orang yang bersedia menerimaku untuk disekolahkan. Kisahnya panjang dan tidak mudah. Untuk bisa lulus SMA saja butuh waktu 5 tahun, karena keluar masuk sekolah, berpindah-pindah. Saya selalu menyalahkan diri-sendiri, anak muda miskin yang suka memberontak, tidak punya mental lebih sabar menjalani hidup.

Saya belajar agama lebih banyak secara otodidak. Namun untuk bisa membaca Al-Quran saya sudah mampu sejak masih SD, diajari oleh guru ngaji di desaku bernama Pak Abdul Haji. Guru ngaji di desaku itu benar-benar ibadah, tanpa upah. Beliau itu petani yang menjadi pemuka agama di desaku, menggantikan ayahnya yang sudah meninggal.

Setelah SMA saya banyak membaca buku agama milik orang tua asuhku. Selain itu juga dipinjami buku-buku agama Islam oleh kepala sekolah SMA-ku yang notabene beliau itu beragama Katholik. Jadi, kalau Anda mencurigai orang Kristen melakukan kristenisasi, saya justru punya pengalaman ada orang tua Katholik yang menginginkanku lebih bisa memahami agama Islam dengan meminjami aku buku-buku Islam. Namanya Pak John Deru Moy. Buku yang dipinjamkan ke aku salah satunya adalah buku karya Bey Arifin berjudul “Hidup Sesudah Mati” yang juga mengupas teori para filsuf kuno, termasuk Ariestoteles.

Belajar agama Islam dari berbagai macam buku, termasuk memahami sejarah perkembangan Islam, mengapa muncul firqoh-firqoh atau aliran Sunni, Syiah, Ahmadiyah, membuat saya tidak bisa lagi mengidentifikasi apakah saya ini muslim Sunni atau Syiah. Saya memutuskan bahwa saya adalah muslim tanpa aliran, sebab Islam-nya Nabi Muhammad adalah Islam yang tidak Sunni atau Syiah atau Ahmadiyah atau apapun.

Saya juga “mengaji” Kitab Injil milik keluarga Victor Sibarani, orang tua asuh saya di Surabaya. Pada waktu SMA saya juga dianggap keluarga oleh keluarga Protestan, keluarga dari teman karib saya Sanry Baralay yang sudah saya anggap saudara. Saya punya pengalaman khusus, bahwa para keluarga Kristen itu tidak pernah menyentuh iman saya agar saya memeluk Kristen. Bahkan mereka sangat menghormati saya sebagai muslim. Makanya jika ada orang yang curiga begini begitu tentang kristenisasi, saya bertanya, “Sampai seberapa jauh kekuatan akidahmu hingga mencurigai orang lain akan mampu mempengaruhimu?” Bertahun-tahun saya diasuh oleh keluarga Kristen, dan mereka sangat menghargai akidah saya. Itu pengalaman pribadiku.

Ada satu hal “kebengalan saya” dalam bersikap terhadap keluarga-keluarga Kristen itu, yakni: saya tidak pernah mau mengucapkan “Selamat Natal” kepada mereka. Saya jelaskan kepada mereka, “Iman Islam dengan iman Kristen dalam memahami Yesus atau Isa itu berbeda. Kami tidak menganggap beliau sebagai Tuhan. Jika saya memberi ucapan selamat Natal maka saya sama halnya mengakui kelahiran Tuhan, padahal menurut saya Isa itu Rasulullah, bukan Tuhan.” Ternyata, subhanallah, mereka para keluarga Kristen itu memahami sikap dan pendirianku itu. Hubungan kami tetap baik.

Tapi, akhir-akhir ini setelah makin tua, saya berubah pikiran. Apa salahnya saya sekadar basa-basi untuk menjalin hubungan baik. Toh iman itu ada di dalam hati. Niat saya mengucap Selamat Natal bukan untuk mengakui Isa sebagai Tuhan, tapi untuk memberi selamat perayaannya saja. Maka saya modifikasi bukan Selamat Natal, melainkan Selamat Merayakan Natal. Bagi mereka, kedua istilah itu tidak ada masalah.

Dalam pergaulan masa muda dengan para teman-teman Kristen terkadang juga terjadi perdebatan akidah yang seru. Tetapi ujungnya akan sama, bahwa kita sama-sama belum pernah bertemu dan bicara dengan Tuhan secara langsung. Oleh sebab itulah bahwa akidah itu tidak usah diperdebatkan, sebab itu berada dalam wilayah “keyakinan” dan bukan ilmu pengetahuan dunia. Perkara bahwa Kitab Al-Quran memuat dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi maka dalam muatan akidah (keimanan) tidak layak dibenturkan dengan akidah agama lainnya. Jelas tak akan ada ujungnya sampai matipun.

Dengan menyandang nama “Subagyo”, nama Jawa abangan ini, ketika menulis artikel (di blog Kompasiana) yang bernada kritik terhadap pragmatisme dan kedangkalan pikir kelompok-kelompok Islam di Indonesia dalam gerakan mereka, (seperti contohnya kasus petinggi PKS yang terbelit korupsi kuota impor daging sapi, maupun korupsi petinggi PPP, juga mengritik bagaimana gerakan Islam hanya mengurusi soal-soal permukaan seperti cara berpakaian, ajang Miss World), ada yang menilai kritik saya itu sebagai memihak Kristen, memihak PDIP, turut mengerdilkan Islam, turut mendukung pelacuran. Artikel-artikel saya dinilai tendensius.

Apakah mungkin akan beda jika sekiranya nama saya itu Abdullah atau Muhammad? Mungkin menurut mereka, nama-nama yang tidak “Arab” itu tidak islami? Sehingga kelihatan memusuhi Islam? Dikiranya muslim gadungan? Ya ya ya.... Mungkin saya memang harus belajar untuk MEMAHAMI TUDUHAN-TUDUHAN ITU.

Sekaligus saya semakin meyakini bahwa apabila slogan agama dijadikan alat politik maka semakin besar kerusakan dalam beragama, terjadi kesesatan yang makin jauh, sebab kecenderungan penyimpangan politik itu menjadi realitas tak terbantahkan. Bagaimana tidak, lha wong sudah jelas-jelas patronnya korupsi masih saja dibela dengan membuat tuduhan ngalor-ngidul yang makin membuat mereka tampak kehilangan pegangan?