Selasa, 27 November 2007

PENGADILAN DAN PENGADALAN

Tak ada kaitannya antara adil dengan kadal. Adil merupakan cita-cita manusia, dirindukan setiap saat. Konon ia ditegakkan melalui pengadilan. Bicara pengadilan, bukan hanya soal hakim, tapi juga hukum serta penegak hukum. Penegak hukum terdiri dari hakim, jaksa, polisi dan advokat yang dikenal dengan caturwangsa penegak hukum.

Sementara itu, kadal merupakan binatang melata. Kadal dipandang rendah manusia, karena kebinatangannya. Tak jarang orang yang merasa jijik. Kita tahu kadal pemakan lalat, kecoak, nyamuk dan hewan-hewan kecil. Mungkin saja ada kadal dalam dunia peradilan. Sir Bernard Shaw bilang, di antara kumpulan manusia itu mungkin ada binatangnya. Maksudnya, binatang yang makanannya hot dog, sate, rawon, soto, minum vodka atau topi miring, nonton streaptease dan yang menurut mereka enak-enak. Bagaimana kalau kadal malah menjadi musuh atau penyakit kemanusiaan? Itu pasti kadal paling rendah dalam dunia perkadalan.

Pengadilan

Apa yang Anda rasakan semua tentang pengadilan? Apakah pengadilan telah membuat Anda aman? Sudahkah Anda merasa aman; bahwa anak-anak, cucu atau bahkan suami atau isteri Anda aman dari godaan mafia narkoba karena hukum benar-benar melindungi? Sudahkah Anda merasa aman bahwa hak-hak Anda tidak akan dicuri oleh maling dan perampok, terutama yang berdasi? Pertanyaan yang agak menyimpang: Menurut Anda, lebih menjijikkan mana antara hakim, jaksa, advokat, polisi dibandingkan dengan (maaf) kadal?

Baru-baru ini ada seorang warga menceritakan pengalamannya. Ia pernah berusaha meminta keadilan, sebab ditipu oleh rekan bisnisnya dengan nilai lebih semilyar rupiah. Ia seorang pedagang. Uang sejumlah itu dicari dengan tetesan keringat dan memeras otak. Uang halal, bukan uang instan haram seperti uang suap atau hadiah karena jabatan. Ia memakai jasa pengacara (advokat), membayar puluhan juta, lalu melaporkan perkaranya melalui Kepolisian.

Kali pertama orang itu dipanggil polisi selaku saksi pelapor, badannya gemetar. Psikisnya merasakan hipnosis kewibawaan kepolisian. Waktu demi waktu berjalan. Setelah makan waktu lebih setahun orang itu berkesimpulan; advokat menjijikkan dan kepolisian menjengkelkan. Ia merasa dipermainkan pengacara dan polisi. Ia trauma kalau melihat polisi, dan pengacara, termasuk dengan saya. Ia bilang ‘kurang percaya’ dengan saya, sebab saya pengacara. Maklum. Saya menjadi pengacara juga terpaksa – berat hati - daripada tetap menjadi sarjana penganggur yang tidak laku di bursa kerja, jawabku.

Seperti yang pernah saya baca di sebuah iklan biro jodoh; ada dokter yang mencari jodoh, tapi mengecualikan orang yang bekerja di dunia hukum. Ia terang-terangan mengatakan hukum itu kotor. Ia tidak mau mempunyai pasangan hidup kotoran. Banyak pula para pencari keadilan – utamanya orang tidak mampu - yang putus asas sebab dibelit-belitkan dengan lamanya proses, apalagi jika lawan mereka yang kaya membeli hukumnya. Masih banyak omong kosong.

Hingga sekarang pun, belum ada putusan pengadilan yang membuat kita kagum, kecuali beberapa butir pelepas dahaga keadilan. Apakah otoritas hukum kita telah terlalu merasa mapan dan bahkan ketakutan untuk keluar dari kejahatan itu sendiri - yang diistilahkan sebagai mafia peradilan? Para koruptor pun satu persatu menikmati putusan bebas dan ringan di berbagai pengadilan. Jadi, para koruptor bisa santai sebab di sini ada surga yang dapat dibeli dengan uang, bukan dengan kerja keras (amal saleh). Uang jarahan bisa dibagi-bagi kepada polisi, jaksa, pengacara, hakim, panitera, bahkan panti asuhan, panti jompo, dan tak lupa untuk naik haji.

Di sini juga surga kepalsuan. Setiap hari mungkin kendaraan kita berjalan dengan bensin palsu, oli palsu dan spare part palsu. Kita mandi dengan sabun palsu, keramas dengan shampo palsu, gosok giri dengan sikat dan odol palsu. Kita makan makanan pabrik berstempel sehat palsu, disahkan oleh otoritas kontrol kesehatan secara palsu, dan kesehatan kita pun didiagnosa secara palsu. Kita minum air kali yang dikategorikan layak minum dari laporan hasil laboratorium palsu. Ada banyak kejahatan pemalsuan itu. Ada banyak pula pemalsu yang berlenggang kangkung. Kalau ada pemalsu ditangkap maka dibawa ke pengadilan dengan alat bukti palsu dan diputuskan dengan pertimbangan hukum palsu sehingga putusannya pun palsu. Kita makan kepalsuan itu, setiap hari. Jangan-jangan ini negara palsu dan kita rakyat palsu? Jangan-jangan ini tulisan penulis pemalsu?

Pengadalan

Di pengadilan ada masjid. Biasanya, ketika waktu Dzuhur tiba, banyak para hakim, jaksa, polisi dan advokat yang shalat. Bisa jadi juga ada ‘profesi’ spesialis ‘makelar kadal’ yang shalat. Kita tentu tak dapat menilai tanpa mengalami, apakah orang-orang yang rajin shalat itu juga suka menerima uang suap atau tidak. Tapi, mungkin juga di antara mereka ada yang senang menerima suap dan setelah itu mengucap “Alhamdulillahirabbil’alamiin” dan berdoa kepada Tuhan agar rejeki suap itu terus mengalir ke kantong dan rekeningnya.

Tapi Allah mengingatkan - dalam sebuah hadits qudsi (riwayat Addailami) – bahwa Tuhan hanya menerima sembahyang dari orang yang merendahkan diri karena keagunganNya, menahan hawa nafsu dari perbuatan haram, tidak melakukan ma’siyat, serta melindungi orang musafir kelana. Jadi Allah tentu tidak sudi menerima shalat kaum penerima dan pemberi suap. Orang hendak shalat disuruh berwudlu, maksudnya bersuci diri. Menghadap Tuhan harus bersuci dulu. Dapatkah para pedagang hukum itu suci, padahal baju dan makanan serta minumnya tercemar barang haram yang berarti najis? Apalagi jika menjadi najis sosial? Agama di negara ini hingga sekarang masih dipalsu. Bukan hanya oli, obat dan makanan yang dipalsu. Belum tentu orang beragama itu agamis. Belum tentu yang tampak agamis itu amanat. Kebanyakan dari kita asyik dengan ‘permainan’ sendiri-sendiri, tidak peduli dengan amanat yang sedang dipanggul di pundak masing-masing. Para isteri atau suami jangan buru-buru senang melihat suami atau isterinya rajin shalat sebelum melihat dunia nyata yang ada di balik kepalsuan. Kata Nabi Muhammad (riwayat Bukhari), suatu kaum akan hancur ketika urusan atau amanat dipegang oleh yang bukan ahlinya. Ahli di sini bukan sekedar pintar, tapi juga amanat. Orang pintar tapi khianat adalah pembawa kehancuran. Seperti hancurnya ekonomi negara ini digerogoti kaum cerdik, pandai dan lihai. Tapi siapa yang masih percaya ajaran agama seperti itu?

Negara ini semakin tertinggal jauh, bahkan dari negara-negara yang dahulu kita anggap kecil. Para pejabat mengurus negara tidak serius dan sering salah urus. Amanat menegakkan hukum dan keadilan dibuat permainan. Hari ini, negara kaya ini mengalami kemiskinan, bukan sekedar ekonominya tapi juga etika, moral dan mentalnya. Ada banyak kekayaan negara ini yang dicaplok asing tapi kita tak pernah punya patriotisme sebab terlalu tekun dengan cita-cita kesenangan atau kekayaan pribadi. Jika hari ini kita merasa bukan korban, tapi siapa yang menjamin bahwa anak-anak cucu kita tidak menjadi korban? Jika sekarang kita menikmati mafia peradilan, siapa menjamin di hari tua kita dan nanti anak cucu kita tidak menjadi korbannya? Kelakuan buruk kita telah mengancam masa depan generasi kita sendiri.

Hukum dan agama di negara ini mengalamai pengadalan, direndahkan martabatnya oleh masyarakat sendiri. Banyak orang kaya hobi merebut paksa hak kaum lemah dengan membeli hukum di bursa keadilan yang ada di kantor-kantor penegakan hukum. Para pengurus negara ini tampaknya menikmati itu. Praksis, dunia hukum menjadi kadal sebab dikadalkan oleh para anggota komunitasnya sendiri.

Kerasnya suara kebenaran dibarengi dengan sunyinya langkah kebaikan. Hiruk-pikuknya pembangunan tempat ibadah serta kegiatan ibadah ritual dibarengi dengan senyapnya derap kebenaran. Yang tampak adalah tubuh-tubuh bersimbah peluh dalam persetubuhan dengan waktu dan pengkhianatan, bukan hanya kepada orang lain tapi juga dengan nurani mereka sendiri. Kita sadar bahwa kapal bangunan negara ini telah bocor, akan membawa kita tenggelam. Terus tenggelam, jauh meninggalkan peradaban, dan akhirnya menghilang ke dalam samudera yang tak terukur dalamnya. Lenyap. Sunyi.

Minggu, 25 November 2007

Presiden: Tidak Bisa Tegas? Mundur !

Sampai hari ini, meski produk hukum telah diperbaiki, sistem penegakan hukum diperbaharui, tapi berita tentang korupsi tak pernah berhenti. Suatu saat, ketika saya masih mahasiswa, ada teman-teman mahasiswa yang sangat bangga bercerita tentang “kesuksesannya” dalam mengelola dana sebuah kepanitiaan di kampus. Mereka bangga sebab mendapatkan “keuntungan” sehingga bisa membeli sepatu baru dan tape recorder baru. Bagaimana mereka bisa sukses? Tidak lain, dengan cerdik mereka melakukan mark up dalam proposalnya dan dalam laporan penggunaan dana.

Cobalah kita ingat-ingat dan kita lihat di sekitar kita, ternyata mark up atau penggelembungan anggaran untuk keperluan apapun, baik yang terjadi di lingkungan RT, RW, Desa, Kelurahan, Kecamatan dan di organisasi-organisasi formal dan informal, kerap kali terjadi dan tampaknya menjadi tradisi. Maka jangan heran jika dalam pemerintahan negara ini, dari ujung desa sampai ke pusat, selalu diwarnai korupsi, dan meski dibentuk undang-undang baru, lembaga penegakan hukum baru, tetap saja tidak menyurutkan semangat korupsi.

Ada mantan Menteri Agama di negara ini harus mendekam di tahanan karena tuduhan korupsi. Kepala Kantor Departemen Agama di Jombang juga diadili dengan tuduhan korupsi. Departemen serta Dinas Pendidikan Nasional sebagai penyangga pendidikan moral dan hukum pun tetap disibukkan dengan korupsi. Tak lupa, di Departemen Pertahanan juga ada kasus pembelian tank Scorpion yang kasusnya mandek, dan kali ini ada lagi kasus pembelian empat unit helikopter Mi-17 yang merugikan negara 3,2 juta US Dollar, juga penyalahgunaan dana di Yayasan ASABRI. Di Kementerian Perikanan dan Kelautan juga ada korupsi dalam pengadaan peralatan Laboratorium Badan Riset Kelautan.

Kita tengok sedikit contoh korupsi di daerah. Di Dinas Pendidikan Pemerintah Kota Surabaya juga ada korupsi pengadaan 127 unit mikroskop, di Kabupaten Jember juga kehilangan kas daerah sebesar Rp. 18 miliar karena korupsi, di Magetan juga ada korupsi dalam anggaran pembangunan gedung serbaguna dan DPRD dengan kerugian negara Rp. 3,2 miliar, dan lain-lain. Kalau Anda pergi ke BPKP dan sempat memeriksa data hasil auditnya, maka hampir di semua lini kehidupan pemerintahan di negara ini dijadikan sarang koruptor.

Lalu, siapa yang nasibnya dibuntungkan atas korupsi itu? Yaitu: rakyat kebanyakan!

Mari kita tengok sedikit, sejarah kehebatan negara ini dalam melakukan korupsi. Menjelang akhir tahun 1998, Menteri Koordinator Pengawasan dan Pembangunan mengumumkan temuan bahwa di tujuh departemen pemerintahn terdapat praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan semasa pemerintahan Orde Baru merugikan negara sebesar sekitar Rp. 4,387 trilyun. Saat itu, Indonesia menjadi juara korupsi di Asia menurut hasil riset Political and Economic Risk Consultancy, Ltd. (PERC), dan menurut penelitian Transparency International (TI) yang berbasis di Berlin, Jerman, menunjukkan Indonesia berada di urutan ke 80 dari 85 negara yang diteliti dengan skor 2,0 (termasuk paling korup di dunia).

Tahun 1999, negara ini mengalami “peningkatan prestasi” dalam korupsi. Menurut TI, tahun 1999, Indonesia berada di peringkat 96 dari 99 negara yang diteliti tingkat korupsinya. Artinya, dengan skor 1,7, Indonesia merupakan negara keempat paling korup. Tahun 2002, menurut PERC, dengan menggunakan skor 0-10 (0 = terbaik dan 10 = terburuk), Indonesia meraih nilai 9,92 alias juara korupsi se-Asia.

Tahun 2003, Indonesia berada di peringkat ke-122 atau merupakan negara paling korup keenam dari 133 negara yang dinilai Transparancy International Indonesia (TII). Peringkat tersebut berdasarkan nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Transparansi Internasional 2003 yang dihasilkan dari 13 survei independen oleh lembaga survei internasional.

Tahun 2004, Syafii Ma’arif, Ketua PP Muhammadiyah mengatakan, walaupun Indonesia dikenal sebagai bangsa yang mengakui banyak agama, tetapi perilaku bangsa ini dinilainya seolah bangsa dengan masyarakat yang tidak beragama. Tahun itu disinyalir kebocoran keuangan negara dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), mencapai 40 persen. Tahun 2004, menurut PERC, indeks Indonesia yang mencapai angka 9,25 yang merupakan kinerja paling buruk, lagi-lagi juara Asia untuk perlombaan korupsi.

Data Kejaksaan Agung (Kejagung) tahun 2004 mencatat bahwa di antara 690 skandal korupsi yang dilaporkan ke kejaksaan selama periode Januari 2003 hingga April 2004, sebanyak 270 perkara di antaranya adalah skandal korupsi yang melibatkan anggota DPRD. Hebat kan?

Ketika Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) tugasnya berakhir 27 Pebruari 2004, terdapat fakta bahwa uang negara yang telah dikucurkan ke perbankan senilai Rp. 699,9 triliun, tetapi nilai uang itu menyusut menjadi Rp. 449,03 triliun sebab banyak aset yang nilainya digelembungkan. BPPN hanya berhasil mengembalikan kepada negara sebesar Rp. 172,4 triliun. Sisanya triliun hangus menjadi asap! Hebat!

Tahun-tahun berikutnya, 2005 hingga 2006, para penganut “agama korupsi”, agama yang paling banyak penganutnya ini, mulai melancarkan aksi mereka setelah melihat komitmen pemerintah pusat dalam pemberantasan korupsi. Di dinas-dinas serta departemen pemerintahan dihembuskan isu adanya “ketakutan” para pejabat yang harus mengurusi proyek-proyek yang menggunakan APBN atau APBD. Mengapa takut? Kalau mereka orang-orang jujur, mengapa harus takut?

Bukan hanya itu. Mafia korupsi pun mulai beraksi dengan mengajukan uji meteriil terhadap UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya yaitu UU No. 20/.2001. Mahkamah Konstutusi (MK) pun larut dalam euforia demam antipemberantasan korupsi dengan memutuskan bahwa penjelasan pasal 2 UU No. 31/1999 “diralat”, sehingga pengertian “perbuatan melawan hukum” (sebagai salah satu unsur perbuatan korupsi) tidak lagi mengandung arti materiil, tapi harus dalam arti formal.

MK mundur ke sebelum tahun 1983, sebab di jaman Orde Baru saja muncul yurisprudensi, putusan MA No. 275 K/Pid/1983, tanggal 15 Desember 1983; Natalegawa, Direktur Bank Bumi Daya divonis MA melakukan korupsi dengan melakukan interpretasi arti perbuatan melawan hukum secara materiil, sebagai koreksi atas putusan PN Jakarta Pusat yang membebaskan Natalegawa. Belum lagi adanya upaya uji materiil terhadap ketentuan mengenai wewenang KPK dalam kasus Abdullah Puteh serta yang terbaru adalah pengujian atas wewenang KPK dalam melakukan penyadapan komunikasi para pelaku korupsi dalam kasus Mulyana W. Kusumah.

Dalam upaya pemberantasan korupsi pun pemerintah meskipun mempunyai konsep bagus, tapi realisasinya kurang tegas. Kejaksaan di daerah-daerah pun masih berbelit-belit dan hobi membuat P19, membolak-balikkan berkas. Belum lagi laporan yang langsung di Kejaksaan di daerah yang “disimpan” lebih dari setahun? Ditambah lagi pengadilan yang juga masih dipenuhi para pedagang hukum dan keadilan, yang kadang-kadang membuat para penyidik korupsi dan masyarakat “pusing kepala” sampai harus terpingkal-pingkal melihat kelucuan praktik penegakan hukum di pengadilan yang ujung-ujungnya membuat perut otak mual-mual!

Negara ini tidak akan maju jika tidak memperbaiki kondisi penegakan hukum. Dengan kata lain, Indonesia akan terus terpuruk sebagai “paria” di antara negara-negara yang sedang berlomba maju................. Indonesia kaya sumber alam, tapi penduduknya hanya menjadi penonton pembangunan karena sistem pemerintahan yang korup dan tak berkepastian hukum? Indonesia tak lagi memiliki modal, dan daya beli kian merosot.

Hai Presiden! Kalau terlalu sulit memberantas korupsi, tak perlu susah-susah membuat konsep yang tak bisa dijalankan karena hampir semua pejabat di negara ini hobi korupsi! Sulit kan mengharap koruptor menghukum sesama koruptor? Mengapa Anda tidak melakukan revolusi struktur penegakan hukum dan terang-terangan “menyerang” impotensi pengadilan secara terus-menerus? Anda pasti akan didukung rakyat! Sebab rakyat sudah terlalu lama bosan menjadi korban para pejabat penipu rakyat! Kalau Anda tidak dapat menjadi pioner revolusi hukum dan keadilan, silahkan mundur saja!

Jumat, 16 November 2007

BANGSA SESAT

Kita mestinya tidak pantas untuk menghentikan keheranan, sampai terjawab tuntas pertanyaan: “Mengapa negara dengan dasar Pancasila yang menganggap tabu atheisme (faham tanpa Tuhan) ini kok dipenuhi perilaku negatif berkepanjangan, seolah-olah – kata Nitszche - Tuhan yang diyakini itu sudah lama mati?”

Seorang kawan karib saya pernah berkata, “Suatu saat ada pertemuan para habib dan ulama-ulama di Jakarta, kebetulan saya melihat. Waduh! Ternyata banyak tetangga saya yang kenthir (bodoh, pen) yang memakai jubah dan surban, seolah-olah menjadi habib. Ah, ternyata tahi kucing!” Teman karib saya itu mungkin jengkel, sebab agama ternyata dipermainkan dengan penampilan. Ada lagi, teman saya, puteri Madura asli, seorang mahasiswi dari Universitas Trunojoyo Bangkalan Madura yang berkata, “Aduh Mas! Jangan tanya deh! Di Madura itu, ada saja kyai yang kaya-raya, rumahnya megah, mobilnya berjejer, dikelilingi para penjaga yang preman juga, tapi di sekitarnya bertebaran penderitaan dan kemiskinan.” Kalau apa yang dikatakan teman saya dari Madura itu sih bukan hal baru, sebab saya sendiri melihat hal serupa yang banyak di mana-mana.

Agama yang kita lihat di negara ini adalah dalam bentuk: masjid, gereja, kelenteng, candi, vihara, punden, atau apa lagi, yaitu bertebarannya tempat ibadah di setiap jengkal tanah di negara ini. Agama yang kita saksikan juga orang berbondong-bondong untuk mengerjakan shalat, kebaktian, pemujaan dan sebagainya. Bahkan sehari lima kali kita harus dikagetkan oleh bunyi adzan yang keras dari corong pengeras suara, ditambah lagi khotbah-khotbah, dibaan, yasinan, shalawatan, istighosah, dan macam-macam. Sampai-sampai, untuk mempertahankan monopoli kebenaran agama, maka terjadi pertumpahan darah yang hingga kini sambung-menyambung tak berujung, di negara ini.

Tapi, suatu saat ada orang yang setiap hari rajin shalat di Masjid Ampel Surabaya, ketahuan oleh seorang ketika ia mencuri sandal. “Loh, kamu rajin shalat kok mencuri?” Tapi apa jawab si rajin shalat pencuri sandal itu? “Waktunya shalat ya shalat, soal mencuri urusan lain!” Lebih tragis lagi, ada seorang sarjana hukum dari universitas negeri terkemuka di Surabaya yang dikeroyok sampai mati, gara-gara dituduh mencuri sandal di Masjid Ampel, setelah si sarjana ini selesai shalat. Waduh! Bukan soal tuduhan pencurian sandal itu, tapi kok tega-teganya jamaah masjid membunuh seseorang dengan alasan “ia mencuri sandal?”

Waktu saya masih SD, saya sering belajar mengaji di masjid kecil di desaku. Saya juga melihat, bahwa orang-oraang yang setiap hari shalat di masjid bersamaku, ternyata juga biasa berjudi dadu, dan sesekali berselisih dengan tetangganya karena menyelingkuhi isteri orang.

Itu sedikit gambaran bahwa agama yang berjalan di negara ini tidak cukup untuk membangun moral rakyat di level bawah. Tetapi nasib orang juga berubah. Ada di antara mereka yang kemudian menjadi orang kaya, menjadi anggota DPRD dan lain-lain dengan membawa sifat amoralnya itu ke mana-mana.

Kalau di level atas dalam stratifikasi sosial, jangan khawatir! Sebab setiap hari kita disuguhi informasi tentang pencurian uang negara yang dilakukan para koruptor yang tak henti-hentinya menjadi tikus gudang negara dan malamnya menjadi vampir rakyat.

Konyolnya, miliaran uang haram itu dicuci dengan cara untuk membangun masjid, gereja, kelenteng, menyumbang panti asuhan, dan tak lupa juga untuk naik haji dan umroh berkali-kali, dan yang paling tak dapat dilupakan adalah untuk biaya pemeliharaan para isteri simpanan, atau bersenang-senang dengan perempuan siapa saja yang mau bagi kaum bapak-bapak yang beragama itu. (Maaf kaum perempuan, saya ini menceritakan fakta, tetaplah saya juga harus menghormati kaum perempuan yang menjadi ibu manusia!)

Jadi, tampaknya Pancasila itu hanya raga tak berjiwa sebab sebatas dijadikan pajangan, alat kebanggaan negara, tata lahirnya dihormati, tapi secara batin telah lama ditinggalkan. Agama juga begitu; hanya dilaksanakan dalam penampilan, tetapi sesungguhnya telah lama pula ditinggalkan rohnya, sehingga seolah-olah benar memang bahwa Tuhan itu telah mati (meminjam istilah Nitzsche lagi ya?).

Pantaslah jika Nabi Muhammad pernah menceritakan kejadian di masa depan, ketika tiba di Hari Pengadilan Akhirat (Yaumul Hisab), maka Allah menolak orang muslim masuk surga, meskipun orang itu ibadah ritualnya tertib dan rajin, tapi sesungguhnya menurut Allah orang itu telah melupakanNya.

“Malaikat! Lemparkan saja orang itu ke neraka!” perintah Allah.

“Protes Yang Mulia! Saya ini setiap hari shalat, juga berpuasa di bulan ramadlan, membayar zakat fitrah, juga berhaji, dan menjalankan ibadah-ibadah lainnya sebagai seorang muslim, tapi mengapa saya harus masuk ke neraka?” protes si muslim itu.

“Sebab kamu sesungguhnya telah melupakan Aku. Ketika Aku lapar, kamu tidak memberiku makan. Ketika Aku kedinginan, kamu tidak memberikan Aku pakaian. Ketika Aku sakit, kamu tak pernah menjengukKu!” kata Allah.

“Mustahil ya Allah Engkau itu Tuhan yang tak akan kelaparan, kedinginan dan sakit!” kata si muslim ahli neraka itu.

“Aku adalah orang-orang miskin itu, yang tak punya makanan, tak punya pakaian dan sakit. Kamu telah melupakan Aku!” kata Allah.

Akhirnya si muslim itu pun harus dibakar di api neraka sebab telah melupakan Tuhan yang telah mengidentikkan diriNya dengan masyarakat yang miskin itu.

Pesan moral agama yang penting ini yang tak mampu ditangkap secara baik, sehingga banyak orang beragama tetapi sebenarnya mereka tidak mempunyai roh agama sebab misi Tuhan di muka bumi tak pernah mereka lakukan. Misi itu adalah solidaritas sosial, tak peduli apapun warna kulitnya, keyakinan atau agamanya, jenis kelaminnya. Sehingga agama yang berkembang di negara ini tetap menciptakan penderitaan sosial karena penipuan, korupsi, perselingkuhan, pertikaian, pertarungan politik, agama, etnik, penelantaran rakyat, pembiaran kemiskinan dan segala macam masalah sosial terabaikan, sebab para pemeluk agama disibukkan dengan rutinitas ritual, penggalangan dana untuk membangun tempat-tempat ibadah dan sekolah-sekolah agama, tapi ternyata apa yang dilakukan dan dibangun itu masih tak dapat menumbuhkan pembangunan moral sosial.

Katanya, pembangunan adalah untuk mengadakan yang belum ada, mengubah dari yang kurang menjadi lebih baik. Benar bahwa bangunan fisik agama seperti tempat ibadah dan sekolah semakin banyak dan baik serta megah, tapi tidak menjadikan moral negara lebih baik. Bahkan agama pun hanya dijadikan alat politik, kekuasaan, dalil-dalil untuk memperoleh fasilitas pribadi seperti keinginan poligami contohnya.

Kalau orientasi pemikiran maupun paradigma dalam bergama tidak diubah, maka agama sampai kapanpun hanya akan menjadi bentuk fisik, penampilan atau performance, sehingga tak ada bedanya antara bangsa yang agamis dengan bangsa secara jantan mengaku atheis, kecuali hanya pada satu hal, yaitu: Kalau bangsa mengaku atheis tidak membuang-bunag waktu dan biaya untuk membangun fisik agama dan melakukan ritual agama, sedangkan kita hanya menghambur-hamburkan uang, tenaga dan pikiran, padahal hasilnya bagi masyarakat tidak lebih baik. Meskipun kegiatan pembangunan keagamaan terus meningkat, tapi untuk apa kalau ternyata Tuhan merasa tak pernah diperhatikan?

Sebenarnya bukan Tuhan yang mati, tapi kita yang telah membunuh agama kita sendiri dan kita ganti dengan penyembahan terhadap berhala yang berupa kekayaan, kemewahan, kekuasaan, kesenangan, nafsu serakah, kebanggaan diri, harga diri yang terlalu tinggi, sampai-sampai harus menutupinya dengan segala kecurangan, penipuan, penindasan, penganiayaan, pembunuhan dan pembasmian.

Bangsa ini terlalu gampang mengutuk atheisme, dan bahkan terlalu sensitif dengan bahasa sindiran. Kalau ada sempalan praktik orang beragama yang keluar dari pakem yang ada, lantas begitu mudah dianggap sesat, lalu diadili sendiri beramai-ramai dan dituntut melalui Pengadilan dengan tuduhan penodaan agama.

Tapi kita sudah lama pingsan dalam kesadaran semu. Kita sebenarnya telah larut dalam kesesatan itu sendiri. Agama murni adalah yang menciptakan kasih sayang bersama, menciptakan moral sosial, tetapi kita berlaku egois, hedonis, dan apatis. Maka sebagai umat beragama, kita telah jauh tersesat dari misi agama itu sendiri, sehingga layaklah kita disebut sebagai masyarakat beraliran sesat yang bisa dihukum dengan alasan PENODAAN AGAMA.

Minggu, 11 November 2007

MENOLAK PLTN DI TAMAN BERHALA

TOLAK PLTN !

Okelah negara ini mau bikin PLTN, tapi akhirnya jadi tidak oke, wong ngurusi hutan aja nggak becus. Banyak orang pinter yang kasihan di negara Cakil mendem ini sebab menjadi keblinger. Banyak talenta yang terbuang sia-sia bahkan akhirnya bersekutu dengan kemubadhiran dan al-mubadziriina kaana ikhwanussayatiin, mubadhir kawannya setan, apalagi jika sampai bersekutu dengan Iblis?

PLTN yang dikelola jujur di Jepang aja masih bisa bermasalah, apalagi jika dikelola di negara bermasalah (tidak jujur), apa nggak menjadi masalah kwadrat? Tolak sajalah, sebab nanti pasti para pejabat akan korupsi uranium. Kita pakai aja sinar matahari atau angin, biar para pejabat nggragas itu korupsi angin dan sinar matahari, suruh habiskan dan tak akan habis, suruh mereka masukkan matahari ke dalam perutnya nanti kita cari matahari di galaksi tetangga seizin Tuhan. Kecuali kalau Tuhan nggak ngasih izin.

Lihat contoh sederhana kasus Lapindo itu. Dari dulu namanya ngebor itu ada resikonya makanya ada aturan-aturan jarak pengeboran dengan pemukiman, tapi standar itu yang dilanggar, belum lagi pelanggaran standar kelayakan teknisnya yang diungkap BPK. Tapi toh pemerintah pengecut, tak mau mengakui bahwa Lapindo salah dan Lapindo sendiri apalagi pasti cari selamat meski ia telah kualat karena waktu mencari data seismik para petugas meledakkan sawah-sawah penduduk dengan sewenang-wenang. Kaji Rhoma sinis dengan bornya Inul, tapi diam aja dengan bornya Lapindo?

Lalu kita mau ambil resiko yang jauh lebih tinggi? Ah, sama saja menyiapkan kematian kolosal. Apalagi bencana alam semakin bertubi-tubi? Kalau ada yang lebih aman kenapa pilih yang bahaya? Saya ikut menolak PLTN tidak berkaitan dengan teknologinya, tapi berkaitan dengan tradisi korup yang juga telah menjangkiti para ahli, akademisi, pengelola laboratorium.

Kalau seumpama Ibrahim melihat Indonesia, beliau akan memporak-porandakan berhala yang bernama UANG. Lalu Ibrahim akan menyisakan sebuah kapak yang dibuat menindih segebok dollar. Jika para penyembah berhala itu bertanya kepada Ibrahim, "Siapa yang telah menghancurkan Tuhan kami ini?" Maka Ibrahim akan menjawab, "Tanyakan kepada tuhan kalian yang bernama UANG itu!"

PLTN akan jauh lebih berbahaya sebab ia dikelola oleh para pemeluk agama yang menuhankan UANG. Masjid, gereja, kelenteng yang kita lihat berderet di negara ini hanyalah tempat-tempat pencucian tuhan (money laundering).

Jumat, 09 November 2007

KHIDIR, ADELIN LIS DAN MENTERI

Kalau saya membandingkan Khidir dengan Adelin Lis yang didakwa merusak hutan Mandailing Natal Sumatera Utara, tentu terlalu jauh derajatnya. Khidir dipilih Allah sebagai tokoh protagonis dalam Alquran di mana tindakan pembunuhan dan perusakan perahu yang dilakukannya disahkan Tuhan dengan tujuan tertentu. Sedangkan Adelin Lis tak mungkin tercatat dalam Kitab Suci agama, melainkan di dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Kepolisian, surat dakwaan jaksa dan putusan hakim, serta tak lupa direkam sebagai berita besar oleh media massa. Di masanya Khidir adalah the mysterious man, dan kini diyakini banyak Muslim bahwa ia belum mati. Kalau saja para polisi Firaun dahulu mengetahui Khidir membunuh dan merusak, ia mungkin juga akan ditangkap dan dihukum, meski Allah seringkali ‘menyelamatkan’ orang-orang pilihanNya dengan caraNya sendiri.

Jika Khidir dapat menjelaskan apa yang akan terjadi di masa depan maka itu bukan seperti futurolog, sebab pengetahuannya akan masa depan itu adalah bukan daya upayanya sebagai manusia, tapi menyangkut keputusan Allah untuk memilih. Muhammad SAW menjadi rasul juga pilihan Allah yang telah dikonstruksikan sebelum Adam diciptakan.

Jika Adelin Lis ditanya, “Mengapa hutan kamu rusak?” tentu ia tak dapat menjelaskan bahwa itu akan lebih baik daripada tidak dirusak. Ia tak akan menjawab bahwa di masa depan banjir bandang dan longsor akan mengurangi jumlah manusia yang kafir. Allah tak pernah membisiki ilham seperti itu kepada Adelin Lis. Khidir adalah satu, tapi Adelin Lis – Adelin Lis bertebaran di muka bumi, dan yang saat ini yang menguasai dunia. Khidir tak mungkin menjadi kapitalis sedangkan Adelin Lis adalah investor berkapital yang biasa dipeluk mesra penguasa. Khidir juga tahu diri sehingga ia tidak mengintervensi Musa AS dengan surat sakti agar melakukan ini dan itu untuk melawan otoritarianisme Firaun. Ia diberi job discription dengan hak atau wewenang khusus oleh Allah yang tak akan dilangkahinya jika tak ingin difatwa Allah menjadi seperti Iblis yang membangkang atau sesat hanya gara-gara enggan menghormati keunggulan intelektualitas manusia.

Terkadang manusia ini serba salah. Belum-belum Allah sudah berdebat dengan malaikat ketika Beliau hendak mencipta manusia. Malaikat ‘mengingatkan’ Allah bahwa makhluk manusia itu tabiatnya menumpahkan darah, berbuat kerusakan di muka bumi. Allah pun tidak mau berterus terang. JawabanNya, “Aku lebih tahu dari yang kalian tahu.” Misterius. Allah kadang tidak transparan. Saya sebenarnya tidak berani mengeluhkan itu, sebab terlalu takut untuk lancang seperti malaikat yang lebih tak berakal dibanding manusia itu.

Tapi Allah bagaimanapun juga membekali manusia dengan hukumNya. Tapi pun manusia selalu tidak puas dengan hukum Allah sehingga membuat formula sendiri-sendiri. Hukum Kitab Suci pun dianggap kuno, usang, outdated laws, sampai-sampai Allah dalam QS Al-Maidah memfatwa fasik, kafir dan dzalim kepada manusia yang tidak menggunakan hukum Allah. Tapi fatwa itu juga dianggap usang. Manusia moderen menderita religionlawphobia sebab ajaran agama sering diselewengkan para penguasa seperti di Eropa abad kegelapan. Nggak hukum Tuhan, nggak hukum manusia, selalu ditafsir secara tiran. Bahkan di Indonesia masa kini ada ilmu tafsir hukum yang baru, yaitu: interpretation of law by dollar. Mau bagaimana lagi, memang itulah manusia?

Siapa bilang kejahatan manusia itu selalu disebabkan pengaruh setan atau Iblis makhluk lelembut, wong manusia sendiri bisa menjadi setan? Alladziyuwaswisu fissuduurinnaas, minnal-jinnati wannaas. Hegemoni kejahatan yang disusupkan ke dalam dada manusia itu bisa dari golongan jin, bisa dari manusia. Bahkan mungkin setan dan Iblis sungguhan juga menjadi korban globalisasi, model pembangunan global yang dirancang dewa-dewa eknomi dari kahyangan puser bumi yang dijadikan kiblat manusia moderen? Sampai-sampai bisnis bermerek syariah pun harus tersipu-sipu meminjam fasilitas perbankan konvensional yang telah difatwa ‘haram’ oleh para pemrakarsa ekonomi syariah. Padahal Rasulullah SAW mewanti-wanti agar umatnya tidak mencampuraduk yang haq dengan yang bathil? Manusia telah menyediakan sistem, fasilitas, hardware dan software, dengan program dan agenda ‘kebenaran global’ yang bersumber dari nonlangit dengan alasan bahwa manusia hidup di bumi – bukan di langit - dengan kecerdasan otaknya. Tapi manusia lupa bahwa bumi ini kalau dilihat dari galaksi tetangga juga bagian langit. Satu persatu kita masuk ke dalam ‘kebenaran global’ ciptaan para dewa Barat. Tepat apa yang diprognosis Rasulullah SAW bahwa kelak umat muslim tak satupun yang terbebas dari debu riba. Manusia semakin kalah dengan musuh terbesarnya: nafsu.

Jika menteri, polisi, jaksa, hakim, akademisi, pengacara, aktivis, mahasiswa dan lain-lain yang pintar-pintar berdebat dalam kasus Adelin itu, bertikai, hantam-hantaman opini tentang kebenaran hukumnya, tetapi yang jelas kita belum pernah membaca ayat Kitab Suci tentang perdebatan antara Khidir dengan setan. Khidir bahkan tak mau didebat oleh Musa AS. Musa boleh belajar kepada Khidir tapi dilarang bertanya. Kalau seumpama Khidir adalah dosen ITS, UI, UGM atau kampus lainnya maka ia akan didemo mahasiswa karena otoriter. Kalaupun Khidir ditawari Rektor ITS menjadi dosen, maka ia akan takut dengan Allah sebab tugasnya dari Allah bukan untuk itu.

Mereka yang berdebat dalam kasus Adelin berada di konteks hukum negara, hukum manusia, sedangkan Khidir melakukan ini dan itu berada di luar konteks hukum buatan manusia. Khidir hanya patuh kepada hukum Allah yang tidak dipakai pemerintahan Firaun. Hukum Allah bukan hukum negara, tapi hukum manusia, yang percaya atau tidak percaya. Tapi kalau sampai hukum Allah dijadikan hukum negara maka Allah juga berpesan, “Laaikrahafiddin,” tak ada paksaan dalam agama. Kalau yang tak mau tunduk kepada hukum Allah tidak boleh dipaksa wong Allah sendiri tidak memaksa. Yang tak mau tunduk ada urusannya sendiri nanti di akhirat.

Tapi yang jelas Allah dalam QS Ar-Rum ayat 41 memperingatkan manusialah biangkerok kerusakan di darat dan laut sehingga azab akan ditimpakan agar manusia kembali ke jalan benar. Perusak alam secara implisit difatwa sesat oleh Allah. Maka kalau ada polisi, jaksa, hakim, pengacara, ulama, aktivis, mahasiswa atau siapapun yang membantu para perusak lingkungan hidup, mereka masuk dalam golongan yang menyimpang dari rel kebenaran itu. Itu tentu berada di luar konteks khidirisme sebab bahkan hukum pidana Zabur, Taurat ataupun Quran tak berlaku atas diri Khidir yang telah melakukan perusakan perahu dan pembunuhan dengan motif penyelamatan masa depan manusia. Perbuatan Khidir itu tidak dalam konteks negara, tapi berada di wilayah yang lebih luas daripada itu, sebab memang agama tidak mengajarkan kewajiban mendirikan negara. Agama tak dibatasi oleh ruang geografis.

Khidirisme dapatlah digunakan spirit ‘menyelamatkan masa depan’. Namun cara-caranya tentu dengan ilmu dan hukum Allah yang berlaku umum, bukan dengan ilmu Allah yang khusus berlaku bagi Khidir, sebab Khidir barangkali adalah alat Allah untuk menjelaskan caraNya menyelamatkan masa depan. Mengapa Allah memberikan kesuburan tanah-tanah pertanian dengan menyemburkan magma gunung Kelud, menjadi lahar dan hujan debu yang menimbulkan derita banyak manusia? Itu tak akan dapat dijelaskan dengan hukum negara. Tapi kalau saja banjir bandang dan longsor di musim hujan menimbulkan jerit kematian manusia dan kekeringan di musim kemarau menimbulkan lenguh kehausan karena lenyapnya sumber air, gara-gara hutan habis digunduli, dan bahkan gunung-gunung es mulai bergeser menimbulkan kekacauan iklim, maka takdir buruk itu juga diakibatkan lembaga manusia yang bernama organisasi negara itu yang tak mampu mengendalikan ulah kaum perusak yang berada di dalam yurisdiksinya. Lalu apa gunanya negara yang dibiayai dengan uang urunan rakyat dan harta kekayaan publik itu? Khidir tak akan menjawab pertanyaan itu. Adelis Lin tak akan peduli dengan pertanyaan itu lha wong Menteri Kehutanan saja menaruh hukum administrasinya di atas kerusakan hutan kok!

Sabtu, 03 November 2007

MANA ADVOKAT / PENGACARA INDONESIA ?



26 September 2007 ada ‘aksi yang langka’ di Malaysia. Sekitar 1.000 advokat (pengacara) Malaysia tergabung dalam Dewan Pengacara Malaysia bergerak menuntut ‘perubahan’. Gerakan tersebut dipicu adanya video klip tentang advokat berpengaruh yang menjadi pialang hakim untuk menduduki posisi yang lebih senior. Sebelumnya, 21 Maret 2007 lalu di Pakistan juga berlangsung aksi damai sekitar 3.000 advokat Pakistan yang menolak otoritarianisme Presiden Jendral Pervez Musharraf yang mencopot jabatan Ketua Mahkamah Agung Pakistan, Iftikhar Mohammed Chaudhry, yang telah menolak perpanjangan jabatan Musharraf lebih dari lima tahun.

Advokat Indonesia

Bagaimana dengan advokat Indonesia? Dalam sejarahnya, Daniel S Lev (2002) mencatat para advokat Indonesia generasi pertama juga menjadi pemimpin politik dan sosial sejak 1923. Mereka diantaranya Mr. Besar Martokoesoemo, Sartono, Ali Sastroamidjojo, Wilopo, Muh. Roem, Ko Tjay Sing, Muh Yamin, Iskaq Tjokrohadisuryo, Lukman Wiriadinata, Suardi Tasrif, Ani Abbas Manoppo, Yap Thiam Hien, dan lain-lain, aktif sebelum dan sesudah kemerdekaaan sampai 1960-an dan beberapa di antaranya sampai 1980-an.
Dari generasi tertua advokat Indonesia ada banyak yang turut aktif dalam gerakan kemerdekaan, memperjuangkan negara hukum dan hak asasi manusia, serta sering mengorbankan diri untuk membela prinsip. Pada zaman itu, walau ada kesulitan yang luar biasa sesudah revolusi, kemampuan dan integritas peradilan (termasuk kejaksaan dan polisi) cukup baik dan dapat dipercaya. Proses hukum terjamin efektif, antara lain karena ada pemimpin dalam hampir semua partai besar yang berasal dari kalangan advokat dan merasa terikat pada prinsip-prinsip hukum.
Menurut Daniel S Lev, era Demokrasi Parlementer masih lebih unggul dibandingkan era Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru dari sudut pertanggungjawaban pimpinan politik, efektivitas lembaga-lembaga hukum, dan keamanan masyarakat. Sumbangan para advokat, walaupun sedikit sekali jumlahnya pada waktu itu, perlu dihormati.
Tetapi, Yap Thiam Hien - sebagai advokat generasi pertama yang bertahan hidup termasuk paling lama - merasakan kepahitan di usia senjanya tahun 1980-an ketika melihat fenomena bernama mafia peradilan. Mungkin Yap Thiam Hien akan merasa lebih jijik seandainya melihat sistuasi sekarang di mana advokat Indonesia justru menjadi bagian dari kegelapan hukum negara ini. Keadilan diperdagangkan dalam bursa di wilayah penegakan hukum, dan advokat sering berperan sebagai pialang atau makelar kodok.
Dunia hukum di negara ini dalam catatan Daniel S Lev – sebagaimana yang kita lihat sekarang – berada dalam keadaan paling buruk di dunia. Hukum kita menjadi dunia hitam. Karena wilayah hukum gelap, orang mencari keadilan dengan cara meraba-raba. Uang menjadi obor hukum. Jarang orang tak berduit bisa menang di pengadilan, apalagi untuk melawan para pembeli hukum.
Orang miskin minggir. Yang tak kalah mengerikan, orang miskin biasa dijadikan alat para advokat untuk mencari popularitas. Setelah advokat itu populer, selamat tinggal kaum miskin. Bahkan advokat yang dahulunya getol membela kaum miskin, kini berbalik menjadi ’musuh’ masyarakat tertindas. Para advokat kini kehilangan prinsip yang pernah dipegang teguh para pendahulu mereka.
Kita sulit berharap adanya gerakan persatuan advokat di Indonesia untuk melawan mafia peradilan. Tampaknya advokat merasa nyaman dan diuntungkan dengan mafia peradilan. Advokat Indonesia juga terpecah-pecah ke dalam puluhan organisasi advokat. Meski UU No. 18/2003 mewajibkan advokat hanya punya satu wadah organisasi tapi itu tidak dipatuhi. Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) yang baru lahir tak mampu menyatukan advokat. Tampaknya semua advokat bernafsu menjadi ’pimpinan’ advokat.
Dunia advokat Indonesia mengalami krisis spiritual. Spirit yang dibangun bukan lagi penegakan hukum dan keadilan tapi penegakan nafsu birahi kekayaan. Advokat menjadi saudagar hukum. Jika ada orang yang terkagum-kagum dengan gaya hidup advokat, sebenarnya memuakkan.

Persembunyian kejahatan

Sejarah kewibawaan advokat Indonesia terus menurun seiring perubahan jaman. Dunia advokat menjadi korporasi, seringkali bekerjasama dengan kaum akademik (sebagai ahli bersaksi) untuk melakukan ’muhibah bisnis keadilan’ dari pengadilan ke pengadilan, termasuk untuk meringankan atau bahkan membebaskan para koruptor dan kejahatan korporasi.
Dahulu ketika melawan tirani kekuasaan Orde Baru, yang bergerak untuk menumbangkan rezim Orde Baru adalah para mahasiswa. Kaum ulama hanya menjadi makmum, berbeda dengan para biksu Burma yang tak hanya berkhotbah, tapi juga bekerja. Apalagi kaum advokat, banyak yang tertidur pulas. Memasuki Orde Reformasi, para advokat menikmati merebaknya korupsi sebagai ’ladang baru’.
Makanya, advokat Indonesia tampaknya malas melakukan gerakan perubahan seperti para advokat Malaysia dan Pakistan, sebab merasa sudah mapan. Advokat Indonesia takut kehilangan akses kolusi. Kecil nyali. Beraninya menindas yang kecil. Hubungan baik dengan para hakim menjadi modal penting, sampai harus menunduk-nunduk. Mereka memilih menjadi prostitusi hukum. Kehilangan harga diri.
Advokat Indonesia, tengoklah para pendahulu kita, juga belajarlah kepada advokat Malaysia dan Pakistan, bagaimana mereka melakukan hal yang berarti bagi masyarakat dan negara! Merebaknya korupsi dan kejahatan korporasi di negara ini tak mampu terminimalisasi oleh hukum sebab hukum dijadikan ajang bisnis dan tempat persembunyian kejahatan kaum elit. Advokat kehilangan prinsip dan justru menjadi dalang-dalang penyembunyian kejahatan kaum berduit.
Kerasnya khotbah di negara ini dibarengi dengan sunyinya langkah kebaikan. Hiruk-pikuknya upacara ibadah dibarengi dengan senyapnya langkah kebenaran. Yang ada tubuh-tubuh bersimbah peluh dalam persetubuhan dengan waktu dan pengkhianatan. Perselingkuhan itu bukan hanya kepada Tuhan, amanat kehidupan, tapi juga dengan nurani sendiri. Kapal bangunan negara ini telah bocor, akan membawa kita tenggelam. Kita hanya diam. Kapal terus tenggelam, jauh meninggalkan peradaban, dan akhirnya menghilang ke dalam samudera yang tak terukur dalamnya. Lenyap. Sunyi.