Selasa, 27 Desember 2011

Kekerasan, Provokator dan Robohnya Negara


Ketika kita mendengar dan melihat robohnya jembatan di Kutai Kartanegara, tentu ada yang membuat kita menjadi sangat malu, hal yang tak bias kita rasakan. Mengapa? Sebab, bangunan jembatan penjajah Belanda jauh lebih perkasa dan kuat. Mengapa? Sebab, rezim pemerintahan saat ini yang penuh dengan maling, menjadi parasit yang menggerogoti pembangunan.

Negara ini dibangun dalam jangka waktu yang panjang, penuh dengan pengorbanan darah, waktu, harta dan jiwa para pahlawan kita yang tercatat dan tak tercatat. Sekurang-kurangnya tujuan bangunan negara ini termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

Uang negara bukan hanya dikorup, dengan tingkat korupsi yang amit-amit jabang bayi. Tapi juga dibelikan senapan serta peluru untuk menghabisi nyawa rakyat kecil dengan dalih ketertiban umum. Para polisi saat ini arogansinya telah melebihi militernya tentara, sejak kepolisian dipisahkan dengan TNI pada pemerintahan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Kepolisian diselamatkan posisinya oleh pemerintahan sipil, tapi kini menghajar rakyat sipil. Bagi mereka tak ada utang budi kepada rakyat sipil. Jika dahulu perusahaan tambang-tambang besar menggunakan tentara sebagai pengamanan kini digantikan dengan pasukan polisi. Ini termasuk konsekuensi dari pengembalian fungsi keamanan negara. Tentara mengurus pertahanan negara meski terkadang masih ditemui adanya tentara bentrok dengan warga masyarakat.

Blokade yang dilakukan warga masyarakat biasanya bukan merupakan jalan pertama, setelah mereka mengalami kebuntuan jalan formal. Dalam kasus lumpur Lapindo contohnya dilakukan penutupan jalan raya Porong setelah hak-hak mereka diabaikan, nasibnya diterlantarkan, padahal mereka telah berkirim surat, mengadu ke DPRD, ke Bupati dan sebagainya.

Bagaimanapun juga bentrok dalam kasus Mesuji, Bima, kasus buruh di Batam dan Papua, serta di lain-lain tempat yang tak termediakan, merupakan pertarungan hegemoni antara warga masyarakat yang memperjuangkan hak mereka dengan perusahaan-perusahaan besar yang selama ini berkuasa di atas hukum dalam perjuangan mereka meraih kekuasaan ekonomi yang sebesar-besarnya. Bukan rahasia lagi bahwa mereka mempunyai andil dalam politik, menjadi donor politik, memberi upeti kepada para perwira dan aparatur pemerintahan.

Pertarungan hegemoni tersebut sudah tak lagi memetakan asing-domestik, tapi pertarungan antara warga masyarakat dengan aparatur pemerintah/negara yang kongkalikong (berkonspirasi) dengan para penguasa uang besar. Dalam hal ini nasionalisme hanya menjadi slogan palsu, sedangkan aslinya dilipat dimasukkan ke dalam laci nafsu kekuasaan uang. Kekejaman yang terjadi adalah penjajahan yang lebih buruk, yakni penjajahan terhadap bangsa sendiri. Latihan perang dan belanja peralatan perang bukan untuk menghadapi penjajah, tapi digunakan untuk menjajah bangsa sendiri.

Pemerintahan (di dalamnya termasuk aparatur keamanan-pertahanannya) tidak mempunyai kedaulatan karena disetir oleh kekuasaan uang besar. Analisis tentang tirani kekuasaan uang besar ini sudah lama dilakukan, termasuk apa yang ditulis oleh ekonom Amerika Serikat, David Korten, yang menguraikan bagaimana besarnya kekuasaan korporasi yang mengatur dunia.

Salah satu syarat berdirinya negara, yakni pemerintahan yang berdaulat telah hilang di sini, sehingga sesungguhnya negara Indonesia telah menjadi bangunan yang roboh.

Saya tidak setuju dengan cara-cara penggalangan hak interpelasi agar parlemen kita bertanya kepada pemerintah tentang kasus-kasus kekerasaan aparatur pemerintah tersebut. Bagaimana mungkin kita mempercayai DPR yang isinya didominasi oleh para politisi dan partai politik yang juga didanai oleh para pemilik modal besar? Ini akan sama sekali tak ada gunanya, seperti halnya hak angket pada kasus Century yang sama sekali tidak mempunyai pengaruh dalam penegakan hukumnya.

Jalan yang lebih tepat adalah meneruskan perjuangan, penggalangan kekuatan, minimal sebagaimana yang diteorisasikan Gramsci, bagaimana dalam pertarungan hegemoni tersebut dapat meraih dukungan sebanyak mungkin untuk menundukkan hegemoni kekuasaan modal besar agar menjadi jinak. Tentu saja termasuk mengambil hati dari bagian-bagian atau faksi-faksi di tubuh kepolisian dan militer itu sendiri, bukan memusuhi mereka secara total. Komunikasi harus dijalin dengan faksi-faksi di tubuh kepolisian dan militer, baik secara rahasia maupun dengan cara-cara “pendidikan”.

Gerakan juga harus dapat memecah kekuatan kapitalis tulen. Perlawanan dalam perjuangan haruslah menggunakan strategi yang tidak membabi buta dengan menganggap seluruh organisasi lawan sebagai musuh, sebab di dalamnya terdapat orang-orang yang sesungguhnya tidak terlalu sepakat dengan kebijakan organisasinya. Mengundang mereka dalam banyak pertemuan untuk berdebat dan berdiskusi tentang bernegara yang baik adalah bagian dari upaya. Tetapi semua itu tidak meninggalkan cara-cara konfrontasi yang telah dibangun dengan cerdas. Tetapi tidak boleh larut dalam diplomasi saja.

Politik alternatif rakyat dalam keadaan tersebut memungkinkan lebih baik untuk dibangun agar partai-partai politik yang rakus dan yang menjadi peliharaan kekuatan uang besar segera ditinggalkan para pemilihnya dan mengalami kebangkrutan.

Tugas kita membangun kembali negara yang roboh, jika tak ingin tercabik-cabik habis di masa depan! Saat ini kesulitannya memang melawan bangsa sendiri, yang dalam banyak hal juga menjadi antek kekuatan uang besar dari asing.

Jika ada yang berkoar-koar bahwa bentrokan-bentrokan itu disebabkan oleh para provokator maka hendaknya diiyakan, sebab dalam perjuangan memang dibutuhkan para provokator.